Tak lama setelah serangan pasukan Rusia, pemerintah Rusia mengesahkan perundangan membatasi kinerja pers, memblokir situs berita dan media sosial dan menahan jurnalis. Akibatnya peringkat kebebasan pers Rusia turun mendekati urutan terbawah dalam laporan kebebasan pers dunia 2022 yang dirilis oleh organisasi Wartawan Tanpa Batas (Reporters sans Frontières atau RSF).
Menurut RSF, ini adalah puncak dari proses panjang yang telah digulirkan di Rusia. Clayton Weimers dari Reporters sans Frontières mengatakan, "Sepanjang kekuasaan Putin selama 22 tahun, ia telah menggerogoti hak-hak jurnalis dan kebebasan media. Dan ini adalah tren yang terus terjadi, baik menutup organisasi media yang sangat mengkritik rezim, ataupun mengecam mereka dengan tuduhan menerima dana dari luar negeri, dan memberi label aktor asing."
Dua puluh delapan negara memiliki catatan terburuk, termasuk China yang tak hanya melakukan sensor ketat secara domestik, tetapi juga ikut menyuarakan propaganda Kremlin dan mengekspor pengekangan pers. RSF mencatat penurunan drastis di negara yang baru mengalami pergantian kepemimpinan ke pemerintah otoriter, termasuk Myanmar setelah kudeta militer dan Afghanistan setelah pengambilanalihan kekuasaan oleh Taliban.
RSF mencatat ada kemajuan di bawah pemerintahan Joe Biden di Amerika Serikat dibandingkan dengan pemerintahan Donald Trump. Pemerintahan Trump dikenal kurang bersahabat dengan pers dan bahkan tak menggelar jumpa pers rutin di Gedung Putih. AS menduduki peringkat ke-42, naik dari urutan 44 pada laporan sebelumnya. Meski begitu, masih ada hambatan terhadap kebebasan pers di AS, yang lebih sering terjadi untuk pemberitaan seputar pemerintah lokal dan juga unjuk rasa.
Beth Francesco dari National Press Club Journalism Institute mengatakan, "Kami biasanya menemukan hal ini disebabkan karena pemerintah lokal mengabaikan undang-undang yang mengatur rapat atau permintaan dokumen, atau mereka salah menginterpretasikannya, misalnya seseorang salah menginterpretasikan apakah jurnalis bisa hadir dalam sebuah acara atau tidak."
Pers partisan dan juga media sosial ikut menjadi kendala bagi warga untuk mendapat informasi secara utuh.
Menurut Clayton Weimers, "Memang mudah untuk menyalahkan Fox News, tapi pada kenyataannya, ada banyak organisasi media baik besar ataupun kecil yang bermunculan untuk mengisi kebutuhan pasar. Dan kita lihat hal semakin diperkuat lewat platform digital seperti Facebook dan Google. Karena algoritma mereka tampaknya siap untuk mempromosikan konten yang menghasut dan mengorbankan jurnalisme otentik."
Sementara itu, laporan RSF ini mencatat Indonesia menduduki peringkat ke-117, turun 4 peringkat dari tahun sebelumnya. [dw]