Sebuah penelitian baru yang diterbitkan hari Kamis (10/11) pada KTT Perubahan Iklim PBB (COP27) di Mesir menunjukkan bahwa krisis ekonomi dunia yang disebabkan oleh invasi Rusia ke Ukraina menyebabkan pemerintahan berbagai negara mengesampingkan target-target iklim mereka demi mengamankan pasokan energi fosil.
Laporan yang disampaikan oleh Konsorsium Climate Action Tracker (Konsorsium CAT) itu mengatakan bahwa kenaikan harga sekaligus kelangkaan energi akibat konflik di Ukraina membuat energi bersih tidak diprioritaskan banyak negara, yang justru melipatgandakan penggunaan bahan bakar fosil.
Laporan itu menyatakan, fenomena tersebut diperparah oleh dorongan industri minyak dan gas yang mempromosikan bahan bakar fosil sebagai solusi terbaik krisis energi.
Di sisi lain, penelitian Konsorsium CAT justru menyebut bahan bakar fosil lah yang menjadi penyebab – alih-alih solusi – krisis energi yang sedang terjadi. Konsorsium itu mengatakan, penggunaan sumber-sumber energi terbarukan, elektrifikasi dan praktik efisiensi energi merupakan opsi termurah, tercepat dan teraman untuk mengatasi masalah itu sejauh ini.
Climate Action Tracker sendiri merupakan sebuah konsorsium penelitian ilmiah independen yang didanai beberapa negara dan yayasan regional.
Konsorsium itu melacak langkah-langkah iklim pemerintah berbagai negara di seluruh dunia dan membandingkannya dengan komitmen global yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Perjanjian itu menetapkan target untuk membatasi kenaikan suhu Bumi di bawah 2 derajat Celsius – atau lebih baik lagi di bawah 1,5
derajat Celcius – dibandingkan tingkat pra-industri. Negara-negara di seluruh dunia juga berkomitmen mencapai emisi nol karbon pada 2050.
Laporan itu menyatakan bahwa rencana banyak negara untuk memperluas penggunaan gas alam cair (LNG), sebagai contoh, akan sangat membahayakan target untuk membatasi pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius.
Konsorsium itu juga mengatakan analisis mereka menemukan bahwa kapasitas LNG tengah dibangun, dibarengi rencana untuk memperluas pembangunan. Hal itu dinilai dapat meningkatkan emisi karbon dioksida hingga lebih dari 1,9 gigaton per tahun pada 2030.
Laporan itu memperingatkan, dengan skenario yang ada saat ini, planet Bumi sedang menuju pemanasan global yang lebih parah, dengan kenaikan suhu hingga 2,4 derajat Celcius pada 2030. [rd/lt]
Forum