Tautan-tautan Akses

Laporan: Perempuan Afrika Selatan Peroleh Pukulan Terberat di Negara Paling Tidak Setara di Dunia


Dua perempuan lokal memilah puing-puing saat menjadi sukarelawan untuk membersihkan Lapangan Diepkloof menyusul penjarahan dan perusakan di Soweto, Johannesburg, 14 Juli 2021. (Phill Magakoe / AFP)
Dua perempuan lokal memilah puing-puing saat menjadi sukarelawan untuk membersihkan Lapangan Diepkloof menyusul penjarahan dan perusakan di Soweto, Johannesburg, 14 Juli 2021. (Phill Magakoe / AFP)

Sebuah studi Bank Dunia menemukan Afrika Selatan sebagai negara yang paling tidak beruntung di dunia, di mana perempuan kulit berwarna paling terpukul oleh pengangguran dan kekerasan berbasis gender, keduanya diperburuk oleh pandemi COVID-19. Sementara sejumlah analis menilai apartheid dan pemerintahan yang buruk yang harus disalahkan, kelompok bantuan masyarakat seperti Phenomenal Women berupaya untuk mengatasi masalah tersebut.

Dampak dari ketidaksetaraan berlangsung setiap hari di komunitas yang secara historis berkulit hitam di Soweto. Kelompok nirlaba Phenomenal Women, yang mendukung korban kekerasan berbasis gender, hampir setahun lalu berusaha membuka ruang kantor mereka. Akan tetapi upaya itu digagalkan oleh sejumlah pengacau.

Pihak aktivis kelompok itu mengatakan itu merupakan dampak lain yang ditimbulkan dari tingginya angka pengangguran, dan juga meningkatnya jumlah pengguna narkoba serta tingkat kejahatan yang tinggi.

Chriszelda Jooste Swartz, ketua dari Phenomenal Women mengemukakan, “Orang berjuang setiap hari hanya untuk bertahan hidup, hanya untuk sepiring nasi di atas meja. Mereka menjadi pengangguran, tidak ada kesempatan kerja. Di situlah GBV berperan besar, mengingat jika perempuan tidak bekerja, suami mencari nafkah, dia merasa bahwa dialah yang menghasilkan uang. Itu menempatkan perempuan dalam posisi yang sangat rentan.”

Women:Laporan: Perempuan Afrika Selatan Peroleh Pukulan Terberat di Negara Paling Tidak Setara di Dunia
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:04:03 0:00

Phenomenal Women telah memperluas aktivitas di luar program penanganan kekerasan berbasis gender. Kegiatan itu dimaksudkan untuk menawarkan pelatihan untuk mengasah keterampilan dan pengadaan sebuah perpustakaan komunitas, sekaligus menjadikannya sebagai basis untuk program pengiriman bantuan makanan.

Kolaborasi itu juga memberdayakan beberapa program pertanian masyarakat untuk menciptakan lapangan kerja bagi kaum muda. Idenya adalah untuk memutus siklus kekerasan dan kemiskinan dengan menyediakan sejumlah peluang.

Makhosini Ndlovu salah seorang relawan menguraikan, “Tidak ada yang mendapatkan pekerjaan. Kami sudah melamar di sini, tapi tidak ada hasil. Jadi, kami memutuskan untuk beralih ke pertanian. Bagi seseorang seusia saya, skenario terburuk adalah masuk saja ke dunia gangster, seperti yang terjadi di tempat ini. Itulah jalan keluar termudah.”

Suasana di pusat kota Johannesburg, Afrika Selatan, 16 Maret 2020. Jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia kehilangan akses ke alat kontrasepsi, layanan aborsi, dan perawatan akibat pandemi COVID-19.(AP/Themba Hadebe)
Suasana di pusat kota Johannesburg, Afrika Selatan, 16 Maret 2020. Jutaan perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia kehilangan akses ke alat kontrasepsi, layanan aborsi, dan perawatan akibat pandemi COVID-19.(AP/Themba Hadebe)

Masalah itu sudah turun temurun beberapa generasi.

Bank Dunia menemukan bahwa sejarah segregasi ras Afrika Selatan terus membuat warga Afrika berkulit hitam kurang beruntung secara ekonomi. “Artinya, ada anak-anak yang tidak beruntung sejak lahir dan tidak akan pernah mencapai potensi penuh mereka. Jika mereka tidak mencapai itu, maka negara tidak memenuhi potensi mereka sepenuhnya,” jelas Pierella Paci, Manajer Kesetaraan dari Bank Dunia.

Pendidikan yang lebih baik dan kepemilikan tanah yang lebih adil adalah salah satu solusinya. Negara Afrika itu telah memiliki undang-undang tindakan afirmatif yang memprioritaskan perekrutan kelompok yang secara historis kurang beruntung. Namun sebagian ahli mengatakan kebijakan itu telah disalahgunakan dan nepotisme dan korupsi merajalela, sehingga kekayaan hanya berada di tangan segelintir orang.

Para perempuan membawa karung berisi tepung jagung di atas kepala mereka saat antre menerima bantuan makanan di tengah pandemi COVID-19 di pemukiman informal Itireleng, dekat pinggiran kota Laudium di Pretoria, Afrika Selatan, 20 Mei 2020. (REUTERS/Siphiwe Sibeko)
Para perempuan membawa karung berisi tepung jagung di atas kepala mereka saat antre menerima bantuan makanan di tengah pandemi COVID-19 di pemukiman informal Itireleng, dekat pinggiran kota Laudium di Pretoria, Afrika Selatan, 20 Mei 2020. (REUTERS/Siphiwe Sibeko)

Gabriel Crouse dari Institute for Race Relations menguraikan, “Kami mengamati contoh khusus perempuan kulit hitam tidak mendapatkan promosi karena sistem kuota, yang mengatakan bahwa posisi hanya diperbolehkan diisi tiga perempuan berkulit hitam dan tiga laki-laki kulit hitam, dan satu perempuan kulit putih dan satu laki-laki kulit putih. Upaya keberagaman di setiap departemen memiliki efek merugikan yang jelas bagi perempuan kulit hitam. Menurut saya, kebijakan harus berdasarkan prestasi.”

Terlepas dari sejumlah tantangan tersebut, Gabriel mengatakan orang kulit hitam Afrika Selatan semakin banyak menjadi bagian dari kelompok orang terkaya di negara itu.

Bank Dunia juga mengatakan program perpajakan dan redistribusi kekayaan pemerintah telah menyediakan kesejahteraan yang lebih baik bagi kelompok termiskin di negara itu. [lt/mg]

XS
SM
MD
LG