Beberapa perusahaan global mungkin "tanpa sadar mendukung" penggunaan tenaga kerja paksa orang-orang etnis Uyghur dari wilayah Xinjiang yang diterapkan oleh China dengan mengimpor barang dari perusahaan-perusahaan yang berkantor pusat di wilayah lain di negara tersebut, demikian temuan dari laporan terbaru.
Laporan berjudul Shifting Gears: The Rise of Industrial Transfer to the Xinjiang Uyghur Autonomous Region, diterbitkan pada Kamis (30/6) oleh Center for Advanced Defense Studies (C4ADS), organisasi nirlaba yang berbasis di Washington.
Dalam laporan tersebut dikatakan bahwa undang-undang baru Amerika Serikat yang melarang impor barang-barang yang diproduksi oleh kerja paksa Uyghur di China termasuk celah yang memungkinkan beberapa produk memasuki rantai pasokan global.
Pada 21 Juni, pemerintah AS mulai memberlakukan Undang-Undang Pencegahan Kerja Paksa Uyghur (UFLPA), untuk memastikan barang-barang yang dibuat "seluruhnya atau sebagian dengan kerja paksa" di Xinjiang tidak memasuki pasar Amerika. Tetapi penegakkan aturan tersebut diperumit oleh kebijakan China yang mendorong perusahaan yang berlokasi di tempat lain di negara itu untuk membuka operasi atau pusat manufaktur di Xinjiang.
Kebijakan itu memberi insentif kepada perusahaan untuk memindahkan operasi manufaktur mereka ke Daerah Otonomi Uyghur Xinjiang (XUAR), kata Nicole Morgret, analis keamanan manusia di C4ADS yang juga merupakan penulis laporan itu.
Perusahaan global yang berbisnis dengan perusahaan China yang memiliki hubungan perusahaan atau manufaktur dengan Xinjiang berisiko "tanpa sadar" mendukung kerja paksa, kata Morgret.
Koneksi perusahaan ini sengaja dikaburkan dan bisa sulit dilacak sehingga bisnis yang bersumber dari perusahaan yang berkantor pusat di kota-kota lain di China mungkin tanpa sadar mengimpor barang yang diproduksi oleh sistem kerja paksa di Xinjiang, menurut laporan itu. [ka/jm]
Forum