LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) menyatakan kasus kekerasan dalam rumah tangga masih merupakan kasus kekerasan terbanyak yang terjadi pada perempuan.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta, Selasa (10/12) di Jakarta meluncurkan Catatan Tahunan 2019 yang berisi kumpulan data kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan ke dan ditangani oleh LBH APIK selama tahun ini.
Menurut Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Uli Pangaribuan, sepanjang tahun ini LBH APIK menerima 794 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan, lebih rendah ketimbang jumlah perkara yang dilaporkan tahun lalu sebanyak 837 kasus. Dia menekankan dari 794 kasus yang ditangani oleh LBH APIK tersebut, kekerasan dalam rumah tangga masih mendominasi.
"Paling besar tetap kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 249 kasus, kemudian diikuti oleh perdata keluarga sebanyak 125 kasus, kekerasan seksual terhadap perempuan dewasa sebanyak 103 kasus, kekerasan seksual terhadap anak sebanyak 46 kasus mengalami peningkatan, kemudian kekerasan dalam pacaran sebanyak 63 kasus," kata Uli.
Selain itu, LBH APIK juga menerima pengaduan 48 kasus hak anak, 44 kasus pidana umum, 21 kasus komunitas, 20 kasus ketenagakerjaan, enam kasus pemalsuan dokumen dan identitas, tiga kasus poligami, dua kasus perdagangan manusia, satu kasus pemaksaan orientasi seksual, serta 63 kasus di luar klasifikasi kasus LBH APIK Jakarta.
Dari 794 kasus tersebut, 307 kasus karena korban atau keluarga datang langsung melapor ke LBH APIK, 184 kasus dilaporkan melalui telepon, 45 kasus lewat email, 90 kasus jemput bola, 32 kasus lewat surat atau faksimili, 67 kasus di paralegal, dan 69 kasus dilaporkan ke LBH APIK melalui media sosial.
Dilihat dari wilayah yang paling banyak kasus kekerasan perempuan yang ditangani oleh LBH APIK, lanjut Uli, adalah Jakarta Timur (112 kasus), Jakarta Selatan (108 kasus), Depok (99 kasus), tangerang (97 kasus), dan Bogor (81 kasus).
Uli menjelaskan dari 794 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada LBH APIK Jakarta tahun ini, pelaku dan korban terbanyak berumur 25-40 tahun, di mana jumlah pelaku diusia ini sebanyak 215 orang dan 340 korban. Sedangkan dari jenis pekerjaan, pelaku kekerasan terhadap perempuan paling banyak adalah karyawan (189 orang) dan korban terbanyak adalah ibu rumah tangga (324 orang).
Uli menegaskan dalam proses penanganan kekerasan terhadap perempuan korban kerap menghadapi kendala mulai tingkat penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan. Dia mencontohkan dari 249 kasus kekerasan dalam rumah tangga yang diterima oleh LBH APIK, hanya 15 kasus yang dilaporkan ke polisi.
Kemudian dari 64 kasus kekerasan seksual terhadap anak, cuma tujuh kasus yang dapat diproses sampai pengadilan, sedangkan sisanya mandeg.
Pada kesempatan tersebut, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Istania DF Iskandar menjelaskan selama tahun ini terdapat 54 korban kekerasan terhadap perempuan yang meminta perlindungan tapi baru 25 yang diberikan perlindungan.
Dia menambahkan LPSK banyak menerima permohonan perlindungan saksi dan korban dalam kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Apalagi untuk kasus dengan ancaman membahayakan bagi korban dari aparat negara.
"Kita akan minta teman-teman paralegal untuk mensosialisasikan keberadaan LPSK karena kita nggak ada di komunitas. Seringkali ancaman-ancaman (terhadap korban) itu datang dari Pak RTnya tiba-tiab datang atau kepala desanya, atau apa. (Sehingga) korbannya perlu tarik kasusnya padahal sudah mengalami kekerasan luar biasa," ujar Livia.
Berdasarkan catatan pengaduan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019, LBH APIK merumuskan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). LBH APIK meminta kepada pemerintah pusat dan DPR untuk mengedepankan suara dan kepentingan perempuan dalam pembahasan Rancangan Undang-undang penghapusan Kekerasan Seksual, serta mengupayakan kebijakan ini implementatif dan tidak mengkriminalkan perempuan.
LBH APIK meminta kepada pemerintah pusat dan DPR untuk menghapus dan merevisi ketentuan yang diskriminatif dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan aturan serta kebijakan lainnya yang masih melegitimasi pelanggaran hak-hak dasar warga negara, termasuk hak-hak perempuan dan anak.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan pada Isu Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ali Khasan mengatakan kementeriannya sudah beberapa kali melakukan pelatihan dan sosialisasi kepada aparat penegak hukum untuk meningkatkan pemahaman dan persepektif aparat dalam menangani kasus kekerasan terhadap perempuan. Namun ia mengakui hasilnya masih belum maksimal karena seringnya terjadi rotasi dalam badan-badan aparat. [fw/em]