Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers hari Senin (13/1) merilis laporan tahunan yang berisi beragam catatan mengenai kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sepanjang tahun lalu dan proyeksi tentang kondisi kebebasan pers tahun ini.
Dalam jumpa pers di Jakarta, Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menjelaskan, selama 2019 terjadi 75 kasus kekerasan terhadap wartawan, dua kasus atas pers mahasiswa, dan dua perkara menimpa narasumber.
Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2018 dimana kasus kekerasan terhadap wartawan berjumlah 70 kasus.
Kasus kekerasan terhadap wartawan pada 2019 terbanyak terjadi di Jakarta (33 kasus), disusul Sulawesi Tenggara (8 kasus), dan Sulawesi Selatan (7 kasus).
Menurutnya, kekerasan tertinggi terhadap wartawan di Jakarta tidak terjadi begitu saja, tetapi karena adanya suatu peristiwa. Tahun lalu, peristiwa besar di mana terjadi kekerasan terhadap wartawan adalah pada pemilihan presiden dan demonstrasi besar bertajuk reformasi dikorupsi.
Ade menambahkan aparat kepolisian merupakan pelaku terbanyak dalam melakukan kekerasan terhadap wartawan.
"Kenapa kemudian yang terbesar adalah aparat kepolisian? Karena ini terkait dengan bagaimana kepolisian melakukan pengamanan demosntrasi. Di Jakarta waktu itu cukup banyak jatuh korban terkait demonstrasi RUU KUHP, demonstrrasi di Bawaslu juga cukup banyak. Pelakunya diduga oknum aparat," kata Ade.
Dalam catatan LBH Pers, polisi terlibat dalam 33 kasus kekerasan terhadap wartawan. Pelaku kedua tertinggi adalah masyarakat (17 kasus). Alasannya, lanjut Ade, sepanjang tahun lalu terdapat demonstrasi besar di mana terdapat kelompok masyarakat tertentu yang antipati kepada media tertentu. Pelaku terbanyak lainnya adalah pejabat publik (7 kasus) dan pengusaha (6 kasus).
Pola kekerasan terbanyak dialami wartawan adalah kekerasan fisik (30 kasus), disusul dengan perusakan peralatan liputan (24 kasus) dan intimidasi (22 kasus). Ade menekankan kekerasan fisik dialami wartawan biasanya terjadi saat mereka meliput tindakan represif aparat kepolisian kepada massa pengunjuk rasa.
Wartawan Media Online Kerap Jadi Korban Kekerasan
Sepanjang tahun lalu, LBH Pers mencatat kekerasan terbanyak dialami oleh wartawan media online (48 kasus), disusul wartawan televisi (14 kasus). Ade mengatakan perlu evaluasi kenapa wartawan media online paling banyak mengalami kekerasan terkait apakah kode etik jurnalistik sudah mereka lakukan saat peliputan dan membuat berita.
Jumlah media online jauh lebih banyak yakni 43.300 di tahun 2017 dibanding jumlah stasiun televisi 459.
Berkaitan dengan isu, LBH Pers mencatat kekerasan terbanyak dialami wartawan ketika meliput demonstrasi (39 kasus), diikuti berita kriminal (7 kasus), olahraga (6 kasus), dan isu politik (5 kasus).
Mengenai proses hukum terhadap pelaku kekerasan terhadap wartawan, Ade menyesalkan sangat sedikit pelaku diadili dan akhirnya mendapatkan hukuman. Alasannya, proses hukum terhadap pelaku berbelit-belit dan bahkan kerap laporan jurnalis menjadi korban tidak ditindaklanjuti. Selain itu, korban atau media tidak mau melaporkan kasus kekerasan tersebut karena enggan direpotkan oleh proses hukum.
Untuk tahun ini, tambah Ade, kekerasan terhadap wartawan masih akan menjadi sorotan karena tahun ini akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah langsung secara serentak di 270 daerah.
Ketika dimintain tanggapannya soal ini, Kombes Argo Yuwono, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri mengatakan pihaknya menindaklajuti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya.
Menurutnya polri akan melakukan pendalaman apabila menerima laporan terkait dugaan kekerasan aparat.Pihaknya lanjut Argo akan mengklarifikasi kebenaran kejadian, lokasi, saksi hingga barang bukti.
Apabila terbukti melakukan kesalahan tambahnya polri sudah memiliki mekansme pemberian hukuman.
Dewan Pers Ingatkan Polisi
Ketua Dewan Pers Muhammad Nuh menyatakan dalam sistem demokrasi yang ada saat ini, kemerdekaan pers dan kemerdekaan berpendapat harus dirawat dengan baik.
Menurutnya tanpa pers, maka kekuasaan akan bergeser otoriter. Dia juga mengingatkan kepada Polri untuk tetap menjalin kerjasama dengan Dewan Pers sehingga kasus kekerasan terhadap wartawan saat melakukan tugasnya tidak terulang lagi.
“Dewan pers memberikan kutukan keras jangan jangan kalau sampai melakukan kekerasan kepada kawan-kawan media karena kawan-kawan yang sedang meliput mencari berita dan seterusnya, itu dilindungi oleh undang-undang” ujar Muhammad Nuh.
Direktur LBH Pers Ade Wahyudi juga menilai pemerintah tidak serius dalam melindungi wartawan karena hingga kini masih banyak terjadi kasus kekerasan terhadap jurnalis.
Pemerintah lanjutnya juga tidak maksimal memperkuat media massa yang ada di Indonesia karena peran dewan pers belum dioptimalkan.Menurutnya perlu ada penguatan institusi dewan pers diantaranya dengan diberikannya penambahan anggaran.
Setidaknya dengan adanya anggaran yang memadai lanjutnya dewan pers bisa aktif melakukan verifikasi media dan melakukan pendidikan kode etik kepada jurnalis-jurnalis di daerah. [fw/em]