Tautan-tautan Akses

Lika Liku Ganja Medis di Indonesia


Manfaat ganja untuk kepentingan medis menjadi kontroversi di Indonesia (foto: ilustrasi).
Manfaat ganja untuk kepentingan medis menjadi kontroversi di Indonesia (foto: ilustrasi).

Menteri Pertanian sempat menerbitkan peraturan yang memasukkan ganja ke daftar tanaman obat, sebelum akhirnya mencabut peraturan tersebut. Kelompok sipil pun mendesak pemerintah membuktikan apakah ganja berkhasiat atau tidak.

Masuknya tanaman ganja (cannabis sativa) ke dalam daftar tanaman obat binaan Kementerian Pertanian tertuang dalam Keputusan Menteri Pertanian (Kepmentan) No. 104/KPTS/HK.140/M/2/2020 yang ditandatangani Mentan Yasin Limpo, 3 Februari 2020.

Permentan itu mencantumkan total 66 komoditas dalam daftar tanaman obat, antara lain ganja, mahkota dewa, dan akar kucing.

Lampiran Kepmentan itu pun ramai disirkulasikan di media sosial pada Jumat (28/8). Di tengah keramaian di media sosial, Kementan menyatakan mencabut aturan itu.

"Kepmentan 104/2020 tersebut sementara akan dicabut untuk dikaji kembali dan segera dilakukan revisi, berkoordinasi dengan stakeholder terkait (BNN, Kemenkes, LIPI),” ujar Direktur Sayuran dan Tanaman Obat Kementerian Pertanian Tommy Nugraha dalam rilis, Sabtu (29/8).

Tommy mengatakan, Mentan Yasin konsisten dan berkomitmen mendukung pemberantasan penyalahgunaan narkoba. "Pengaturan ganja sebagai kelompok komoditas tanaman obat hanya bagi tanaman yang ditanam untuk kepentingan pelayanan medis dan atau ilmu pengetahuan dan secara legal oleh UU Narkotika,” tambahnya.

Masyarakat Sipil Sesalkan Pencabutan

Kelompok Masyarakat Sipil amat menyesalkan pencabutan itu dan berharap Kementerian Pertanian "tetap pada posisi awalnya" dengan mempertahankan Kepmentan tersebut. "Kami juga sampaikan harapan kami agar Kementerian/Lembaga lain justru berusaha untuk merespon Kepmentan ini dengan sikap yang lebih suportif,” ujar Yohan Misero, Koordinator Advokasi dan Kampanye AKSI lewat pernyataan tertulis.

Yohan mengatakan, Kepmentan ini tidak "serta merta mengubah" lanskap regulasi narkotika di Indonesia yang diatur dalam UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika. "Kepmentan ini justru memberi kesempatan kepada Pemerintah untuk melakukan penelitian dan menyiapkan regulasi pasar yang tepat untuk kebijakan ganja medis Indonesia di masa depan,” tambahnya.

Permentan Tersandera UU Narkotika?

Senada, pengacara publik di LBH Masyarakat Ma’ruf Bajammal menyatakan Permentan itu seolah tersandera oleh UU Narkotika. Dia mengatakan, ketika Permentan mendorong penelitian untuk medis, UU Narkotika justru melarangnya. “Saya yakin perspektif Kementan ini sangat bagus. Bagaimana mau membudidayakan tanaman ganja, apakah ada ruang untuk kita manfaatkan baik secara ekonomis maupun medis. Tapi di sisi lain, UU (Narkotika) ini mengatakan melarang,” ujarnya ketika dihubungi VOA.

Pengacara Publik LBH Masyarakat Ma'ruf Bajammal (tengah) dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada 2018 (Foto: VOA/Sasmito)
Pengacara Publik LBH Masyarakat Ma'ruf Bajammal (tengah) dalam sebuah konferensi pers di Jakarta, pada 2018 (Foto: VOA/Sasmito)

Dia pun mendorong pemerintah merevisi UU Narkotika, dari pada memperdebatkan Permentan yang sudah dicabut. “Tetap yang harus kita uji kembali adalah UU-nya. Harusnya pemerintah mau jujur untuk kemudian mengatakan bahwa UU ini menutup ruang kita untuk bergerak maju,” tandasnya.

Ganja, Berkhasiat atau Tidak?

Rumah Cemara, organisasi advokasi kebijakan narkotika, menyatakan bahwa Permentan itu seharusnya direspon oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Narkotika Nasional (BNN) dengan meneliti apakah ganja memiliki khasiat atau tidak. Manager Program Rumah Cemara, Ardhany Suryadarma, mengatakan dua lembaga itu selama ini “selalu tabu membicarakan ganja” tanpa dasar ilmiah.

Kiri ke kanan: Direktur ICJR Anggara Suwahju, Aktivis Rumah Cemara Ardhany Suryadarma, dan Anggota DPR RI Muhammad Farhan, dalam diskusi mengenai narkotika di Bandung, Desember 2019. (VOA/Rio Tuasikal)
Kiri ke kanan: Direktur ICJR Anggara Suwahju, Aktivis Rumah Cemara Ardhany Suryadarma, dan Anggota DPR RI Muhammad Farhan, dalam diskusi mengenai narkotika di Bandung, Desember 2019. (VOA/Rio Tuasikal)

"Kita berbicara berbasiskan bukti, kita bikin penelitiannya. Pemerintah yang punya sumber daya untuk melakukan itu, karena pemerintah sendiri yang punya akses untuk mendapatkan ganjanya ya. Kalau masyarakat kan nggak punya akses,” terangnya ketika dihubungi VOA.

Menurutnya, penelitian itu penting sebagai dasar bagi kebijakan narkotika di Indonesia. “Selama ini di Indonesia kita belum punya penelitian terkait dengan ganja, apakah memang ada manfaat medisnya apakah tidak. Jadi dasar kebijakan UU Narkotika sendiri itu dasar penelitiannya sama sekali nggak ada,” tambahnya.

WHO Rekomendasi Ubah Penggolongan Ganja

Di skala global, Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada Januari 2019 sudah merekomendasikan kepada Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengganti penggolongan ganja. Direktur WHO meminta ganja dikeluarkan dari Golongan IV (yang dianggap berbahaya dengan sedikit manfaat kesehatan) namun tetap dalam Golongan I (yang tidak dilarang untuk penelitian).

Komisi Obat-Obatan Narkotika (CND) pun menyatakan akan menggelar pemungutan suara pada Desember 2020 dengan menghadirkan seluruh anggota PBB termasuk Indonesia.

Pemerintah Indonesia pada Juni 2020 telah menegaskan penolakan terhadap penggolongan baru untuk ganja. Dalam pernyataan tertulis, Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Pol. Krisno Siregar menyatakan sikap ini adalah kesimpulan rapat antara Badan Narkotika Nasional, Kementerian Kesehatan, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Hukum dan HAM, Kepolisian RI, dan sejumlah pemangku kepentingan.

Krisno menyatakan, Indonesia akan menolak dengan sejumlah alasan. Alasan utama yang dikemukakan adalah bahwa, menurutnya, ganja yang tumbuh di Indonesia berbeda dengan di Eropa atau Amerika.

Ganja di Indonesia, ia mengklaim, punya kandungan zat psikoaktif ganja (delta-9-tetrahydrocannabinol [THC]) yang tinggi, mencapai 18 persen. Sementara, menuturnya lagi, zat non-psikoaktif yang berpotensi menjadi bahan obat (cannabidiol [CBD]) hanya 1 persen. dengan kandungan itu, menurutnya, ganja di Indonesia tidak bisa digunakan sebagai obat.

Tak lama pernyataan itu keluar, sejumlah organisasi masyarakat sipil meminta pemerintah membuka penelitian yang menjadi dasar klaim tersebut. Permintaan informasi publik itu diajukan secara resmi oleh Rumah Cemara, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Lingkar Ganja Nusantara (LGN), LBH Masyarakat, dan sejumlah organisasi lain.

Patri Handoyo dari Rumah Cemara menyatakan sampai saat ini pemerintah belum merespon permintaan informasi publik tersebut. "Mereka pasti tahu (ganja) ini ada manfaatnya. WHO pun juga kan nggak sembarangan orang yang ada di situ, itu ahli-ahli farmakologi ada di sana,” tandas penulis buku "Menggugat Perang terhadap Narkoba” ini. [rt/em]

Recommended

XS
SM
MD
LG