Seperti Indonesia, Amerika tahun ini juga akan menyelenggarakan pemilu. Jalan menuju pemilu 5 November 2024 tersebut masih panjang dan berliku, tampak ruwet.
Tampaknya sudah hampir pasti bahwa Partai Republik akan menominasikan mantan Presiden Trump sebagai kandidatnya. Trump akan kembali berhadapan dengan Biden, petahana dari Partai Demokrat.
Belakangan ini, berbagai kesulitan mendera Trump. Ia menghadapi tuntutan pidana dan perdata oleh berbagai pihak. Ia antara lain sedang menunggu keputusan Mahkamah Agung atau SCOTUS atas mosi executive privilege (hak istimewa eksekutif) yang diajukannya, dan atas keputusan Mahkamah Colorado yang tidak menyertakan Trump dalam pemilihan.
Umumnya para analis berpendapat bahwa SCOTUS tidak akan meluluskan argumen Trump seputar hak istimewa eksekutif. Bila itu terjadi, Trump harus tetap hadir ke meja hijau dan kemungkinan besar akan dijatuhi hukuman penjara. Di lain pihak keputusan Mahkamah Colorado akan dibatalkan, dan Trump berhak maju dalam pemilihan presiden di setiap negara bagian.
Marjono Reksopuro, diaspora Indonesia dan pengamat Pemilu AS di Portland Oregon, mengatakan, “Saat ini posisi Trump berat untuk menang, karena dia harus menghadapi hasilnya SCOTUS, harus menghadapi hasil beberapa persidangan, civil judgment (putusan perdata). Dia sudah kalah 5,5 (juta dolar). Dia sekarang kalah 83,3 (juta dolar). Dua itu harus masuk escrow (pos uang jaminan). Berarti dia harus taruh uangnya di escrow, terus dia harus menghadapi yang di New York di mana ada judgment sebesar 370 (juta dolar). Kalau dia kalah lagi, itu masuk escrow lagi. Itu total hampir 460 million dollar dan itu more than the cash he has on hand (lebih besar dari uang tunai yang dimilikinya).”
Selain itu, Marjono menambahkan, Trump sudah berutang pada Komite Nasional Republik atau RNC 30 juta dolar.
Pergulatan Trump dalam sektor hukum ini tidak hanya menjadi beban finansial baginya, tetapi juga mempengaruhi segi politiknya.
Menurut Elaine Kamarck, direktur dan peneliti senior di Brookings Institution yang juga ahli politik pemilihan presiden Amerika, dukungan untuk Trump akan terkikis kalau pengadilan menjatuhkan vonis hukuman.
“Sudah tentu Trump ingin menepiskan semua dakwaan ini tetapi kalau dia kalah dan pengadilan memutuskan dia bisa dituntut, jabatan presiden tidak akan melindunginya dari dakwaan. Kalau pengadilan mengatakan demikian, maka dia harus menerima kemungkinan dijatuhi hukuman atas kejahatan selagi kampanyenya berlangsung. Meskipun sejauh ini pemilihnya sepenuhnya mendukung, ada petunjuk dari beberapa jajak pendapat bahwa sebagian pendukungnya akan meninggalkan Trump kalau dia dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman,” sebutnya.
Kampanye presiden Amerika ini menjadi semakin kompleks karena tidak ditentukan oleh popular vote atau total suara yang diperoleh kandidat, namun ditetapkan lewat sistem electoral college. Setiap negara bagian menunjuk elector dan mereka memilih pemenang berdasarkan total suara di negara bagian mereka.
Untuk dinyatakan sebagai pemenang, kandidat presiden harus meraih dukungan dari 270 elector. Oleh karena itu Kamarck memperingatkan, “Kita harus memenangkan negara bagian-negara bagian untuk memenangkan suara electoral college. Jadi total suara nasional tidak ada artinya kalau kita tidak memenangkan cukup banyak negara bagian untuk meraih 270 suara elector.”
Sejauh ini kandidat Demokrat biasanya menang di blue states, sebutan untuk negara bagian-negara bagian yang selama ini mendukung partai tersebut. Kandidat ini akan mengumpulkan dukungan 242 elector.
Sedangkan kandidat Republik menang di red states, sebutan untuk negara bagian-negara bagian yang selama ini mendukung partai tersebut, dan mengumpulkan 219 elector. Karena itu kandidat presiden harus menang di negara bagian yang disebut swing atau purple, di mana kemenangan Republik dan Demokrat terjadi secara bergantian.
Jadi, kampanye kedua partai harus dipusatkan dan berkinerja baik di swing states, yang biasanya mencakup Arizona, Georgia, Michigan, Pennsylvania dan Wisconsin.
Jalannya demokrasi di Amerika dan Indonesia sama-sama sedang disorot. Indonesia tersandung dengan majunya Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi cawapres, yang dinilai banyak kalangan tidak etis dan dipaksakan. Amerika memiliki seorang kandidat presiden yang sedang dirundung masalah hukum.
Analis menyatakan, pemilihan presiden di Indonesia maupun Amerika memiliki cacat demokrasi. Pada akhirnya pemilih yang akan menentukan apakah mereka membiarkan ini terjadi atau tetap mempertahankan demokrasi seutuhnya. [jm/ka]
Forum