Lima negara yang rentan bencana alam, yaitu Indonesia, Jepang, Srilanka, Korea Selatan dan Filipina, sepakat membentuk Asia Pacific Alliance akhir pekan lalu, suatu lembaga kerja sama antar-negara dalam kebencanaan.
Dalam pertemuan dengan media Senin (22/10) di Yogyakarta, pendiri aliansi dari Indonesia, Faisal Djalal, mengatakan bahwa negara-negara Asia Pasifik memerlukan komunikasi yang lebih baik supaya bisa bertukar informasi dan pengalaman dalam penanganan bencana.
Kalangan bisnis di luar pemerintah juga harus didorong untuk lebih peduli, karena bencana selalu membutuhkan dana besar untuk penanganannya, ujar Faisal.
"Walaupun kita ketahui bahwa banyak sektor swasta yang sudah melaksanakan tugasnya dalam kaitan dengan penanggulangan bencana ini secara sendiri-sendiri, namun bagaimana koridor kegiatan-kegiatan usaha yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, yang berkaitan dengan upaya pengurangan resiko bencana itu dapat diperkuat dan dioptimalisasi,” kata Faisal, eksekutif dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI).
Aliansi ini akan membuka kesempatan mengalirnya bantuan dana antar negara lebih cepat pada kondisi darurat. Sistem koordinasi semacam inilah yang bisa diadaptasi oleh negara-negara di Asia Pasifik dalam penanganan bencana.
Kensuke Onishi, yang mewakili delegasi Jepang, mengatakan negara mereka memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam penanganan bencana. Aliansi ini akan membuka peluang lebih besar bagi mereka untuk berbagi pengalaman, termasuk menggerakkan masyarakat dan sektor bisnis, ujarnya.
"Kami menciptakan satu lembaga bernama Civic Force, lembaga ini berdiri tahun 2009, satu setengah tahun sebelum tsunami menghantam Jepang. Hanya selama bencana tsunami 2011 lalu, kami berhasil mengumpulkan lebih dari US$15 juta dollar dari sumbangan perusahaan swasta. Pengalaman semacam inilah yang akan kami bagi dengan negara-negara lain dalam aliansi ini,” ujar Onishi.
Civic Force yang dimiliki Jepang telah mampu mengkoordinasi 33 lembaga swadaya masyarakat bidang kebencanaan. Lembaga ini telah mengumpulkan $320 juta dollar, dan sejauh ini telah berpartisipasi dalam 750 program di seluruh dunia. Sebanyak 600 perusahaan turut serta memberikan dana untuk program-program tersebut.
Dalam pertemuan dengan media Senin (22/10) di Yogyakarta, pendiri aliansi dari Indonesia, Faisal Djalal, mengatakan bahwa negara-negara Asia Pasifik memerlukan komunikasi yang lebih baik supaya bisa bertukar informasi dan pengalaman dalam penanganan bencana.
Kalangan bisnis di luar pemerintah juga harus didorong untuk lebih peduli, karena bencana selalu membutuhkan dana besar untuk penanganannya, ujar Faisal.
"Walaupun kita ketahui bahwa banyak sektor swasta yang sudah melaksanakan tugasnya dalam kaitan dengan penanggulangan bencana ini secara sendiri-sendiri, namun bagaimana koridor kegiatan-kegiatan usaha yang berkaitan dengan penanggulangan bencana, yang berkaitan dengan upaya pengurangan resiko bencana itu dapat diperkuat dan dioptimalisasi,” kata Faisal, eksekutif dari Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI).
Aliansi ini akan membuka kesempatan mengalirnya bantuan dana antar negara lebih cepat pada kondisi darurat. Sistem koordinasi semacam inilah yang bisa diadaptasi oleh negara-negara di Asia Pasifik dalam penanganan bencana.
Kensuke Onishi, yang mewakili delegasi Jepang, mengatakan negara mereka memiliki pengalaman yang sangat banyak dalam penanganan bencana. Aliansi ini akan membuka peluang lebih besar bagi mereka untuk berbagi pengalaman, termasuk menggerakkan masyarakat dan sektor bisnis, ujarnya.
"Kami menciptakan satu lembaga bernama Civic Force, lembaga ini berdiri tahun 2009, satu setengah tahun sebelum tsunami menghantam Jepang. Hanya selama bencana tsunami 2011 lalu, kami berhasil mengumpulkan lebih dari US$15 juta dollar dari sumbangan perusahaan swasta. Pengalaman semacam inilah yang akan kami bagi dengan negara-negara lain dalam aliansi ini,” ujar Onishi.
Civic Force yang dimiliki Jepang telah mampu mengkoordinasi 33 lembaga swadaya masyarakat bidang kebencanaan. Lembaga ini telah mengumpulkan $320 juta dollar, dan sejauh ini telah berpartisipasi dalam 750 program di seluruh dunia. Sebanyak 600 perusahaan turut serta memberikan dana untuk program-program tersebut.