Pada tahun 2018, Indonesia mengirimkan lebih dari 200.000 pekerja ke negara-negara seperti Arab Saudi, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong. Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia (BNP2TKI) mencatat kini ada sekitar 4,5 juta buruh migran Indonesia (BMI). Mayoritas bekerja di sektor rumah tangga dan 70 persen dari mereka adalah perempuan.
Sejumlah laporan menyebutkan banyak BMI yang mengalami kekerasan, jadi korban perdagangan orang, atau mendapat masalah administrasi.
Problema inilah yang telah menarik perhatian ahli hukum pidana Leni Widi Mulyani sejak 10 tahun lalu. Dosen Universitas Pasundan, Bandung, ini mengatakan minimnya pengetahuan hukum di kalangan buruh migran membuat mereka tidak berdaya ketika menghadapi masalah.
Menurut perempuan yang memimpin Clinical Law Education (CLE) Unpas ini, BMI menghadapi masalah berbeda tergantung negaranya. Misalnya Malaysia dan Hong Kong.
“Kalau di Malaysia itu kan lebih kepada physical abuse atau overcharging tapi kalau di Hong Kong ini lebih kepada pekerja migran yang punya anak di luar pernikahan. Sementara anak ini tuh nggak punya kewarganegaraan,” jelasnya ketika ditemui VOA di Bandung, awal April.
BMI di Malaysia Dibantu Supaya Lebih Melek Hukum
Di Malaysia, ujar Leni, banyak BMI yang jadi korban kekerasan tidak mengajukan tuntutan hukum. Padahal para pekerja ini bisa mendapatkan kompensasi atas kejahatan yang dialami.
Melihat rendahnya kesadaran itu, Leni bersama CLE Unpas berupaya mengedukasi BMI di Malaysia. Pada 2011-2012, CLE mengajarkan ‘street law’ bersama University of Malaya (UM), perguruan tinggi tertua dan prestisius di negara itu.
“Tentang harus tahu isi kontrak, kalau polisi di Malaysia menggeledah, hak-hak kamu tuh ini. Kalau ditanya, jawabannya ini,” jabar lulusan S2 Universitas Padjajaran ini.
Sebelum berangkat ke luar negeri, BMI harus mendapatkan pelatihan dan pengetahuan, baik dari agen maupun BNP2TKI. Namun tidak semua BMI memahami betul aturan kerja. Bahkan ada yang berpikir bisa kerja sambilan padahal itu melanggar hukum.
“Kalau kamu ada waktu rehat, akhir pekan, nggak boleh kerja di majikan lain karena itu ilegal. Kita mah mikirnya polos, mau uang tambahan,” ungkapnya.
Sejumlah mahasiswa UM pun didatangkan ke kantung-kantung BMI di Jawa Barat untuk menjelaskan hukum dan budaya negeri jiran.
“Dos and don’ts di Malaysia itu seperti apa? Bahasa dan pentingnya kontrak. Jadi kontrak itu dibuat dalam bahasa Melayu dan Inggris, sementara calon pekerja itu dua-duanya nggak bisa,” paparnya.
BMI Hong Kong dan Anak di Luar Pernikahan
Sementara di Hong Kong, sejumlah BMI melahirkan anak di luar pernikahan. Leni menceritakan, kurangnya pengetahuan membuat BMI tidak mencatatkan bayinya. Hal ini membuat anak mereka tidak punya status hukum.
“Ketidaktahuan. Oke kalau saya punya anak di Hong Kong gimana? Jadi mikirnya, ya sudah saya melahirkan di sini, simpan di kampung, tunggu saya selesai kerja,” jelasnya.
Tanpa status hukum yang jelas, anak itu tidak bisa dibawa ke Indonesia.
“Padahal anak semakin hari semakin besar. Dan nanti dia sekolah dia membutuhkan akta lahir. Akta itu berdasarkan hukum Indonesia itu harus ada buku nikah atau sertifikat pernikahan,” jelas Leni lagi.
Selama ini, BMI dibantu oleh LSM pendamping buruh migran Path Finders untuk memproses administrasi sebelum membawa bayi tersebut ke Indonesia. Beberapa BMI yang malu pulang ke kampungnya dengan membawa anak, dapat singgah sementara di Yayasan Ruth di Bandung.
CLE Unpas akan menggaet Hong Kong University (HKU) untuk membantu BMI lebih melek hukum. Bersamaan, mahasiswa Hong Kong akan dibawa ke Indonesia untuk mengajarkan aturan dan budaya negara tersebut.
Dengan pertukaran pengetahuan ini, Leni berharap semakin banyak pekerja Indonesia yang memahami hak-haknya.
Buruh Migran Perlu Banyak Ambil Foto
Sementara itu, Justice Without Borders, lembaga pendamping buruh migran di Asia, mengatakan buruh migran perlu dilatih mengambil banyak dokumentasi. Direktur JWB, Douglas MacLean, mengatakan hal ini membantu pengumpulan bukti jika buruh migran menghadapi masalah hukum.
“Foto di tempat kerja, semua dokumen-dokumen yang mereka lihat di negara tujuan, menulis catatan harian, atau menceritakan pengalaman mereka dengan teman di Facebook, semua ini bisa menjadi bukti,” jelasnya dalam kesempatan terpisah.
Dengan dokumentasi, upaya mencari keadilan lebih mudah.
“Jika kesadaran mereka tinggi, bahkan meski mereka tidak punya dokumen, mereka tetap punya kesempatan memperoleh keadilan,” tambah Douglas. (rt/em)