Dalam video yang diunggah di situs Action for Primates pada 25 Januari 2022, tampak kumpulan gambar yang menunjukkan penangkapan sekelompok kera yang dilakukan secara brutal.
Action for Primates adalah lembaga yang mengadvokasi kesejahteraan primata yang berbasis di Inggris.
Salah satu pendiri Action for Primates, Sarah Kite menentang aktivitas penangkapan dan ekspor kera ekor panjang di Indonesia yang ia sebut sebagai tindakan yang brutal dan biadab.
“Dimulainya kembali penangkapan dan ekspor makaka ekor panjang di Indonesia ini adalah perkembangan yang mengkhawatirkan, khususnya di tengah perhatian global yang mengutuk penangkapan primata liar non-manusia,” ujar Sarah seperti dikutip dari pernyataan persnya.
Menurut Action for Primates, negara seperti Amerika Serikat dan China menjadi tujuan utama ekspor dari kera-kera yang ditangkap dari hutan-hutan di Indonesia. Kera-kera tersebut nantinya dijadikan sebagai bagian dari eksperimen di laboratorium kedua negara tersebut.
LSM tersebut juga menjelaskan bahwa kera ekor panjang merupakan spesies primata yang paling sering digunakan untuk pengujian toksisitas yang bertujuan untuk menguji reaksi balik dari obat-obatan atau zat kimiawi yang biasanya berujung penderitaan atau kematian pada hewan yang menjadi bahan percobaaan.
Aktivitas ekspor kera ekor panjang untuk kebutuhan biomedis dan eksperimen ini memiliki aturan yang diregulasi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Mengutip dokumen Keputusan Dirjen Konservasi Alam dan Ekosistem tentang kuota penangkapan satwa liar tahun 2021, VOA mendapati bahwa perdagangan ekspor macaca fascicularis atau kera ekor panjang diperbolehkan untuk kepentingan biomedis dengan minimal umur monyet 2 tahun. Jumlah ekspor dibatasi sebanyak 2070 ekor untuk tahun 2001 yang dibagi di berbagai daerah di Jawa dan di Sumatera Selatan.
Berdasarkan dokumen tersebut, hanya ada dua perusahaan yang memiliki izin untuk melakukan perdagangan ekspor kera untuk tujuan eksperimen biomedis, yaitu CV Primaco di Pulau Jawa, yang mendapatkan kuota sebesar 1200 ekor, dan CV Inquatex di Sumatera Selatan, yang mendapatkan kuota penangkapan sebesar 870 ekor kera.
Praktik Uji Coba Obat pada Hewan
Metode uji coba dan eksperimen obat-obatan pada hewan lazim digunakan sebelum akhirnya diuji coba pada manusia. Meski demikian, perhatian global yang menekan untuk penghentian praktik ini kian membesar.
Pemerhati satwa liar dari Univeristas Gadjah Mada (UGM) Wisnu Nurcahyo mendukung upaya meminimalisir praktik ini, meski demikian ia memandang hal ini dilematis.
“Tapi memang tidak semudah itu ya karena memang banyak obat-obatan, vaksin, pengujian penyakit-penyakit kanker misalnya, ya ini memang harus menggunakan pengganti yang seperti manusia. Pengganti manusia ini kan babi dan primata. Primata ini kan 97 persen mirip manusia,” ujar Wisnu.
Berbagai obat-obatan dan vaksin seperti vaksin COVID-19 diketahui terlebih dahulu melalui proses uji coba terhadap hewan, sebelum memasuki fase uji coba bertahap pada manusia dalam berbagai skala.
Populasi Berlebih Kera Ekor Panjang
Pada kesempatan yang sama, Wisnu juga menjelaskan bahwa populasi kera ini telah melebihi populasi normal, dan salah satu akibat yang ditimbulkan dari fenomena tersebut adalah konflik dengan manusia. Meski demikian tak ada sensus yang bisa memperkirakan berapa jumlah populasi total satwa jenis kera ekor panjang di Indonesia.
Di Yogyakarta, satwa ini sudah mulai masuk ke area pertanian dan pemukiman warga.
“Sebetulnya sudah berlebih populasinya kalau di Indonesia jumlahnya. Memang karena perkembangbiakannya cepat, jadi di beberapa kawasan sudah jadi masalah itu. Konflik-konflik (terjadi) di mana-mana di setiap provinsi,” kata Wisnu.
Meski demikian, ia menjelaskan bahwa agresivitas satwa tersebut juga disebabkan oleh habitatnya yang mulai menyempit akibat aktivitas manusia. Trauma kolektif karena penangkapan paksa yang terjadi di alam liar semakin menyebabkan perilaku agresif para kera terhadap manusia.
“Apalagi cara menangkapnya juga dengan cara yang kurang berperikehewanan begitu ya, dengan tindakan yang menyakitkan. Tindakan itu akan diingat oleh teman-temannya dan saudaranya,” jelas Wisnu kepada VOA.
Kera Ekor Panjang Bebas Ditangkap
Karena populasinya yang banyak, kera ini tidak masuk dalam kategori satwa yang dilindungi sehingga aktivitas penangkapan kera ekor panjang di alam liar tetap diperbolehkan.
“Selama ini monyet ekor panjang itu karena populasinya cepat dan banyak termasuk tidak dilindungi tapi memang ada kuotanya, jadi tidak di terus jor-joran gitu ditangkapnya, itu ada batasnya,” ujar Wisnu.
Menjawab dilema penggunaan primata sebagai hewan percobaaan, ia menyebutkan penangkaran monyet ekor panjang sebagai solusi jalan tengah alih-alih penangkapan brutal di alam liar. Ia mencontohkan Pusat Studi Satwa IPB yang berlokasi di Pulau Tinjil, Banten.
“Jadi mereka seperti ditangkarkan, kemudian dipanen. Dipelihara kemudian dipanen. itu lebih baik, artinya terisolir dari manusia dan penyakitnya juga tidak menulari manusia,” ujar Wisnu.
Meski aktivitas penangkapan monyet ekor panjang legal, namun cara penangkapan yang brutal kerap disorot kelompok peduli satwa. LSM internasional seperti Action for Primates misalnya, terus mengadvokasi masyarakat untuk menekan pemerintah untuk menghentikan perdagangan primata. [rw/rs]