Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengemukakan hal itu dalam diskusi di Washington DC.
Polemik antara pemerintah Indonesia dan PT. Freeport Indonesia yang meruncing sejak Februari lalu, mulai menunjukkan titik terang. Kementerian Perdagangan pekan lalu (21/4) akhirnya mengeluarkan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) konsentrat bagi PT. Freeport Indonesia, yang berlaku hingga 16 Februari 2018. Surat ini dikeluarkan sehari setelah Freeport Indonesia mengajukan permohonan resmi untuk mengekspor konsentrat tembaga sebesar 1.113.105 wet metric ton (WMT). Berbekal surat ini Freeport Indonesia bisa mulai mengekspor konsentrat sesuai rekomendasi Dirjen Minerba Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ESDM 17 Februari lalu.
Dalam diskusi di CSIS Washington DC hari Selasa (25/4), Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan secara blak-blakan mengatakan ada pihak yang telah memelintir isu Freeport sehingga memanas.
“Isu Freeport telah dipelintir supaya memanas. Padahal kami ingin agar investasi asing langsung masuk ke Indonesia, tetapi setelah Freeport berada di negara kami selama lebih dari 50 tahun, kami ingin mendapat suara mayoritas dalam kontrak berikutnya, dan hal ini juga telah dinyatakan dalam kontrak sebelumnya,” ungkap Luhut.
Luhut Komentari Kebijakan “Amerika First”
Luhut Binsar Panjaitan, yang berada di Washington DC untuk mengikuti IMF Spring Meeting bersama beberapa pejabat terkait lainnya, juga mengaitkan soal Freeport ini dengan fokus kebijakan Amerika saat ini yaitu “Amerika First” atau “Amerika yang Pertama”.
“Kami belajar demokrasi dari Amerika. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia sekarang. Kami membuktikan bahwa kami cukup dewasa untuk berdemokrasi. Tetapi kemudian kami juga belajar dari Amerika yang baru-baru ini mengatakan “Amerika yang Pertama”. Dan Indonesia pun segera mengatakan “wow saudara kita yang memiliki demokrasi terbesar di dunia saja mengatakan “Amerika yang Pertama”, mengapa kita juga tidak mengatakan “Indonesia yang Pertama”. Kini kita melihat ekuilibrium hal ini. Anda seharusnya memahami posisi kami sebagai pejabat pemerintah. Jika tidak maka akan menjadi bumerang bagi kami. Karena sekarang semua data beredar luas di pasar. Anda tidak lagi bisa menyembunyikannya seperti dulu. Jika Anda melihat apa yang terjadi dalam 10, 15, 20 tahun lalu ketika Freeport atau siapapun atau perusahaan manapun datang menemui presiden kami dan mengatakan A, B dan kemudian mereka sama-sama batuk, maka semua orang akan batuk. Anda paham maksud saya khan? Kini kita tidak lagi bisa melakukannya. Parlemen, rakyat dan LSM-LSM mengamati dengan seksama. Saya kira hal yang sama terjadi di Amerika. Jadi mohon pahami hal ini karena kami tidak sedang berupaya menyulitkan Freeport, kami berupaya menjadikan proses ini terbuka,” ungkap Luhut.
Isu Freeport Ikut Dibahas dalam Pertemuan Jokowi-Pence
Ditemui seusai diskusi Luhut Binsar Panjaitan mengakui bahwa isu ini ikut dibahas dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Amerika Mike Pence pekan lalu.
“Freeport itu diselesaikan dengan spirit sesuai UU dan perjanjian. Presiden juga mengatakan sangat menyambut baik investasi asing langsung atau FDI. Tapi spiritnya juga harus memberi keuntungan pada rakyat Indonesia. Makanya saya katakan tadi, setelah 50 tahun Freeport di Indonesia masa gak boleh jadi pemegang saham mayoritas? Itu yang disampaikan Presiden pada Pence. Pence akhirnya mengerti bahwa masalahnya sebenarnya gak aneh2. Tadi juga saya jelaskan pada Tom Donahue, Ketua Kamar Dagang Amerika dan ia juga paham setelah dijelaskan. Saya juga jelaskan hal yang sama pada Menteri Perdagangan Amerika Wilbur Ross dan ia akhirnya bisa memahami karena rupanya ia juga mendapatkan informasi yang tidak lengkap. Jadi kami tidak ingin membuat sulit masalah Freeport ini," ujar Luhut.
(VOA: Apa seperti kata Bapak dalam diskusi tadi ada yang memutarbalikkan isu ini?) "Ya mungkin ada yang memang men-twisting issue ini. Tapi kita juga tidak mau kepentingan nasional kita dikalahkan. Intinya kita ingin semua win-win dengan baik,” imbuhnya.
Pemerintah Indonesia dan Freeport Masih Rundingkan Perubahan Kesepakatan
Selama tahun 2016 lalu Freeport Indonesia telah dua kali mendapat ijin untuk mengekspor konsentrat tembaga, yaitu pada 9 Februari dan 9 Agustus. Surat Persetujuan Ekspor (SPE) tahun 2017 baru dikeluarkan April ini karena pemerintah Indonesia dan Freeport sedang merundingkan kesepakatan peralihan kontrak dari sistem Kontrak Karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus.
Jika dalam status kontrak karya posisi negara dan perusahaan itu setara, maka dalam status IUPK posisi negara selaku pemberi ijin menjadi lebih tinggi, skema perpajakan bersifat “prevailing” atau menyesuaikan aturan yang berlaku dan perusahaan juga dikenai kewajiban melepas sahamnya, yaitu sedikitnya 51% pada pemerintah Indonesia atau perusahaan swasta nasional.
Februari lalu PT. Freeport Indonesia mengatakan tidak akan menerima perubahan itu dan tetap bersikukuh menggunakan status kontrak karya. Freeport juga mengajukan keberatan dan mengancam akan menyelesaikan perselisihan lewat mahkamah arbitrase internasional jika tidak berhasil menemukan jalan keluar.
Belum ada informasi tentang kelanjutan ancaman Freeport ini setelah dikeluarkannya ijin ekspor konsentrat tembaga pekan lalu.
Luhut: Sudah Saatnya Warga Papua Jadi CEO Freeport
Namun dalam perbincangan dengan VOA, Luhut Binsar Panjaitan berulangkali menyatakan bahwa setelah lebih dari 50 tahun berada di Indonesia, sudah saatnya warga Papua tidak sekedar menjadi pekerja kasar, tetapi justru CEO atau pimpinan Freeport di Papua. Hal senada, ujarnya, juga sedang diupayakan untuk proyek-proyek berskala raksasa seperti pembangunan di Blok Masela Ambon. [em/ii]