Mahkamah Agung Filipina telah menolak protes hasil pemilu yang diajukan putra mendiang diktator Ferdinand Marcos. Penolakan ini menggagalkan upayanya untuk membatalkan kekalahan tipisnya dalam pemilihan wakil presiden 2016 yang dinilai banyak pihak bisa menjadi kebangkitan politik yang menakjubkan.
Juru bicara Mahkamah Agung Filipina, Brian Hosaka, menyampaikan keputusan pengadilan tertinggi itu dalam sebuah konferensi pers, Selasa (16/2).
Mahkamah beranggotakan 15 orang itu, yang ditetapkan sebagai pengadilan pemilihan, dengan suara bulat menolak protes yang diajukan oleh Ferdinand Marcos Jr. setelah ia kalah dari pemimpin oposisi Leni Robredo dalam pemilihan wakil presiden dan mengklaim bahwa ia telah ditipu.
Marcos Jr. belum mengomentari keputusan Mahkamah Agung itu. Juru bicara Robredo, Barry Gutierrez, berterima kasih kepada para pendukung perempuan yang menjadi wakil presiden itu.
Marcos Jr. kalah dari Robredo, seorang pengacara HAM, dengan lebih dari 263.000 suara dalam perebutan kursi wakil presiden, jabatan politik tertinggi yang hampir direbut oleh keluarga mantan diktator, yang digulingkan revolusi rakyat yang didukung militer pada 1986. Keluarga Marcos melarikan diri ke Hawaii, di mana pemimpin yang digulingkan itu meninggal tiga tahun kemudian saat menghadapi tuduhan besar-besaran terkait HAM dan korupsi.
Janda diktator, Imelda Marcos, dan anak-anaknya akhirnya kembali ke Filipina, di mana ia mencalonkan diri dan kalah dalam pemilihan presiden 1992. Marcos Jr. memenangkan kursi Senat pada 2010, dan kemudian mengincar kursi wakil presiden pada 2016.
Dalam penghitungan ulang suara yang disetujui pengadilan di tiga provinsi yang dipilih oleh Marcos Jr., keunggulan Robredo malah meningkat sekitar 15.000 suara. Robredo, yang memenangkan kursi wakil presiden dengan lebih dari 14 juta suara, meminta pengadilan untuk membatalkan protes Marcos.
Penasihat hukum presiden Salvador Panelo mengatakan semua harus mematuhi keputusan pengadilan. “Selalu ada pemilihan lain untuk membuktikan kekalahan seseorang atau memvalidasi selamanya penolakan seseorang oleh penduduk yang memberikan suara,'' katanya.
Di Filipina, presiden dan wakil presiden dipilih secara terpisah. Robredo dikecam oleh Presiden Rodrigo Duterte karena kritik tajamnya terhadap tindakan keras Duterte dalam menanggulangi narkoba dan komentar-komentarnya yang dinilai bernuansa seksis dan ofensif.
Duterte secara terbuka bersekutu dengan keluarga Marcos dan mengizinkan penguburan mantan diktator itu di Taman Makam Pahlawan negara itu pada 2016, yang membuat marah para pendukung pemberontakan 1986 yang menggulingkan Marcos. [ab/uh]