Pemerintahan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bergantung pada dua partai Yahudi ultra-Ortodoks.
Keduanya menilai pengecualian wajib militer sebagai kunci untuk mempertahankan konstituen mereka di seminari-seminari keagamaan, dan menjauh dari militer Israel, tempat becampurnya semua warga, yang bertentangan adat istiadat konservatif mereka.
Para pemimpin kedua partai tersebut mengatakan, mereka kecewa atas keputusan itu. Namun, keduanya tidak langsung mengecam pemerintah.
“Keputusan ini sebenarnya tidak memiliki implikasi apapun, implikasi praktis apapun. Ini hanya sekadar deklarasi. Ini tidak memberikan pengaruh apapun terhadap isu pertahanan saat ini. Jadi, sukar untuk mengapresiasi putusan ini. Ini tidak terlalu berarti. Malah, Mahkamah Agung seharusnya tidak ikut campur dalam masalah ini,” kata Moshe Roth, anggota partai ultra-Orthodox United Torah Judaism.
Rencana wajib militer bagi para siswa seminari dapat memperlebar keretakan dalam koalisi Netanyahu yang semakin rapuh.
Sebagian menyuarakan harapan agar semua pihak bekerja sama terkait isu wajib militer tersebut.
“Di Knesset, kami berkomitmen untuk memenuhi kebutuhan pasukan pertahanan Israel (IDF), tetapi kami juga berkomitmen menjaga paradigma komunitas ultra-Ortodoks, bahwa (mereka) akan baik-baik saja di militer dan tidak akan merasa sebagai ancaman bagi keyakinan mereka, dan akan dapat masuk militer dengan penampilan yang sama dan keluar dari militer sebagai seorang ultra-Ortodoks,” ujar Ariel Kallner, anggota Partai Likud pimpinan Netanyahu.
Partai-partai oposisi menyambut baik keputusan tersebut.
Pengecualian aturan wajib militer untuk penganut ultra-Ortodoks dihapus ketika angkatan bersenjata Israel kekurangan personel akibat perang dengan Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon.
Warga Israel secara hukum diharuskan menjalani wajib militer mulai usia 18 tahun, dengan ketentuan masa tiga tahun mengabdi untuk warga laki-laki dan dua tahun untuk warga perempuan.
Selama beberapa dekade (puluhan tahun) terakhir, para siswa seminari Yahudi ultra-Ortodoks dikecualikan dari wajib militer.
Para pemimpin Ultra-Ortodoks menilai pengecualian tersebut sangat penting untuk melestarikan tradisi mereka.
Namun, dalam beberapa bulan terakhir, pengecualian itu memicu protes warga Israel yang marah karena mereka menanggung risiko perang di Gaza.
Para demonstran Ultra-Ortodoks berunjuk rasa. Mereka memblokir jalan dan berbaris sambil membawa poster dan spanduk sebagai aksi protes.
Mordechai Bloy, seorang Rabi dan pengajar ultra-Ortodoks Israel mengatakan, keputusan Mahkamah Agung Israel “memalukan”.
“Militer sangat progresif, sangat liberal sedangkan ultra-Ortodoks sangat taat, sangat religius, sulit bagi mereka mengikuti cara ini. Mereka (para tentara) menempatkan tentara perempuan di kamp-kamp (militer), dan masih banyak masalah lainnya—makanan kosher dan lainnya. Jika tidak ada penyesuaian, dan tidak akan ada penyesuaian, terhadap unit-unit (militer) khusus bagi masyarakat ultra-Ortodoks, maka orang-orang ultra-Ortodoks bisa bertugas sebagai abdi negara sebagai gantinya,” jelasnya.
Jumlah anggota komunitas ultra-Ortodoks mencapai 13% dari 10 juta penduduk Israel. Jumlah itu diperkirakan terus meningkat karena tingkat kelahiran yang tinggi. [br/ka]
Forum