Keterbatasan akses informasi membuat masyarakat luas tidak mengetahui dampak operasi militer yang dilakukan TNI/Polri di Papua Pegunungan. Berbagai pihak meminta, operasi dihentikan dan dialog damai dilakukan.
Himpunan Pelajar dan Mahasiswa (HIPMA) Lani Kabupaten Lanny Jaya se Jawa-Bali mencatat, sejumlah korban di kalangan masyarakat sipil akibat konflik bersenjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB). Sayangnya, kenyataan ini tidak terekspos dengan baik, karena kendala komunikasi.
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Pusat HIPMA Lani se-Jawa dan Bali, Viktor Wanimbo dalam pernyataan pada Kamis (27/4) menyebut, kondisi ini diperparah dengan stigma yang diberikan, bahwa kawasan Lanny Jaya, khususnya distrik Kwiyawagi adalah basis TPNPB.
“Sarana dan prasarana komunikasi untuk mengirim dan menerima pesan, serta mengakses dan mendapatkan informasi sangat sulit, sehingga informasi operasi militer Indonesia dalam pengejaran dan pencarian pilot yang ditawan TPNPB/OPM yang sebenarnya banyak mengorbankan rakyat sipil, perampasan harta benda, pembakaran rumah-rumah warga, tidak diketahui publik secara up to date,” kata Viktor.
Konflik berdarah semakin parah setelah TNI/Polri menggelar operasi, pasca penyanderaan pilot berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mehrtens. Pilot ini disandera oleh sayap militer Organisasi Papua Merdeka-Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (OPM-TPNPB) KODAP III Derakma, Ndugama, di bawah pimpinan Egianus Kogoya. Philip disandera, seusai mendarat di lapangan terbang distrik Paro, kabupaten Nduga, 7 Februari 2023.
Karena itulah, mahasiswa Lanny Jaya se Jawa-Bali meminta Presiden Joko Widodo, Menkopolhukam Mahfud MD, Komisi III DPR, pemerintah provinsi Papua Pegunungan, pemerintah dan DPRD di kabupaten Lanny Jaya, Nduga dan Puncak Papua, untuk segera bertindak mengatasi persoalan.
Tuntutan juga disampaikan kepada organisasi keagamaan.
“Kepada Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, PGI, agar segera melihat dan membuka suara, agar persoalan di distrik Kwiyawagi, Wano Barat dan Goa Baliem untuk segera dituntaskan secepatnya,”papar Viktor.
Mahasiswa juga meminta Komnas HAM segera turun ke lapangan melakukan investigasi.
Gereja Diklaim Jadi Kunci
Tokoh agama di Wamena, Jayawijaya, Pendeta Alexsander Mauri ketika dihubungi VOA terkait persoalan ini meyakini, bahwa gereja adalah kunci penyelesaian konflik bersenjata. Pemerintah daerah tidak perlu membentuk tim resmi, tetapi cukup mempercayakan kepada pemimpin gereja, untuk melakukan pendekatan. Misi pertama bukan membebaskan sandera, tetapi melayani seluruh pihak di kawasan konflik.
“Enggak usah dulu masuk untuk ke kasus penyandera, enggak usah ke situ dulu. Yakin saja, ketika tokoh agama hadir di sana dan berdoa dengan mereka, percaya Tuhan itu Maha Kuasa dan lewat sentuhan sentuhan religi, itu pasti situasi di sana akan cepat pulih,” tegas Mauri.
“Ini yang belum dilakukan. Pemerintah belum melakukan ini dan berpikir dengan siaga tempur, siaga perang, dengan kelompok ini,” tambah dia.
Mauri mengingatkan, tantangan yang dihadapi pasukan TNI/Polri cukup berat, karena wilayah yang tidak mudah ditaklukkan.
“Jangan lupa, mereka hidup di alam mereka. Mereka cukup dengan strategi gerilnya, memancing pasukan kita, tentara kita, masuk ke hutan-hutan saja, habis sendiri. Apalagi di ketinggian yang cukup tinggi,” ujarnya lagi.
Karena itulah, Mauri meminta pemerintah mengedepankan dialog damai dengan menyertakan gereja. Dia mengingatkan, di Papua ada tiga tungku yang masing-masing memiliki peran, yaitu adat, gereja dan pemerintah. Hanya saja, dalam memilih tokoh gereja yang ditugaskan melakukan pendekatan juga harus berhati-hati. Dari sekitar 50 denominasi gereja yang ada di Papua, kata Mauri, setidaknya ada empat denominasi yang menjurus mendukung pergerakan Papua merdeka.
“Yang sekarang ini kan, di daerah barat sampai masuk ke Meepago dari kawasan Lapago. Dari Papua Pegunungan masuk ke wilayah barat ke Papua Tengah. Sehingga untuk melokalisir ini sangat mudah, yaitu bagaimana menghadirkan tokoh-tokoh gereja untuk turun ke sana dan melakukan pelayanan kepada mereka,” tambah Mauri.
Kunci penyelesaian ada pada pihak yang dipercaya oleh kelompok bersenjata ini. Dalam sejumlah pernyataan, mereka menegaskan tidak takut kepada siapapun kecuali kepada Allah. Karena itu, kata Mauri, ini sebenarnya tanda bahwa kelompok ini masih bisa menerima gereja.
Terancam Seperti Timor Leste
Masukan juga diberikan oleh tokoh agama ustadz Ismail Asso, pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah Firdaus Asso, Jayapura, Papua. Kepada VOA dia mengatakan, operasi militer akan menimbulkan korban di pihak masyarakat Papua.
“Dampaknya, orang Papua ini nanti akan dibunuh, dan itu luka dalam tubuh negara kita. Sehingga dia selalu dan terus menerus, letupan-letupan api untuk separatisme itu tetap akan tumbuh dan berkembang. Sehingga sesungguhnya itu sama saja kita menunggu waktu, proses percepatan menyusul Timor Leste,” kata Ismail, Jumat (28/4).
Pengalaman juga menunjukkan, selama ini pendekatan militeristik tidak pernah bisa menyelesaikan masalah di Papua.
Ada jumlah faktor yang seharusnya dimanfaatkan maksimal. Presiden Jokowi, kata Ismail, selama ini bisa diterima baik oleh masyarakat Papua, sebagaimana Gus Dur pada masa lalu. Sementara Wakil Presiden Ma’ruf Amin, telah diberi kewenangan luas dalam penyelesaian persoalan Papua. Indonesia juga bisa menyelesaikan masalah separatisme di Aceh, sehingga seharusnya persoalan sama di Papua juga dapat diatasi.
“Dialog itu bukan berarti lepas seperti Timor Leste, tetapi mencari solusi yang saling menguntungkan. Jadi, rakyat Papua tidak menjadi korban dan negara juga tidak dirugikan. Papua tidak keluar dari Indonesia. Dialog itu menghentikan korban rakyat sipil dan aparat TNI/Polri,” tegas Ismail.
Ismail mengatakan, TNI dan Polri memang memiliki keunggulan peralatan tempur. Namun, TPNPB lebih unggul dalam penguasaan medan berat di alam pegunungan Papua. Kondisi ini akan berdampak pada timbulnya korban yang tidak sedikit, baik di kalangan anggota TNI/Polri maupun rakyat sipil.
“Pendekatan militeristik tidak akan membawa hasil, bahkan tidak akan menghentikan perjuangan. Sebaliknya, semakin menyuburkan api perjuangan rakyat Papua. Negara dengan berbagai kebijakan affirmative action, tidak dapat memadamkan semangat separatisme Papua,” kata Ismail lagi.
Karena itulah, dialog damai merupakan satu-satunya jalan keluar yang harus diambil Presiden Jokowi saat ini.
Strategi Pengamanan Disusun
Wakil Presiden Ma’ruf Amin sendiri pada Rabu (26/4) mengumpulkan sejumlah menteri untuk membahas berbagai isu Papua. Amin adalah Ketua Tim Pengarah Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua yang dibentuk oleh Jokowi.
Juru bicara Wapres, Masduki Baidlowi menyebut ada dua tema yang dibahas dalam pertemuan ini, yaitu ekonomi dan keamanan. Dari sisi ekonomi, pembentukan daerah otonomi baru di Papua diharapkan bisa menjadi pemicu pemerataan pembangunan. Sedangkan isu kedua adalah soal keamanan.
“Yang kedua, tentu saja berbicara mengenai pola-pola penanganan keamanan Papua. Pola-pola penanganan Papua ini seperti apa, memang belum selesai pembicaraannya, karena masih akan ada rapat lanjutan, dan tidak ada pembicaraan-pembicaraan yang berhubungan dengan itu, untuk dibicarakan lebih jauh,” ujar Masduki.
Masduki menjelaskan, pemerintah mengakui ada sejumlah wilayah, khususnya di Papua Tengah dan Papua Pegunungan yang bermasalah dalam soal keamanan. Namun, strategi penanganannya belum selesai dibicarakan karena detilnya akan dirumuskan oleh tim tersendiri.
Forum