Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan tagihan utang dari para obligor bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mencapai Rp 110,4 triliun. Jumlah tersebut berdasarkan hitungan per Kamis (15/4) mengacu kepada perkembangan kurs, saham dan nilai properti yang dijaminkan. Mahfud meminta para obligor secara sukarela membayar utang tersebut melalui Kementerian Keuangan.
"Tentu diharapkan kepada mereka yang punya utang dan kami punya catatannya, akan sangat baik kalau secara sukarela datang ke Kementerian Keuangan," jelas Mahfud di Jakarta, Kamis (15/4/2021).
Mahfud menambahkan persoalan BLBI dapat menjadi ranah pidana jika nantinya ditemukan unsur pidana. Semisal jaminan tanah atau surat pernyataan yang diberikan obligor tersebut palsu. Menurutnya, persoalan ini juga telah dikoordinasikan dengan kepolisian dan kejaksaan jika nantinya ditemukan unsur pidana. Kendati demikian, terkait surat keterangan lunas peluang menjadi ranah pidana sudah tertutup sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung.
"Bahkan ada sekian banyak jaminan tersebut menjadi perkara di pengadilan, ternyata milik orang lain. Digugat pihak ketiga ternyata menang, padahal yang menjamin tidak mengubah jaminannya," tambah Mahfud.
Ia menuturkan terdapat sejumlah kendala dalam penagihan aset BLBI. Salah satunya yaitu aset tersebut telah berpindah keluar negeri. Kata Mahfud, pemerintah akan melakukan upaya antarnegara untuk mengembalikan aset tersebut.
ICW Dorong Pengesahan RUU Perampasan Aset
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana tidak yakin para obligor akan secara sukarela membayar utang ke negara dalam kasus BLBI. Ia beralasan kasus ini sudah lama dan tidak terlihat niat baik dari para obligor untuk membayar utang.
Menurut Kurnia, pemerintah semestinya tidak hanya membentuk Satgas Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI, namun harus mengumumkan para obligor yang memiliki utang. Tujuannya masyarakat dapat ikut mengawal proses pengembalian aset negara dalam kasus BLBI ini.
"Selain itu, tim juga harus merumuskan bagaimana mekanisme pembayarannya. Apakah menggunakan uang tunai atau aset. Kalau aset siapa yang menilai, jangan sampai tindakan ini mengulangi bancakan korupsi seperti waktu-waktu lalu, ketika menilai aset layak atau tidak," jelas Kurnia kepada VOA, Kamis (15/4/2021).
Kurnia juga mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memudahkan pemerintah mengambil aset BLBI. Namun, RUU Perampasan Aset pada tahun ini tidak masuk daftar 33 RUU Prolegnas Prioritas yang disahkan dalam Rapat Paripurna pada Maret lalu.
Presiden Joko Widodo baru-baru ini mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Menurut Menko Polhukam Mahfud MD, pemerintah tidak mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke dalam Satgas Hak Tagih BLBI karena lembaga antirasuah tersebut merupakan lembaga hukum pidana, sedangkan putusan MA menyebutkan kasus BLBI merupakan perdata. Selain itu, KPK merupakan lembaga yang bukan menjadi bagian pemerintah seperti Komnas HAM. Ia khawatir pemerintah justru akan dinilai menyetir KPK jika masuk dalam satgas. [sm/em]