Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mendorong peningkatan literasi media dan politik bagi masyarakat untuk menangkal hoaks dan disinformasi yang dimainkan para pendengung atau buzzer bayaran di media sosial dalam pemilihan umum (pemilu) 2024
Hal itu untuk menjaga agar pemilu 2024 berjalan demokratis. Pasalnya, posisi media mainstream lemah karena keterbatasan modal. Bahkan, beberapa di antara perusahaan media punya afiliasi dengan partai politik. Pada 2022 diperkirakan terdapat 800 ribu akun-akun gelap terkait buzzer.
“Oleh sebab itu kalau saudara mau melihat pendukung A, lihat TV ini. Kalau melihat pendukung B lihat TV itu. Hampir semuanya itu punya afiliasi dan ini yang banyak disayangkan oleh para pejuang demokrasi. Kenapa bisa sampai begitu? Bukannya Pers itu pilar keempat demokrasi,” kata Mahfud MD dalam seminar nasional bertema “Literasi Media dan Politik Jelang Pemilu 2024” di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada Selasa (23/5).
Mahfud mencontohkan hoaks mengenai kedatangan tujuh kontainer yang berisi surat suara yang sudah tercoblos saat pemilu 2019, padahal saat itu kartu surat suara belum dicetak.
Literasi media secara sederhana bisa diartikan sebagai kemampuan untuk memahami, menganalisis dan medekonstruksi pencitraan media. Dengan kemampuan literasi, masyarakat tidak hanya membaca judul berita, apalagi judul yang bersifat umpan klik atau tidak sesuai dengan isi berita. Namun, bisa memahami berita secara utuh.
“Kadang kala media-media sekarang banyak membuat klik bait antara isi dan judulnya itu beda. Ini sudah tidak sehat dan itu mungkin akan mengganggu jalannya pemilu kita,” kata Mahfud MD.
Mengutip elemen jurnalisme dari Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, Mahfud mengatakan media sepatutnya menjaga independensi dari obyek liputannya, menjadi pemantau independen kekuasaan, serta menghadirkan liputan yang komprehensif dan proporsional.
Sebagai Media Alternatif
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, mengungkapkan berdasarkan situasi pemilu 2014 dan 2019, ada kekhawatiran terhadap konflik kepentingan media yang berafiliasi dengan partai politik.
Masyarakat, menurut Ninik, perlu bersikap positif konstruktif dengan menjadikan media yang berafiliasi dengan partai politik itu sebagai media alternatif untuk mendapatkan pengetahuan.
“Tapi sebagai rujukan baliklah kepada media-media yang bekerja secara profesional,” imbau Ninik dalam kegiatan yang sama.
Dewan Pers juga mengimbau agar insan pers yang akan terjun ke dunia politik untuk mengundurkan diri sementara waktu agar terhindar dari konflik kepentingan itu.
Perlu Aturan Bersama Siaran Kepemiluan
Komisioner Bidang Kelembagaan, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Evri Rizqi Monarshi mengungkapkan KPI sudah menerima banyak aduan terkait siaran pemilu di media penyiaran. Namun, pihaknya belum dapat menindaklanjuti aduan tersebut karena masih menunggu aturan bersama tentang siaran pemilu, antara KPI dan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta Dewan Pers.
“Kami juga kan harus bekerja berdasarkan aturan. Ketika kemudian ini belum ada aturan bersama, ya kami juga menjadi sulit meskipun banyak aduan-aduan. Bukan satu atau dua sudah banyak juga aduan kepada Komisi Penyiaran Indonesia,” kata Evri.
Evri menjelaskan pengawasan terhadap penyiaran pemilu di lembaga penyiaran televisi dan radio berupa antara lain, larangan monopoli segmen penyiaran kepada salah satu peserta pemilu, larangan pembiayaan program siaran dari peserta pemilu selain iklan, dan program penyiaran memberi kesempatan yang sama kepada seluruh peserta pemilu.
Evri berharap dengan kemampuan literasi media, masyarakat bisa memahami dan menganalisis informasi, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat sesuai hati nurani dalam Pemilu 2024. Media penyiaran juga diharapkan dapat menyampaikan akses informasi yang berimbang dan obyektif dalam perannya sebagai pengawas dan mengontrol pemilu. [yl/ft]
Forum