Sidang perdana di Mahkamah Konstitusi pada Jumat (14/6) merupakan agenda yang paling ditunggu-tunggu pasca pengumuman hasil rekapitulasi suara final oleh KPU 21 Mei lalu.
Tak heran jika otorita berwenang mengerahkan 48.000 personel gabungan TNI-Polri untuk mengamankan jalannya sidang dengan agenda tunggal penyampaian materi gugatan oleh tim kuasa hukum Badan Pemenangan Nasional (BPN) pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sidang perdana tersebut dipimpin oleh majelis hakim beranggotakan sembilan orang dan diketuai oleh Anwar Usman. Materi gugatan dibacakan secara bergantian oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia Denny Indrayana, mantan ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YBHI) Bambang Widjojanto, dan pengacara Tengku Nasrullah.
Denny Indrayana menegaskan Mahkamah Konstitusi harus dapat memberikan penilaian terhadap kejujuran peserta pemilihan presiden dalam berkompetisi. Ditambahkannya, jika hanya memberikan keputusan berdasarkan hasil penghitungan suara, Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD 1945.
"Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara sengketa hasil Pilpres bukan hanya berarti menghitung ulang rekapitulasi suara, tetapi lebih jauh dari itu adalah menegakkan keadilan," kata Denny.
BPN Kutip Pandangan Ahli
Tengku Nasrullah mengutip pendapat sejumlah ahli, termasuk pendapat dari pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra, yang juga tim kuasa hukum Tim Kampanye nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, yang menyatakan Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan aspek keadilan substantif dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara sengketa hasil pemilihan presiden. Aspek-aspek tersebut, yaitu apakah pelaksanaan pemilihan umum presiden itu telah melaksanakan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil telah dilaksanakan semestinya atau tidak.
Selain itu, lanjut Nasrullah, pakar hukum tata negara lainnya, Saldi Isra, yang sekarang menjabat hakim Mahkamah Konstitusi mengatakan perbedaan selisih suara bisa dikesampingkan kalau memang terdapat kecurangan yang dilakukan salah satu pasangan calon presiden-wakil presiden terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Nasrullah menyebutkan kecurangan dalam pemilihan umum dapat terjadi dalam semua tahapan, yakni sebelum, saat pencoblosan, dan setelah pencoblosan. Dia menekankan sudah lazim diketahui kalau calon petahana akan menyalahgunakan kekuasaan untuk memenangkan pemilihan umum.
Modus yang digunakan oleh petahana, tambahnya, adalah memanfaatkan semua kewenangan, termasuk fasilitas negara, aparatur negara, anggaran negara, lembaga negara, hingga badan usaha milik negara buat memenangkan dirinya. Nasrullah menilai tindakan itu bukan sekadar melanggar hukum tetapi juga bertentangan dengan etika bernegara.
Nasrullah menegaskan Presiden Joko Widodo telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai calon petahana pada Pemilihan Presiden 2019, misalnya dengan melakukan cuti berdasarkan jam. Menurutnya, dalam Keputusan MK Nomor 60 Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah melarang calon petahana untuk tidak mengambil cuti dan melarang calon petahana menggunakan fasilitas negara.
Ditegaskanya bahwa potensi kecurangan yang dilakukan oleh Joko Widodo semakin kuat karena karakteristik pemerintahannya cenderung otoriter seperti rezim Orde Baru.
"Melihat pemerintahan Joko Widodo, telah muncul pendapat bahwa pemerintahannya adalah Neo Orde Baru, dengan korupsi yang masif dan pemerintahan yang represif kepada masyarakat sipil sebagai cirinya," ujar Nasrullah.
Ia mengutip pernyataan Prof. Tim Lindsey, guru besar hukum dan Indonesianis dari Melbourne University of Law School.
Pendapat serupa menurutnya juga disampaikan oleh Tom Power, kandidat doktor dari Australian National University. Dalam sebuah makalahnya, menurut Nasrullah, Tom Power memandang Jokowi telah menggunakan hukum untuk menyerang sekaligus melemahkan lawan-lawan politiknya. Proteksi hukum ditawarkan lawan politik yang terbelit kasus hukum agar beralih menjadi pendukungnya.
Nasrullah menyebutkan Joko Widodo telah melakukan kecurangan mirip gaya Orde Baru dengan menjadikan aparat, birokrasi, BUMN, dan partai koalisi sebagai poros kemenangan dalam Pemilihan Presiden 2019.
Namun selang sehari setelah penyebutan namanya dalam sidang Mahkamah Konstitusi itu, Profesor Tim Lindsey menyampaikan protes. Sejumlah media memberitakan bahwa Lindsey mengatakan tidak pernah menyebut pemerintahan Presiden Joko Widodo otoriter.
Menanggapi protes Lindsey itu, TKN Jokowi-Ma'ruf minta agar BPN Prabowo-Sandi minta maaf.
TKN: Materi Gugatan Mudah Dipatahkan
Sementara ketika dalam sidang MK, tim kuasa hukum TKN Jokowi-Ma’ruf merasa keberatan karena tim kuasa hukum BPN membacakan materi gugatan hasil revisi. Yusril Ihza Mahendra, anggota tim kuasa hukum TKN meminta majelis hakim memutuskan materi gugatan BPN yang akan diperiksa dan diadili adalah materi gugatan yang pertama kali disampaikan pada akhir bulan lalu, bukan materi gugatan hasil revisi.
Namun majelis hakim tidak mempersoalkan hal tersebut selama hanya redaksional, bukan revisi substantif dan masih terkait. Majelis hakim kemudian memberikan peluang bagi tergugat (Komisi pemilihan Umum) dan pihak terkait (TKN dan Bawaslu) untuk merevisi jawaban atas materi gugatan BPN.
Yusril juga menilai materi atau gugatan yang disampaikan oleh kuasa hukum pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno mudah dipatahkan karena argumen yang diberikan hanya sebatas asumsi.
Ketua majelis hakim Anwar Usman memutuskan sidang dilanjutkan pada Selasa (18/6) dengan agenda mendengar jawaban dari KPU, TKN, dan Bawaslu terhadap materi gugatan BPN. Agenda lainnya, yaitu pengesahan bukti-bukti kecurangan yang disampaikan oleh tim kuasa hukum BPN.
Di luar sidang, Sekjen PDI-Perjuangan yang juga sekretaris TKN Jokowi-Ma'ruf, Hasto Kristiyanto dalam pernyataan tertulisnya mengatakan “gugatan ke Mahkamah Konstitusi seharusnya adalah gugatan dengan dalil hukum yang matang, dilengkapi dengan bukti yang bisa dipertanggungjawabkan, dan berpengaruh signifikan terhadap hasil.”
“Tim Hukum 02 lebih banyak menyampaikan wacana dan keluar dari substansi pokok tanpa dilengkapi dengan bukti material. Jadi kami yakin, bahwa ditinjau dari substansi hukum, maka MK akan sangat sulit pengabulkan gugatan pemohon karena minimnya bukti,” kata Hasto dalam pernyataannya. [fw/em]