Mahkamah Konstitusi, Rabu mengabulkan permohonan uji materil undang-undang Nomor 4/PNPS tahun 1963 tentang pengamanan barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum yang diajukan sejumlah penulis, penerbit dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD mengatakan undang-undang No.4 PNPS tahun 1963 yang digunakan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan dan penyitaan buku sangat bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Menurut Mahfud, ini karena setiap orang berhak untuk berkomunikasi, menyimpan dan menyatakan fikirannya melalui pembuatan buku.
Kejaksaan Agung harus melalui proses peradilan terlebih dahulu apabila ingin melakukan pelarangan buku yang dinilainya mengganggu ketertiban umum.
Dan jika ingin melakukan penyitaan buku maka kepolisian maupun Kejaksaan Agung harus meminta ijin kepada ketua Pengadilan Negeri setempat yang kemudian dilanjutkan dengan proses penyidikan, penuntutan dan penyidangan yang sesuai dengan undang-undang yang ada.
“Undang-undang no.4/PNPS/1963 tentang pengamanan barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum tercantum dalam lembaran negara Republik Indonesia tahun 1963 No.23 tambahan lembaran negara Republik Indonesia No.2533 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945,” jelas Mahfud.
Dari sembilan hakim Mahkamah Konstitusi yang ada, hanya satu hakim yang memiliki pendapat yang berbeda atau dissenting opinion, yaitu Hamdan Zoelva. Menurutnya, kewenangan Kejaksaan Agung untuk melakukan pelarangan buku yang dinilai melanggar ketertiban umum merupakan tindakan yang tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Apalagi dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat plural, ancaman atas keamanan dan ketertiban umum yang ditimbulkan oleh suku, ras dan agama masih menjadi persoalan yang belum dapat diatasi dengan baik,” kata Hamdan Zoelva.
Ia menambahkan, tulisan bisa menimbulkan ganguan keamanan, karena,”Sebuah tulisan, barang cetakan yang menyinggung perasaan suku, agama dan ras atau kelompok tertentu, dapat menimbulkan perkelahian, perang antar suku atau agama yang pasti mengancam keamanan dan ketertiban umum.”
Atas putusan Mahkamah Konstitusi itu, sejumlah penulis yang mengajukan judicial review merasa senang. Menurut Muhidin M. Dahlan,” Ini kabar baik bagi buku. Selama sejarah Indonesia, tidak ada kabar segini baik bagi seorang penulis. Dia ( kejaksaan) harus melewati sebuah prosedur yang agak panjang dan tidak singkat, ringkas untuk melakukan penindakan atas sebuah buku.”
Penulis lainnya, Darmawan mengungkapkan,” Kita mulai saat ini berani menulis buku dan kalau ada orang tidak sependapat, kita tantang tulis buku lagi, tidak lagi dengan kekuasaan.”
Muhidin M. Dahlan adalah penulis buku “Lekra Tidak Membakar Buku” sedangkan Darmawan menulis buku “Enam Jalan Menuju Tuhan”. Kedua buku ini dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung karena dianggap mengganggu ketertiban umum.