Tautan-tautan Akses

Makin Marak, Balas Dendam dan Pemerasan Berbekal Konten Pornografi


Sejumlah umat muslim mendukung RUU anti-pornografi yang kontroversial di Jakarta, 21 Mei 2006 sebagai ilustrasi. Jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi korban dari aksi penyebaran konten intim non-konsensual semakin bertambah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Sejumlah umat muslim mendukung RUU anti-pornografi yang kontroversial di Jakarta, 21 Mei 2006 sebagai ilustrasi. Jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi korban dari aksi penyebaran konten intim non-konsensual semakin bertambah. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Jumlah perempuan di Indonesia yang menjadi korban dari aksi penyebaran konten intim non-konsensual semakin bertambah. Dalam sejumlah kasus, tindakan itu juga diiringi upaya pemerasan, baik bermotif uang ataupun seksual.

Peringatan Konten: Artikel Berisi Laporan tentang Kekerasan Seksual.

Bulan Mei lalu, petugas kepolisian di Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, menangkap seorang laki-laki yang memeras kekasih gelapnya berbekal video pornografi yang memuat wajah korban.

Kasus tersebut bermula dari hubungan seorang laki-laki dan perempuan bersuami, di mana keduanya memutuskan untuk merekam salah satu aktivitas seksual mereka. Setelah beberapa waktu, perempuan tersebut ingin mengakhiri hubungannya dengan sang lelaki, yang langsung ditolak oleh laki-laki itu.

Kepala Kepolisian Sektor Nanggulan, Kulonprogo, DI Yogyakarta, Kompol Agus Setya Pambudi, mengatakan rekaman video yang telah dibuat sebelumnya dijadikan senjata penolakan terhadap keinginan sang perempuan untuk memutus hubungan yang terjalin, yang akhirnya berujung pada upaya pemerasan.

“Pada saat korban akan menyudahi hubungan asmara, pelaku tidak mau dan akan memberitahu suami korban, dan menyebarkan video yang telah direkamnya. Tersangka meminta uang sebesar Rp15 juta, agar hubungannya tidak diberitahukan kepada suami korban,” papar Pambudi.

Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok Muslim mengadakan unjuk rasa anti-pornografi di luar pengadilan Bandung di Jawa Barat pada 31 Januari 2011. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok Muslim mengadakan unjuk rasa anti-pornografi di luar pengadilan Bandung di Jawa Barat pada 31 Januari 2011. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Dalam kasus serupa di Sidoarjo, Jawa Timur, korban bahkan masih anak-anak. Dalam keterangan resminya, Kepala Kepolisian Resor Kota Sidoarjo, Kombes Pol. Kusumo Wahyu Bintoro menyebut, pelaku merupakan seorang mahasiswa yang melakukan pencabulan terhadap korban.

“Pelaku sempat memfoto perbuatan tersebut, lalu digunakan untuk mengancam korban bahwa jika tidak menurutinya foto akan disebarkan di media sosial,” papar Kusumo Wahyu di Sidoarjo, dalam keterangan media yang dipublikasikan pada Mei lalu.

Kasus penyebaran konten intim non-konsensual semakin marak terjadi. Pada awal pekan ini, polisi juga menangkap seorang pria asal Blitar, Jawa Timur, di Yogyakarta, karena menyebar foto intim mantan pacarnya setelah hubungan cinta mereka putus. Seorang mahasiswa di Jakarta melakukan tindakan serupa, juga karena alasan sama.

Sejumlah umat muslim mendukung RUU anti-pornografi yang kontroversial di Jakarta, 21 Mei 2006. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Sejumlah umat muslim mendukung RUU anti-pornografi yang kontroversial di Jakarta, 21 Mei 2006. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Setidaknya, di Bulan Juni, kasus serupa juga terjadi di Ogan Komering Ulu, Lampung dan Makassar dengan menggunakan foto porno korban sebagai senjata pengancam. Sementara sepanjang Mei, kasus bertebaran di sejumlah wilayah seperti Bima, Nusa Tenggara Barat, Gresik dan Sidoarjo di Jawa Timur, Palangkaraya di Kalimantan Tengah, hingga Way Kanan, Lampung.

Dengan dan Tanpa Pemerasan

Menanggapi maraknya kasus penyebaran konten intim non-konsensual, dosen Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Firya Qurratu'ain Abisono menyebut terdapat dua jenis upaya distribusi konten pornografi dalam kasus serupa.

“Balas dendam, yang disebut dengan revenge porn ini, bisa juga disebut sextortion, yang melibatkan distribusi gambar atau video seksual eksplisit, tanpa persetujuan dari individu yang bersangkutan,” paparnya dalam diskusi terkait penyebaran konten intim non-konsensual, yang diselenggarakan Center for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pada Selasa (13/6).

Dosen Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Firya Qurratu'ain Abisono. (Foto: Dok Pribadi)
Dosen Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Firya Qurratu'ain Abisono. (Foto: Dok Pribadi)

Secara prinsip, pornografi balas dendam adalah penyebaran konten, baik foto maupun video tanpa adanya persetujuan dari pihak yang ada di dalam konten tersebut, biasanya dengan alasan adanya rasa dendam. Sementara sextortion, kata Firya, dilakukan dengan memeras memanfaatkan foto atau video pornografi milik korban. Pemerasan tidak melulu bertujuan mencari uang, tetapi bisa juga meminta hubungan cinta kembali atau memaksa terjadinya hubungan seksual dengan pihak korban.

“Jadi kalau misalnya dia menyebarkan, terus dia minta uang, minta balikan, atau kalau misalnya dia memeras, itu sudah masuk dalam sekstorsi. Tapi kalau misalnya baru penyebaran, itu masuknya adalah non-konsensual pornografi atau revenge porn,” ujar Firya.

Secara umum, di Indonesia kedua tindakan itu disebut sebagai Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO).

Konten dengan Consent

Agita Pasaribu, direktur eksekutif Bully id. (Foto: Dok Bully id)
Agita Pasaribu, direktur eksekutif Bully id. (Foto: Dok Bully id)

Berbicara dalam diskusi yang sama, Agita Pasaribu, Direktur Eksekutif Bullyid, menyebut sejumlah karakteristik dalam kasus semacam ini.

Bullyid adalah lembaga yang memiliki layanan dukungan psikis dan bantuan hukum bagi korban kekerasan.

“Jadi apakah itu image, apakah itu video itu termasuk dengan konten seksual dan pornografi. Apakah itu nudity. Apakah itu adegan berhubungan seksual atau misalkan adegan sensual lainnya, misalnya ciuman atau hal-hal lain yang termasuk dalam konten atau konteks pornografi,” paparnya.

Karakteristik lain yang muncul dalam kasus tersebut adalah, dalam proses pembuatan konten, biasanya pihak korban memberikan izin dengan catatan konten tersebut dibuat ketika korban masih menjalin hubungan asmara dengan pelaku.

“Tapi, yang tidak ada consent-nya, adalah ketika pelaku menjadikan hal-hal ini atau konten tersebut, menjadi cara untuk blackmail, atau mengontrol korban dan diancam untuk disebarluaskan ke ranah publik,” tambahnya.

Distribusi konten pornografi non-konsensual maupun pemerasan ini, biasanya dilakukan di media sosial, laman porno, hingga grup-grup daring.

“Nah, umumnya ada beberapa motif, sakit hati misalnya, putus dari pasangannya, kemudian juga menjadikan ini supaya pasangannya tidak memutuskan dia, misalnya. Nah, umumnya ini terjadi kebanyakan dari laki-laki ke perempuan,” ujarnya.

Makin Marak, Balas Dendam dan Pemerasan Berbekal Konten Pornografi
mohon tunggu

No media source currently available

0:00 0:02:43 0:00

Kasus Terus Meningkat

Pada 2022 lalu, terdapat 1.512 aduan masuk ke LBH Apik Jakarta. Dari jumlah itu, laporan kekerasan terhadap perempuan tercatat sebanyak 1.185, di mana jumlah kasus KBGO mencapai 440 kasus.

Setahun sebelumnya, LBH APIK Jakarta menerima 489 laporan KBGO, dan pada 2020 lembaga tersebut mencatat 307 kasus, dan angka tersebut hanya merepresentasikan kasus di area Jakarta dan sekitarnya. Sementara Komnas Perempuan mencatat, pada 2020 terdapat 940 kasus KBGO, dan jumlahnya meningkat kemudian pada 2021 menjadi 1.721. Pada 2022, pihak Komnas Perempuan mencatat 678 kasus KBGO.

Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok Muslim mengadakan unjuk rasa anti-pornografi di luar pengadilan Bandung di Jawa Barat pada 31 Januari 2011. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)
Pengunjuk rasa dari berbagai kelompok Muslim mengadakan unjuk rasa anti-pornografi di luar pengadilan Bandung di Jawa Barat pada 31 Januari 2011. (Foto: AFP/Bay Ismoyo)

Cyber Right Organization menyatakan, 90 persen korban KBGO adalah perempuan, yang secara tidak proporsional telah menjadi sasaran dan diancam oleh pelaku laki-laki di berbagai ruang seperti forum, grup obrolan, halaman web, dan media sosial.

Mengutip sebuah penelitian di Inggris, organisasi tersebut menyebutkan dari 1.160 KBGO yang dilaporkan, hanya 11 persen pelaku yang dituntut, 7 persen mendapat peringatan polisi dan 5 persen lainnya diselesaikan di tingkat komunitas. Sebanyak 61 persen kasus tidak ditindaklanjuti, karena menurut polisi kurang bukti dan korban membatalkan kasus tersebut.

Cyber Right Organization juga mengatakan, KBGO menyebabkan serangan psikologis bagi penyintas seperti gangguan stres pascatrauma, kecemasan, dan depresi. Korban merasa dikhianati, diekspos dan dipermalukan.

Istilah pornografi balas dendam sendiri dilematis menurut organisasi ini. Seolah-olah, balas dendam mengisyaratkan bahwa pelaku melakukan tindakan itu, karena membalas tindakan korban sebelumnya yang juga merupakan sebuah kejahatan. Tindakan ini dinilai, menjadikan korban kembali menjadi korban untuk kedua kalinya dalam kasus yang sama. [ns/rs]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG