Malaysia mengubah keputusannya, Jumat (24/7), setelah seorang menterinya memicu kemarahan publik karena pengumumannya bahwa semua produksi video, termasuk yang diunggah di sosial media, harus memiliki lisensi, menyusul pertikaiannya dengan media berita Al-Jazeera.
Menteri Komunikasi Saifuddin Abdullah menimbulkan kebingungan, Kamis (23/7), setelah mengatakan di parlemen bahwa semua film dan video, termasuk yang diproduksi media berita dan para pengguna media sosial, harus mematuhi UU Film tahun 1981. Ini artinya, semua produksi film dan video membutuhkan lisensi, dan karya gambar bergerak seperti itu hanya bisa diproduksi perusahaan terdaftar dengan modal sedikitnya 50.000 ringgit (atau sekitar 11.700 dolar)
Namun, kemudian ia mengubah pernyataannya, Jumat (24/7), dengan mengatakan bahwa para pengguna media sosial mendapat pengecualian.
“Pemerintah Malaysia mendukung prinsip-prinsip independensi media dan kebebasan individu di media sosial,” kata Saifuddin. “Pengguna media sosial bebas menggunakan platform seperti TikTok, YouTube dan lain-lain untuk mengunggah video tanpa harus mengajukan lisensi terlebih dahulu atau mengkhawatirkan bahwa mereka kelak akan didenda.”
Saifuddin tidak menjelaskan apakah organisasi-organisasi media memerlukan lisensi untuk memproduksi film dokumenter berita atau konten online.
Pernyataan Saifuddin di parlemen muncul setelah Al-Jazeera menolak klaim bahwa mereka memerlukan lisensi untuk memproduksi film dokumenter mengenai perlakuan pihak berwenang Malaysia terhadap imigran ilegal. Polisi melakukan penyelidikan setelah sejumlah pejabat pemerintah mengeluhkan bahwa film itu tidak akurat dan bias.
Banyak warga Malaysia dan anggota parlemen dari kelompok-kelompok oposisi mengecam pengumuman Saifuddin itu karena mempengaruhi produksi video di media sosial. Sekitar 80 persen dari 32 juta penduduk Malaysia adalah pengguna media sosial.
Pemimpin oposisi Anwar Ibrahim mengatakan peraturan lisensi itu merupakan perkembangan yang memprihatinkan di tengah-tengah serangan dan pelecehan terhadap media, termasuk Al-Jazeera, di bawah pemerintahan Perdana Menteri Muhyiddin Yassin, yang baru menjabat Maret lalu. Ia menuduh, langkah itu sebagai usaha untuk mengekang pembangkangan. [ab/uh]