TOKYO —
Enam mantan "comfort women" atau budak seks ikut serta dalam pertemuan aktivis internasional di Tokyo akhir pekan lalu untuk menuntut permintaan maaf resmi Jepang atas perbudakan seksual dalam rumah bordil militer pada masa perang, sebuah warisan yang masih menghantui negara itu.
Konferensi Solidaritas Asia telah diselenggarakan 12 kali sejak 1992 untuk mendesak pemerintah Jepang mengakui bertanggung jawab atas dugaan pemaksaan ribuan perempuan untuk menyediakan layanan seks kepada tentara kekaisaran Jepang di seluruh wilayah.
Enam perempuan yang menghadiri pertemuan tersebut -- dari Korea Selatan, Filipina, Indonesia, dan seorang lagi putri korban dari China -- juga menyerukan pemerintah Jepang untuk memberikan kompensasi pada mantan budak seks tersebut.
Seruan ini datang menyusul pengumuman pemerintah di Tokyo untuk mengkaji ulang pernyataan 1993 yang berisi permintaan maaf atas keterlibatan militer dalam sistem rumah bordil paksa namun tidak mengakui keterlibatan pemerintah di dalamnya.
"Kami akan mendiskusikan bagaimana pemerintah seharusnya meminta maaf dan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mewujudkan permintaan maaf itu dalam tindakan," ujar penyelenggara lokal pertemuan tersebut dalam pidatonya.
Presiden AS Barack Obama, dalam sebuah rangkaian kunjungan ke Asia bulan lalu, mengecam prostitusi paksa sebelum dan setelah Perang Dunia II sebagai sesuatu yang "mengerikan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dahsyat."
"Pemerintah Jepang sepertinya menunggu kita mati," ujar Kim Bok-Dong, 88, asal Korea Selatan pada pertemuan tersebut. Ia diduga dipaksa masuk ke sistem rumah bordil di 1941 pada usia 15 tahun dan bekerja di "comfort stations" di seluruh Asia selama hampir lima tahun.
Isu perbudakan seksual selama perang terutama mengundang kebencian dari negara tetangga Korea Selatan, setengah dari Semenanjung Korea yang dijajah Jepang dari 1910 sampai 1945.
Meski banyak warga Jepang menerima rasa bersalah bangsa, beberapa politisi senior sayap kanan, termasuk PM Shinzo Abe, berpendapat isu itu dilebih-lebihkan, membuat hubungan Jepang-Korea Selatan mendingin. Beberapa juga mengatakan ada kasus-kasus prostitusi tanpa paksaan.
Dengan sedikitnya data resmi yang tersedia, banyak peneliti memperkirakan sampai 200.000 perempuan, sebagian besar dari Jepang dan Korea, namun ada juga dari China, Indonesia, Filipina dan Taiwan, melayani tentara-tentara Jepang di "comfort stations."
Jepang sebelumnya menawarkan uang bagi mantan budak seks lewat dana swasta yang dibentuk pada 1995 dan berlangsung sampai 2007. Namun beberapa penyintas menolak uang tersebut karena tidak datang langsung dari pemerintah. (AFP)
Konferensi Solidaritas Asia telah diselenggarakan 12 kali sejak 1992 untuk mendesak pemerintah Jepang mengakui bertanggung jawab atas dugaan pemaksaan ribuan perempuan untuk menyediakan layanan seks kepada tentara kekaisaran Jepang di seluruh wilayah.
Enam perempuan yang menghadiri pertemuan tersebut -- dari Korea Selatan, Filipina, Indonesia, dan seorang lagi putri korban dari China -- juga menyerukan pemerintah Jepang untuk memberikan kompensasi pada mantan budak seks tersebut.
Seruan ini datang menyusul pengumuman pemerintah di Tokyo untuk mengkaji ulang pernyataan 1993 yang berisi permintaan maaf atas keterlibatan militer dalam sistem rumah bordil paksa namun tidak mengakui keterlibatan pemerintah di dalamnya.
"Kami akan mendiskusikan bagaimana pemerintah seharusnya meminta maaf dan langkah-langkah apa yang harus diambil untuk mewujudkan permintaan maaf itu dalam tindakan," ujar penyelenggara lokal pertemuan tersebut dalam pidatonya.
Presiden AS Barack Obama, dalam sebuah rangkaian kunjungan ke Asia bulan lalu, mengecam prostitusi paksa sebelum dan setelah Perang Dunia II sebagai sesuatu yang "mengerikan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dahsyat."
"Pemerintah Jepang sepertinya menunggu kita mati," ujar Kim Bok-Dong, 88, asal Korea Selatan pada pertemuan tersebut. Ia diduga dipaksa masuk ke sistem rumah bordil di 1941 pada usia 15 tahun dan bekerja di "comfort stations" di seluruh Asia selama hampir lima tahun.
Isu perbudakan seksual selama perang terutama mengundang kebencian dari negara tetangga Korea Selatan, setengah dari Semenanjung Korea yang dijajah Jepang dari 1910 sampai 1945.
Meski banyak warga Jepang menerima rasa bersalah bangsa, beberapa politisi senior sayap kanan, termasuk PM Shinzo Abe, berpendapat isu itu dilebih-lebihkan, membuat hubungan Jepang-Korea Selatan mendingin. Beberapa juga mengatakan ada kasus-kasus prostitusi tanpa paksaan.
Dengan sedikitnya data resmi yang tersedia, banyak peneliti memperkirakan sampai 200.000 perempuan, sebagian besar dari Jepang dan Korea, namun ada juga dari China, Indonesia, Filipina dan Taiwan, melayani tentara-tentara Jepang di "comfort stations."
Jepang sebelumnya menawarkan uang bagi mantan budak seks lewat dana swasta yang dibentuk pada 1995 dan berlangsung sampai 2007. Namun beberapa penyintas menolak uang tersebut karena tidak datang langsung dari pemerintah. (AFP)