Pembangunan Hunian Tetap (huntap) bagi warga masyarakat terdampak bencana alam di Sulawesi Tengah dimulai dengan peletakan batu pertama pembangunan 1.500 unit huntap oleh Menkopolhukam Wiranto, di desa Pombewe, Kabupaten Sigi. Menurut rencana akan dibangun delapan ribu huntap dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana Sulawesi Tengah ini.
Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto hari Senin (1/7) melakukan peletakan batu pertama pembangunan hunian tetap (huntap) di desa Pombewe Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah yang sekaligus menandai dimulainya pembangunan Hunian Tetap (Huntap) di lokasi lainnya bagi warga Sulawesi Tengah yang kehilangan rumah-rumah mereka akibat bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuifaksi 28 September lalu.
“Maka pembangunan hunian tetap bagi para korban bencana alam di Sulawesi Tengah dengan resmi saya nyatakan dimulai” kata Wiranto yang diikutinya dengan memasukkan campuran semen ke salah satu tiang pondasi bangunan huntap yang akan dibangun di tempat itu.
Menkopolhukam Wiranto berharap kegiatan peletakan batu pertama atau ground breaking itu dapat mendorong berbagai pihak lainnya untuk ikut terlibat dalam pembangunan hunian tetap bagi warga masyarakat terdampak bencana di Sulawesi Tengah. Ia menekankan perlu ada kerjasama serta kerelaan dari setiap komponen masyarakat untuk memungkinkan pelaksanaan pembangunan Huntap dapat terlaksana dengan lancar. Hal ini disampaikannya karena sebagian pembangunan huntap terkendala masalah kepemilikan lahan Hak Guna Bangunan dan Hak Guna Usaha.
“Tanpa kebersamaan kita, tanpa pemahaman kita, tanpa kerjasama kita tidak mungkin ribuan rumah dibangun dalam waktu yang sangat singkat. Saya masih melihat masih masalah HGB numpuk lagi masalah land clearing dan sebagainya, ini kalau tidak ada kelegawaan kita, kebersamaan kita untuk mengarah kepada Hunian Tetap para masyarakat, tidak mungkin bisa selesai, maka kembali tadi saya mengharapkan agar semuanya dapat dilaksanakan dengan cara-cara kerja iklas, kerja sama, kerja tuntas dan kerja keras,” papar Wiranto
Wiranto berharap dalam masa rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana di Sulawesi Tengah yang akan berlangsung selama dua tahun itu, berbagai program berupa santunan, jaminan hidup dan dana stimulan tetap digulirkan untuk membantu warga masyarakat terdampak bencana yang saat ini masih berada di tenda-tenda pengungsian maupun di hunian sementara. Ia mengakui kedatangannya ke Sulawesi Tengah itu juga untuk mendiskusikan sejumlah permasalahan teknis terkait penyaluranan dana jaminan hidup dan dana stimulan yang masih perlu di koordinasikan kembali antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
Bangun Huntap, PUPR Gandeng Beragam Organisasi
Ketua Satgas Kementerian PUPR Aris Setiadi Murwanto menerangkan di tempat seluas 362 Hektar itu akan dibangun seribu huntap yang dikerjakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, dan menyusul kemudian 500 unit huntap oleh Kementerian PUPR yang untuk pengerjaannya masih menunggu usainya proses lelang. Selain itu terdapat 2 lokasi pembangunan Hunian Tetap lainnya yaitu di Tondo-Talise dan Kelurahan Duyu Kota Palu. Serta 18 lokasi Huntap satelit untuk warga terdampak bencana yang berprofesi sebagai petani dan nelayan. Secara keseluruhan direncanakan akan dibangun 8.788 hunian tetap dengan total luas lahan seluruhnya yaitu 712 Hektar.
“Lokasi bencana di Sulawesi Tengah sangat tersebar dan beberapa masyarakat yang terdampak di lokasi-lokasi yang agak jauh dari lokasi Huntap utama ini mata pencahariannya adalah bertani dan nelayan sehingga sukar mereka pindah di konsentrasikan di tiga Huntap utama ini,” ungkap Aris.
Ester (45) seorang ibu rumah tangga yang mengaku sudah 10 bulan tinggal di lokasi pengungsian di sekitar tempat itu mengaku senang dengan telah dimulai pembangunan itu dan berharap dapat berpindah dari huntara ke huntap yang menurutnya lebih aman dan nyaman. Saat ini Ester meninggali huntara bersama suami dan keempat anaknya.
“Supaya kita aman disini, karena kita sudah 10 bulan disini, kita merasa masih belum nyaman, tapi kalau sudah ada rumah Huntap, kami merasa bersyukur, sudah senang kalau sudah mendapat rumah disini dan kami bisa diperhatikan pemerintah dengan lebih baik,” harap Ester.
Hunian tetap di desa Pombewe Kabupaten Sigi itu, setiap unitnya memiliki luas bangunan 36 meter persegi dan luas lahan 150 meter persegi. Kawasan pemukiman akan dilengkapi sarana jalan, pasar, rumah ibadah, serta bangunan sekolah dari TK hingga SMA.
Untuk kebutuhan air bersih akan dialirkan melalui pipa sepanjang 5 kilometer dari Sungai Paniki, yang berjarak sekitar lima kilometer dari tempat itu dengan debit 40 liter per detik sehingga juga bisa melayani lokasi pemukiman lainnya ditempat itu yang selama ini kesulitan mendapatkan air bersih.
Pemda Diminta Tegas Atasi Pembangunan Kembali di Zona Rawan Bencana
Dalam jumpa Pers di Kantor Gubernur Provinsi Sulawesi Tengah, Menkopolhukam Wiranto meminta pemerintah daerah untuk tegas menghadapi fenomena adanya aktifitas warga masyarakat yang kembali mendirikan bangunan untuk tempat tinggal, maupun usaha, di lokasi-lokasi yang telah ditetapkan pemerintah sebagai zona merah. Hal ini menurutnya sangat berbahaya bila kelak kembali terjadi bencana akibat pergerakan Sesar Palu Koro.
“Tapi kenyataanya masih ada masyarakat yang tidak menaati dimana mereka kembali masuk ke zona merah membangun perumahan permukiman, usaha-usaha di zona merah itu. Nah disini kita minta ketegasan dari pemerintah daerah dan kesadaran masyarakat untuk jangan melanggar apa yang telah ditentukan bahwa zona merah itu adalah zona yang berbahaya,” ujar Wiranto
Mengutip keterangan BNPB, Wiranto mengingatkan Sesar Palu sebagai ring of fire Indonesia yang mungkin bergolak lagi. Berangkat dari situasi itu maka pemerintah menetapkan zona-zona merah yang melarang adanya pembangunan pemukiman.
Dalam buku Rencana Induk Pemulihan Dan Pembangunan Kembali Wilayah Pasca Bencana Provinsi Sulawesi Tengah, zona merah ditetapkan untuk kawasan Petobo, Balaroa, Jono Oge, Lolu dan Sibalaya. Zona merah lainnya adalah zona sempadan pantai rawan tsunami minimal 100 – 200 meter dari titik pasang tertinggi dimana pemanfaatan ruang diprioritaskan sebagai kawasan lindung yang dapat mengurangi resiko bencana dalam bentuk sabuk hijau tsunami serta ruang terbuka hijau. [yl/em]