Ibu Lies (60), Kamis(12/3) siang, itu terlihat sibuk mengisi beberapa wadah makanan yang sudah hampir kosong di meja di rumah makan "Kembang 48".
Di rumah makan milik perempuan berusia 60 tahun itu, cukup membayar Rp 20 ribu, konsumen bisa menikmati nasi dan berbagai olahan dari ikan, daging babi, daging ayam, ular dan kelelawar, khas Minahasa.
Tak heran rumah makan yang terletak di tepi jalan jalur trans desa Leilem, Kabupaten Minahasa, Provinsi Sulawesi Utara, tak pernah sepi pengunjung.
Kepada VOA, Lies menjelaskan di antara sekian banyak masakan, olahan daging ular atau disebut Patola dan daging kelelawar atau Paniki, adalah menu favorit pelanggannya. Bahkan kini pelanggannya menjuluki masakan kelelawar itu "menu corona”. Seperti nama penyakit pernapasan akut yang telah ditetapkan sebagai pandemi global oleh Organisasi Kesehatan Sedunia (World Health Organization/WHO).
Setiap hari, Kembang 48 menyiapkan tujuh kilogram daging kelelawar dan ular untuk dimasak. Cara masaknya pun berbeda dengan memasak daging unggas atau daging sapi.
“Dibakar dulu, baru setelah itu dipotong-potong. Habis itu direbus ya cukup lama sampai dua jam. Habis itu diangkat, cuci. Baru dimasak. Dimasak juga lama dengan rica (cabai.red) dan bumbu lain,” Lies menjelaskan cara memasak daging ular dan kelelawar. "Butuh satu jam lagi untuk memasak daging ular dan kelelawar dengan bumbu-bumbu tadi," imbuhnya.
Lies mengakui ia sempat tidak menyajikan masakan daging ular dan kelelawar selama dua minggu ketika berita-berita mengenai wabah virus corono muncul di media. Namun karena para pelanggan terus menanyakan, akhirnya Lies menyerah.
Para pelanggannya juga meyakinkan Lies untuk tidak khawatir dengan virus corona karena tidak pernah ditemukan terjadi di wilayah Sulawesi Utara.
“Corona berita dunia itu. Memang kita orang juga takut mau jual,tapi karena permintaan itu konsumen. Dorang (mereka) bilang ‘oh yanda kwa (tidak) ada di sini. Kan dimasak lama, kalau orang Minahasa kan dorang tahu,” tutur Lies.
Feron Tololiu, seorang konsumen yang ditemui di rumah makan itu, mengatakan ia yakin masakan daging kelelawar tetap aman dikonsumsi karena masih banyak konsumen yang menyantap hewan nokturnal itu. Karena itu, ia tak khawatir menyantap Paniki.
“Kalau kita perhatikan di YouTube, di Wuhan sana terkadang masih mentah sudah dimakan. Kalau torang (kami) di sini sudah dibakar, direbus, dibumbu lagi,” ujar pria berusia 40 tahun asal Tondano, Minahasa.
Proses memasak yang berkali-kali meyakinkan warga setempat bahwa mengonsumi olahan daging kelelawar dan ular tidak akan membahayakan kesehatan mereka.
Bahkan, bagi Yobert Bolang (46), seorang konsumen "Kembang 48", kelelawar adalah makanan sehat. Pasalnya, hewan itu memakan buah-buahan di hutan.
“Baru kelelawar kan, sumber makanannya sehat sekali. Buah-buah, paling sehat itu. Jadi saya rasa tetap aman. Jadi di Wuhan itu hanya masalah pengolahan,” ujar Yobert yang juga berasal Tondano.
Franky Bastin Boseke, warga Kota Tomohon yang juga seorang budayawan, menjelaskan praktik mengonsumsi hewan liar dan peliharaan tanpa menimbulkan dampak terhadap kesehatan, sudah berlangsug lama di wilayah itu. Oleh sebab itu, warga Tomohon tetap mengonsumsi daging kelelawar dan ular, meski ramai pemberitaan mengenai wabah virus corona.
“Kalau itu memang mendatangkan virus atau penyebab virus-virus yang sekarang ada, seharusnya orang Minahasa sejak dahulu, sejak nenek moyang kami yang mengkonsumsi itu, harusnya sudah kena duluan,” jelas Franky.
Dia menambahkan masyarakat Tomohon dan Minahasa, meyakini daging jenis hewan tertentu seperti kucing, anjing dan kelelawar bisa mengobati penyakit tertentu, seperti asma.
“Bagi orang Minahasa sampai hari ini, itu bukan sebagai penyebab virus. Malah itu obat,” ujarnya
Terkait rencana Pemerintah Kota Tomohon untuk menghentikan pasokan daging ular dan kelelawar, menurut Franky, hal itu perlu dipertimbangkan dengan baik. Karena rencana tesebut akan berdampak pada kegiatan perekonomian masyarakat, seperti para pedagang hewan liar di pasar-pasar dan para pemilik rumah makan. [ys/jm/ft]