Tautan-tautan Akses

Tumbuh Pesat, Maskapai di Asia Berebut Pilot Berkualifikasi


Permintaan akan pilot di Asia hampir melebihi pasokan.
Permintaan akan pilot di Asia hampir melebihi pasokan.

Karena pertumbuhan yang pesat, Asia Pasifik akan memerlukan 216.000 pilot baru dalam 20 tahun mendatang, jumlah terbanyak di dunia, mencakup 40 persen dari permintaan global akan pilot.

Jatuhnya pesawat TransAsia ke sebuah sungai di Taiwan lagi-lagi menarik fokus dunia pada masalah keselamatan yang dihadapi maskapai-maskapai di Asia yang tumbuh dengan pesat.

TransAsia telah menambah rute-rute baru dengan cepat sejak maskapai Taiwan itu menjadi perusahaan publik pada 2011. TransAsia dan yang lainnya bergerak cepat untuk mengikuti ledakan perjalanan yang dipicu oleh pertumbuhan kelas menengah di wilayah ini.

Kemudahan dan semakin terjangkaunya tiket pesawat membantu mendorong pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup yang lebih baik dari para konsumen di Asia. Namun seiring bertambahnya penumpang di langit yang semakin padat, para maskapai juga berlomba untuk melatih cukup banyak pilot.

"Permintaan akan pilot hampir melebihi pasokan," ujar John M. Cox, yang berpengalaman 25 tahun sebagai pilot US Airwas dan sekarang adalah CEO lembaga konsultan Safety Operating Systems.

Maskapai-maskapai yang tumbuh dengan cepat perlu mempertahankan standar-standar di saat mereka mempekerjakan lebih banyak pilot, petugas perawatan, operator dan pramugari/pramugara. Cox mengatakan para maskapai Asia saat ini memenuhi standar-standar tersebut namun hal ini merupakan tantangan besar.

TransAsia Airways penerbangan 235 jatuh Rabu (4/2) tak lama setelah terbang dari Taipei, Taiwan, dengan 58 orang di dalamnya. Video dramatis dari kamera di sebuah mobil menangkap momen ketika pesawat yang oleng menabrak jembatan sebelum jatuh di sungai yang dangkal. Sedikitnya 31 orang tewas.

Itu adalah kecelakaan fatal kedua dalam enam bulan untuk maskapai tersebut dan kecelakaan serius ketujuh dalam dua dekade terakhir, menurut majalah penerbangan Flightglobal. Insiden ini terjadi satu bulan setelah pesawat AirAsia Indonesia jatuh ke Laut Jawa saat terbang dari Surabaya ke Singapura, menewaskan 162 orang di dalamnya.

Seiring dengan pertumbuhan ekonomi di Asia Tenggara, lebih banyak orang memiliki uang untuk bepergian dan maskapai-maskapai menambah pesawat untuk terbang di wilayah ini.

Produsen pesawat Airbus, ATR, Boeing, Bombardier dan Embraer memasok 1.543 pesawat ke maskapai-maskapai tahun lalu. Hal itu berarti 30 pesawat baru dikirim setiap minggu, tingkat produksi tercepat dalam sejarah penerbangan komersial.

Sebagian besar pesawat itu dikirim ke Asia.

TransAsia Airways, maskapai penerbangan terbesar ketiga di Taiwan, menjadi bagian pertumbuhan pembelian ini. Maskapai tersebut didirikan pada 1951 namun telah mengalamai lonjakan pertumbuhan menyusul debutnya di pasar modal Taiwan pada 2011.

Perusahaan ini telah menambah sekitar 24 rute ke China daratan dan kota-kota Asia lainnya. TransAsia menerbangkan sekitar 20 pesawat dari basisnya di Bandar Udara Sungshan di Taipei dan memiliki cukup pesanan pesawat untuk menggandakan armadanya dalam lima tahun.

Petugas keselamatan untuk pesawat TransAsia yang jatuh di sungai di Taipei.
Petugas keselamatan untuk pesawat TransAsia yang jatuh di sungai di Taipei.

Pesawat turboprop yang jatuh Rabu tersebut berumur kurang dari setahun, menurut Ascend, lembaga konsultan penerbangan. Berjenis ATR 72-600, dibuat oleh usaha gabungan Airbus Group dan Alenia Aermacchi di Italia. Pesawat ini digerakkan oleh dua mesin Pratt & Whitney PW100-127M. TransAsia juga menerbangkan pesawat-pesawat Airbus untuk beberapa rute pendek di sekitar Asia.

Kecelakaan pesawat yang paling serius terjadi Juli lalu, ketika 48 orang tewas setelah pesawat turboprop yang lain jatuh di sebuah pulau dekat China daratan dalam cuaca badai.

Terlalu cepat untuk menentukan apa yang menyebabkan jatuhnya pesawat Rabu.

Keith McGuire, mantan penyelidik pesawat pada Badan Keselamatan Transportasi Nasional, mengatakan pertumbuhan pesat dapat memperburuk pelatihan pilot dan perawatan, namun maskapai-maskapai dengan program-program keselamatan dan pelatihan dapat mengatasinya.

"Ada konsep yang salah bahwa hanya karena sebuah maskapai baru, atau karena mereka tumbuh dengan pesat, maka mereka tidak aman. Para penyelidik tidak melihatnya seperti itu," ujarnya.

Terbang di Asia

Bahkan dengan kecelakaan ini, terbang di Asia tetap aman. Ada 89.000 penerbangan setiap hari di seluruh dunia, menurut situs pelacak penerbangan FlightAware, termasuk 25.000 di Asia. Lebih dari 99,9 persen diantaranya mendarat dengan selamat.

Tetap saja, para ahli merasa khawatir karena pertumbuhan pesat di wilayah ini.

Saat ini ada sekitar 1.600 pesawat beroperasi di Asia Tenggara, menurut Brendan Sobie, analis di CAPA Centre for Aviation, sebuah badan konsultasi di Sydney. Ia mengatakan Asia adalah satu-satunya wilayah di dunia di mana jumlah pesawat yang sedang dipesan dan jumlah yang sudah beroperasi sama, "jadi pertumbuhan sepertinya terus berlanjut."

Untuk setiap pesawat baru, para maskapai perlu mempekerjakan dan melatih setidaknya 10-12 pilot, terkadang lebih banyak, menurut ahli-ahli industri. Jumlah ini sangat tinggi karena pesawat seringkali terbang sepanjang hari dan malam, tujuh hari seminggu, sementara pilot butuh tidur dan libur.

Saat ini, wilayah Asia-Pasifik mencakup 31 persen dari lalu lintas penumpang udara global, menurut kelompok perdagangan industri, Asosiasi Transportasi Udara Internasional. Dalam dua dekade, angka itu diperkirakan akan melonjak menjadi 42 persen, karena Asia menambah ekstra 1,8 miliar penumpang tahunan dalam ukuran pasar keseluruhan 2,9 miliar.

Permintaan akan Pilot Baru

Boeing memperkirakan bahwa wilayah Asia Pasifik akan memerlukan 216.000 pilot baru dalam 20 tahun mendatang, jumlah terbanyak di dunia, mencakup 40 persen dari permintaan global akan pilot.

Bandara Internasional Doha di Qatar. Banyak pilot yang memilih bekerja di Timur Tengah karena gaji yang lebih besar dan pesawat yang baru.
Bandara Internasional Doha di Qatar. Banyak pilot yang memilih bekerja di Timur Tengah karena gaji yang lebih besar dan pesawat yang baru.

Sebagai perbandingan, ada sekitar 104.000 pilot bekerja di Amerika Serikat yang menerbangkan segala jenis pesawat, menurut Biro Statistik Tenaga Kerja.

"Pertumbuhan eksponensial dan permintaan akan perjalanan udara tidak diantisipasi oleh banyak pemerintah di wilayah ini," ujar Shukor Yusof, pendiri perusahaan riset penerbangan di Malaysia, Endau Analytics.

"Infrastruktur, bandara dan pilot kurang karena tidak ada yang memperkirakan perjalanan berbiaya rendah akan tumbuh secara pesat dengan cepat, dan mendatangkan uang banyak seperti sekarang ini."

AS memiliki banyak fasilitas pelatihan pilot, dari universitas sampai sekolah penerbangan. Dan AS juga memiliki sistem maskapai regional yang melatih dan menghasilkan pilot-pilot berpengalaman untuk maskapai-maskapai terbesar.

Namun Asia, tempat maskapai yang tumbuh pesat seperti AirAsia, Lion Air di Indonesia dan Jet Airways di India, tidak memiliki cukup program pelatihan untuk semua pilot, menurut David Greenberg, mantan eksekutif Delta Air Lines yang memantau pelatihan pilot dan keselamatan di Korean Air.

Alhasil, menurut Greenberg, terjadilah pembajakan pilot -- maskapai-maskapai di Timur Tengah dan Asia telah merekrut pilot-pilot di AS, Kanada, Australia dan Eropa untuk mengisi kokpit-kokpit mereka.

Greenberg mengatakan bahwa pada saat ia di Korean Air, 10 persen kapten pesawat adalah orang asing yang berasal dari 28 negara.

Sementara itu, banyak pilot, insinyur dan teknisi di Asia Tenggara telah tertarik denga posisi yang lebih menarik di Timur Tengah, yang memberikan gaji lebih tinggi dan kesempatan untuk terbang dalam pesawat baru yang lebih mengilap.

Kurangnya staf yang terlatih berarti lebih sedikitnya jumlah pekerja sementara beban kerja banyak, dan itu menimbulkan risiko.

Tetap saja, industri penerbangan secara umumnya telah melakukan pekerjaan dengan baik untuk meningkatkan keselamatan sambil menggandakan jumlah penumpang pada 15 tahun terakhir.

Pada 2013, 3,1 miliar penumpang terbang secara global, dua kali jumlah pada 1999. Namun peluang untuk meninggal dalam kecelakaan pesawat jauh lebih rendah.

Sejak 2000, ada kurang dari tiga kecelakaan fatal per 10 juta penumpang, menurut analisis Associated Press mengenai data pesawat jatuh yang diberikan oleh lembaga konsultan Ascend. Pada 1990an, ada hampir delapan; pada 1980an ada 11; dan pada 1970an ada 26 kematian per 10 juta penumpang.

Tapi tidak berarti beberapa bagian di dunia tidak lebih berbahaya daripada yang lainnya. Tingkat kecelakaan di Afrika, misalnya, hampir lima kali lipat daripada rata-rata global. menurut Organisasi Penerbangan Sipil Internasional, bagian dari PBB. (AP)

XS
SM
MD
LG