Kekerasan terhadap warga Ahmadiyah kembali terjadi. Ratusan orang warga merusak masjid Jemaat Ahmadiyah Baitul Salam di Desa Gempolan Kecamatan Pakel Kabupaten Tulungagung Jawa Timur pada Kamis malam.
Mubaligh (juru dakwah) Ahmadiyah wilayah Jawa Timur Fazal kepada VOA menjelaskan kekerasan dipicu oleh tidak tercapainya kesepakatan antara para tokoh setempat dengan jemaat Ahmadiyah seputar aktivitas beribadah jemaat Ahmadiyah. Para tokoh yang yang hadir dalam pertemuan itu menurut Fazal meminta agar jemaat Ahmadiyah menghentikan aktifitas ibadah mereka.
Fazal menambahkan, akibat perusakan itu, Sebagian besar kaca jendela dan pintu depan bangunan masjid pecah berantakan. Namun demikian tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
“Pertemuan itu, penuh dengan ceramah yang memprovokasi. Yang hadir dalam pertemuan itu ada polisi, tentara, dan tokoh masyarakat setempat. Saat masyarakat datang ke masjid sambil melempari dengan batu, polisi sempat menahan aksi pengrusakan mereka. Ada sebagian kaca-kaca yang pecah karena polisi cepat mencegah. Kalau korban jiwa tidak ada sama sekali, hanya bangunan,” ungkap Fazal.
Kejadian ini menurut Fazal telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Aktifitas ibadah di masjid Baitul Salam menurut Fazal sekarang masih belum berlangsung, karena dijaga ketat oleh aparat polisi. Fazal mengaku heran dengan kejadian ini, karena baru kali ini warga Ahmadiyah Tulunggagung mendapatkan aksi kekerasan.
Peneliti Setara Institute, Ismail Hasan, kepada VOA menjelaskan, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah dari tahun ke tahun terus meningkat. Khususnya setelah peristiwa Cikeusik 6 Februari 2011. Sementara itu, negara dalam beberapa kasus bersikap tidak netral.
"Pada 2008 mengalami penurunan angka kekerasan (terhadap jemaat Ahmadiyah), tapi setelah peristiwa Cikeusik Pandeglang Banten yang menewaskan 3 orang jemaat Ahmadiyah, justru eskalasinya semakin meningkat. Bahkan spectrum kekerasannya sudah tidak melulu menyasar pada tempat-tempat mereka tetapi juga pada property dan hak-hak yang lain, seperti hak anak, pelayanan hidup dan hak atas hidup. Negara memang tidak netral. Dalam beberapa bulan terakhir misalnya peristiwa di Bekasi dan Tasikmalaya, organ-organ negara bahkan mendesak dan menyatakan secara terbuka agar Presiden membubarkan kelompok Ahmadiyah. Ini kan bukti ketidaknetralan mereka. Ditambah dengan antara pemerintah pusat dan daerah yang saling melempar tanggung jawab," kata Ismail Hasan.
Mubaligh Ahmadiyah wilayah Jawa Timur Fazal kepada VOA berharap pemerintah dalam hal ini polisi mampu memberikan perlindungan bagi warga Ahmadiyah dalam menjalankan keyakinannya.
Presiden Terima Penghargaan Toleransi Beragama
Sementara itu pada 30 Mei mendatang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menerima penghargaan “World Statesman” (Negarawan Dunia) dari The Appeal of Conscience Foundation, sebuah lembaga yang mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia di New York, Amerika Serikat. Presiden Yudhoyono dinilai telah berjasa dalam mengupayakan kehidupan toleransi beragama di Indonesia.
Beberapa kalangan melakukan protes atas hal ini, namun Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, hal itu adalah bagian dari dinamika demokrasi.
“Itu sesuatu bagian dari demokrasi ya. Sesuatu yang kita lihat sebagai suatu proses penyampaian ekspresi secara lebih bebas. Dari sisi Pemerintah kita melihatnya pertama ini adalah organisasi yang independen yang tidak mengafiliasi dengan kepentingan apapun," kata Teuku Faizasyah.
Sementara itu, peneliti Setara Institute, Ismail Hasan berpendapat, ada baiknya Presiden menolak penghargaan itu, karena masih banyaknya persoalan intoleransi di Indonesia.
“Akan lebih terhormat jika Presiden mengatakan ‘Kami tidak layak mendapat penghargaan ini, karena masih banyak persoalan, tapi tetap menghargai apresiasi dari dunia internasional.’ Saya kira itu sangat baik. Mungkin akan jadi tertawaan dunia internasional, karena PBB jelas-jelas dalam UPR (Universal Periodic Review) tahun lalu merekomendasikan 19 rekomendasi kepada pemerintahan Indonesia untuk segera ditindaklanjuti, dan satupun belum ada yang ditindaklanjuti oleh pemerintah," papar Ismail Hasan.
Mubaligh (juru dakwah) Ahmadiyah wilayah Jawa Timur Fazal kepada VOA menjelaskan kekerasan dipicu oleh tidak tercapainya kesepakatan antara para tokoh setempat dengan jemaat Ahmadiyah seputar aktivitas beribadah jemaat Ahmadiyah. Para tokoh yang yang hadir dalam pertemuan itu menurut Fazal meminta agar jemaat Ahmadiyah menghentikan aktifitas ibadah mereka.
Fazal menambahkan, akibat perusakan itu, Sebagian besar kaca jendela dan pintu depan bangunan masjid pecah berantakan. Namun demikian tidak ada korban jiwa dalam peristiwa itu.
“Pertemuan itu, penuh dengan ceramah yang memprovokasi. Yang hadir dalam pertemuan itu ada polisi, tentara, dan tokoh masyarakat setempat. Saat masyarakat datang ke masjid sambil melempari dengan batu, polisi sempat menahan aksi pengrusakan mereka. Ada sebagian kaca-kaca yang pecah karena polisi cepat mencegah. Kalau korban jiwa tidak ada sama sekali, hanya bangunan,” ungkap Fazal.
Kejadian ini menurut Fazal telah dilaporkan ke pihak kepolisian. Aktifitas ibadah di masjid Baitul Salam menurut Fazal sekarang masih belum berlangsung, karena dijaga ketat oleh aparat polisi. Fazal mengaku heran dengan kejadian ini, karena baru kali ini warga Ahmadiyah Tulunggagung mendapatkan aksi kekerasan.
Peneliti Setara Institute, Ismail Hasan, kepada VOA menjelaskan, kekerasan terhadap warga Ahmadiyah dari tahun ke tahun terus meningkat. Khususnya setelah peristiwa Cikeusik 6 Februari 2011. Sementara itu, negara dalam beberapa kasus bersikap tidak netral.
"Pada 2008 mengalami penurunan angka kekerasan (terhadap jemaat Ahmadiyah), tapi setelah peristiwa Cikeusik Pandeglang Banten yang menewaskan 3 orang jemaat Ahmadiyah, justru eskalasinya semakin meningkat. Bahkan spectrum kekerasannya sudah tidak melulu menyasar pada tempat-tempat mereka tetapi juga pada property dan hak-hak yang lain, seperti hak anak, pelayanan hidup dan hak atas hidup. Negara memang tidak netral. Dalam beberapa bulan terakhir misalnya peristiwa di Bekasi dan Tasikmalaya, organ-organ negara bahkan mendesak dan menyatakan secara terbuka agar Presiden membubarkan kelompok Ahmadiyah. Ini kan bukti ketidaknetralan mereka. Ditambah dengan antara pemerintah pusat dan daerah yang saling melempar tanggung jawab," kata Ismail Hasan.
Mubaligh Ahmadiyah wilayah Jawa Timur Fazal kepada VOA berharap pemerintah dalam hal ini polisi mampu memberikan perlindungan bagi warga Ahmadiyah dalam menjalankan keyakinannya.
Presiden Terima Penghargaan Toleransi Beragama
Sementara itu pada 30 Mei mendatang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menerima penghargaan “World Statesman” (Negarawan Dunia) dari The Appeal of Conscience Foundation, sebuah lembaga yang mempromosikan kebebasan beragama dan hak asasi manusia di New York, Amerika Serikat. Presiden Yudhoyono dinilai telah berjasa dalam mengupayakan kehidupan toleransi beragama di Indonesia.
Beberapa kalangan melakukan protes atas hal ini, namun Staf Khusus Presiden bidang Luar Negeri Teuku Faizasyah mengatakan, hal itu adalah bagian dari dinamika demokrasi.
“Itu sesuatu bagian dari demokrasi ya. Sesuatu yang kita lihat sebagai suatu proses penyampaian ekspresi secara lebih bebas. Dari sisi Pemerintah kita melihatnya pertama ini adalah organisasi yang independen yang tidak mengafiliasi dengan kepentingan apapun," kata Teuku Faizasyah.
Sementara itu, peneliti Setara Institute, Ismail Hasan berpendapat, ada baiknya Presiden menolak penghargaan itu, karena masih banyaknya persoalan intoleransi di Indonesia.
“Akan lebih terhormat jika Presiden mengatakan ‘Kami tidak layak mendapat penghargaan ini, karena masih banyak persoalan, tapi tetap menghargai apresiasi dari dunia internasional.’ Saya kira itu sangat baik. Mungkin akan jadi tertawaan dunia internasional, karena PBB jelas-jelas dalam UPR (Universal Periodic Review) tahun lalu merekomendasikan 19 rekomendasi kepada pemerintahan Indonesia untuk segera ditindaklanjuti, dan satupun belum ada yang ditindaklanjuti oleh pemerintah," papar Ismail Hasan.