Setelah berkali-kali melancarkan protes akan nasib sawah dan kebun mereka yang terendam banjir akibat luapan air dari Danau Poso, sejumlah warga yang mengatasnamakan dirinya Masyarakat Adat Danau Poso kembali bersuara lantang memprotes uji coba pintu air bendungan PLTA Poso 1, yang disinyalir menjadi penyebab banjir bagi wilayah sekitar danau.
Dalam aksi pada Senin (22/11) yang melibatkan sekitar 300 orang yang berasal dari 21 desa dan kelurahan itu, massa menyatakan sejak uji coba pintu air bendungan PLTA Poso 1 pada 2020, elevasi air danau menjadi naik yang mengakibatkan sejumlah areal persawahan dan kebun milik warga menjadi terendam.
“Saat ini masyarakat di seputar Danau Poso turun langsung untuk menyuarakan tuntutan air danau harus diturunkan karena petani-petani akan kembali bersawah, karena masyarakat di seputaran Danau Poso juga perlu makan,” ujar pendeta Yombu Wuri dalam orasi yang ia sampaikan pada aksi tersebut.
Berdasarkan data Dinas Pertanian Kabupaten Poso pada bulan Oktober, sebanyak 226 hektare areal persawahan di sekitar danau telah terendam. Dalam siaran persnya, Masyarakat Adat Danau Poso mengungkapkan dampak dari naiknya muka air danau yang dipicu oleh bendungan PLTA Poso 1 menimbulkan kerugian ekonomi berupa hilangnya sumber mata pencarian utama masyarakat di sektor pertanian.
Para petani yang semula penghasil beras kini justru harus meminjam atau membeli beras. Merekapun terjebak utang yang tidak mampu dibayar karena tidak memiliki memiliki pekerjaan. Kondisi ini juga berdampak pada kemampuan membiayai pendidikan anak-anak mereka yang terancam putus sekolah atau berhenti kuliah.
“Dampak dari operasinya (PLTA) Poso, 1 yaitu (sekitar) 34 hektare dari 14 kepala keluarga yang memiliki perkebunan jagung. Itu terendam kurang lebih dua tahun, yang biasanya kalau dijalankan (diolah) oleh masyarakat dalam satu hektare bisa dapat empat juta rupiah,” ungkap Alber Kulupe, warga desa Tonusu, dalam pertemuan dengan pihak PT Poso Energy di Baruga kantor Kecamatan Pamona Puselemba di hari yang sama ketika aksi berlangsung.
Masyarakat Adat Danau Poso menilai PT Poso Energy tidak memberikan kompensasi yang adil terhadap kerugian yang dialami masyarakat petani. Perusahaan itu memberikan kompensasi berupa 10 kilogram beras untuk setiap satu are (seratus meter persegi) luasan sawah dan kebun yang terendam. Angka itu dinilai sangat rendah dibandingkan pendapatan petani yang rata-rata menghasilkan hingga 40 kilogram beras dalam luasan satu are.
Ketika dikonfirmasi, PT Poso Energy enggan menanggapi tuntutan Masyarakat Adat Danau Poso karena belum ada kesamaan pandangan di antara kedua belah pihak mengenai elevasi air danau, luas lahan keliling danau dan jumlah produksi rata-rata padi per hektare di kabupaten Poso.
“Selama persepsi terkait hal tersebut berbeda maka isu-isu yang ada, tidak akan selesai sampai kapanpun,” jelas Irma Suriani, Kepala Departemen Lingkungan, Kehutanan dan CSR dari PT Poso Energy melalui pesan singkat kepada VOA.
Pemerintah Lakukan Mediasi
Dalam kesempatan berbeda, Wakil Bupati Poso, Yasin Mangun menyatakan upaya mediasi tetap dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan antara pihak PT Poso Energy dengan masyarakat yang terdampak di pinggiran Danau Poso.
“Masalahnya adalah teknis saja soal ganti rugi atau kompensasi sudah tentu ini butuh kesepakatan dan kalau kita tarik lebih dalam masalah nilai atau jumlah. Nah, terhadap nilai dan jumlah itu kami menyerahkannya kepada pihak PT Poso Energy dan masyarakat untuk membicarakannya,” jelas Yasin Mangun ketika ditemui VOA di kantor Bupati Poso, pada awal bulan November.
Diakuinya proses mediasi itu akan membutuhkan waktu, bergantung pada kesediaan kedua belah pihak untuk bertemu dan mencapai kesepakatan. Meskipun demikian diharapkan selama upaya itu dilakukan, aktivitas Poso Energy dan masyarakat tetap berjalan normal. [yl/rs]