Presiden Donald Trump menempatkan fokus pada Korea Utara dalam sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Selasa (19/9) sementara seorang pemimpin lain secara menyolok tidak hadir. Ia adalah Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi. Peraih Nobel Perdamaian yang selama ini hampir diam saja itu akhirnya bersuara mengenai krisis Rohingya dengan memberikan pidato yang ditayangkan televisi dari Yangon.
Reaksi internasional terhadap pidato itu beragam, dan sebagian pengamat mengatakan pidato itu tidak cukup kuat untuk menghentikan kekejaman terhadap Muslim Rohingya di Myanmar.
Dalam pidatonya di PBB, Presiden Amerika Donald Trump tidak menyebutkan krisis di Myanmar, di mana lebih dari 400.000 Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh untuk menghindari kekerasan di negara bagian Rakhine. Kelompok hak asasi manusia menuduh pasukan keamanan Myanmar menggunakan taktik pembersihan etnis melawan Rohingya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa masyarakat internasional kaget dengan meningkatnya kekerasan secara dramatis. Dia meminta pemerintah Myanmar untuk turun tangan dan menyelesaikan semuanya dengan damai.
“Tetapi saya tekankan lagi, pihak berwenang di Myanmar harus menghentikan operasi militer, memberikan akses bantuan kemanusiaan tanpa hambatan dan mengakui hak pengungsi untuk pulang dengan aman dan bermartabat. Saya juga harus menyampaikan keluhan Rohingya, yang status kewarganegaraannya sudah terlalu lama tidak terselesaikan,” tekan Antonio Guterres.
Selasa pagi, pemimpin sipil Myanmar, Aung San Suu Kyi, berbicara tentang konflik tersebut secara rinci untuk pertama kalinya, setelah mendapat kecaman internasional.
Di antaranya ia mengatakan, “Kami ingin mengetahui mengapa eksodus ini terjadi. Kami ingin berbicara dengan orang-orang yang telah melarikan diri dan juga mereka yang tetap tinggal. Saya kira sangat sedikit yang tahu bahwa mayoritas Muslim di negara bagian Rakhine tidak bergabung dalam eksodus ini. Lebih dari 50 persen desa Muslim masih utuh. Desa-desa itu sama seperti sebelum terjadi serangan.”
Ratusan warga Yangon menunjukkan dukungan bagi pemimpin mereka, tetapi para aktivis hak asasi manusia internasional merasa kecewa dengan sikapnya yang tidak pasti tentang kekerasan yang mendorong eksodus pengungsi. Seorang pakar mengatakan kepada VOA bahwa reaksi terhadap pidato itu paling tepat bisa disimpulkan sebagai beragam.
“Ketidaksenangan dengan pidato Suu Kyi itu sangat berkaitan dengan harapan yang tidak realistis mengenai apa yang dapat dicapai oleh wanita ini. Ia adalah pemimpin sipil pemerintahan, tetapi ini (Myanmar) bukan negara di mana supremasi sipil berkuasa,” kata Lex Rieffel lembaga riset nirlaba Brookings Institution di Washington, DC.
Menteri Luar Negeri Amerika Rex Tillerson telah meminta pemerintah dan militer Myanmar agar memfasilitasi bantuan kemanusiaan bagi pengungsi di daerah-daerah yang terimbas, dan menanggapi tuduhan-tuduhan mengenai terjadinya berbagai pelanggaran yang mengganggu terhadap hak asasi manusia. [lt/uh]