“Peristiwa hari ini bukan hanya peristiwanya Monic dan keluarga dari Bayu, peristiwa hari ini bukan hanya peristiwanya Weny keluarga dari Evan dan Nathan, peristiwa hari ini bukan hanya peristiwanya keluarga Ciska Eddy Handoko, atau keluarga Liem Gwat Nie, atau keluarga Mayawati, tetapi peristiwa kita ini adalah juga bersama dengan seluruh kemanusiaan. Kita menemani Meny, Monic, dan keluarga para korban, bahwa kami ini juga kalian, kalian ini juga kami. Apa yang kalian rasakan itulah yang kami rasakan. Apa yang terjadi, kehilangan di dalam dirimu, itulah juga kehilangan kami, dan di sinilah kita dipertemukan.”
Itulah kutipan homili atau kotbah dari Romo Agustinus Tri Budi Utomo, saat misa memperingati 1 tahun meninggalnya para korban serangan bom bunuh diri di Gereja Katolik Paroki Santa Maria Tak Bercela, Ngagel, Surabaya.
Refleksi rohani yang disampaikan di hadapan keluarga korban serta ratusan umat Katolik yang hadir dalam misa, ingin menegaskan bahwa tragedi 13 Mei 2018 yang lalu, harus dimaknai sebagai peristiwa yang menguatkan satu sama lain atas dasar kemanusiaan.
Doa Juga Disampaikan bagi Korban Serangan di Selandia Baru dan Sri Lanka
Tidak hanya mendoakan para korban tragedi bom tiga gereja di Surabaya, misa juga mendoakan secara khusus para korban bom gereja di Sri Lanka, serta korban serangan teroris di Selandia Baru beberapa waktu lalu. Pastor Kepala Paroki Santa Maria Tak Bercela Surabaya, Romo Agustinus Eka Winarno mengatakan, peringatan dan doa bersama ini juga ditujukan untuk perdamaian dunia yang bebas dari perang maupun kekerasan dalam bentuk apa pun.
“Kita berdoa saja untuk mereka para korban, tadi juga disinggung tidak hanya di sini, kita singgung yang di Sri Lanka, yang di New Zealand, jadi memang seruannya lebih luas dari itu. Memang kemasannya adalah doa untuk para korban di sini, di gereja-gereja lain itu,” Romo Agustinus Eka Winarno kepada VOA.
Peringatan satu tahun tragedi bom gereja di Surabaya juga dihadiri para penyintas bom tiga gereja di Surabaya, mulai jemaat hingga petugas keamanan internal dan polisi. Antara lain Ipda Ahmad Nurhadi, yang saat kejadian sedang bertugas dan berada di pos keamanan gereja Santa Maria Tak Bercela, saat ini harus cacat luka permanen pada mata, akibat terkena ledakan bom. Ahmad Nurhadi menyatakan telah lama memaafkan tindakan tidak manusiawi pelaku bom bunuh diri itu.
“Saya memaafkan semuanya, biar Yang Kuasa yang mengadili semua,” ujar Ipda Ahmad Nurhadi.
Selain Misa serta doa bersama lintas agama, peringatan satu tahun tragedi 13 Mei juga ditandai dengan diskusi dan peluncuran buku “Merawat Ingatan Merajut Kemanusiaan”, yang diterbitkan oleh Idenera-Nera Academia.
Pemimpin Redaksi Idenera, Andre Yuris mengatakan, tulisan-tulisan dalam buku ini bukan untuk mengorek luka lama para keluarga korban, tapi lebih pada refleksi yang ingin menguatkan dan menyatukan setiap orang yang memiliki pemikiran yang sama mengenai kemanusiaan. Buku ini juga menjadi pengingat jasa para korban ledakan bom, yang menjadi martir bagi kemanusiaan.
“Saya mengutip Romo Kurdo, dia bilang buku ini bukan untuk mengorek luka tapi untuk mengingatkan kita, untuk mengasah nalar kita bahwa peristiwa ini sebenarnya bisa kita cegah secara bersama-sama. Yang kedua adalah, sebagai cara kita untuk mengingat jasa-jasa orang-orang yang menjadi korban itu. Juga momentum bagi Gereja Katolik untuk keluar, untuk lebih tajam lagi untuk mau bersosialisasi dengan masyarakat kebanyakan. Untuk bangsa dan negara Indonesia, kita perlu lagi untuk menjalin rantai silaturahmi, kalau ditulisan itu mereka menyebut sebagai perjumpaan langsung. Ya mudah-mudahan melalui peringatan peristiwa ini, melalui buku ini perjumpaan antara umat di level bawah itu terjadi, dengan sendirinya yang namanya kohesi sosial itu terjadi,” papar Andre Yuris.
Agama dan Kepercayaan Memiliki Sisi Kemanusiaan yang Sama
Penggerak Komunitas Rumah Bhinneka, Iryanto Susilo mengatakan, radikalisme sering kali terjadi karena pemahaman yang berbeda terhadap sebuah keyakinann. Persoalan iman tidak seharusnya menjadi pertentangan, bila setiap orang mampu melihat sisi kemanusiaan yang sama sebagai jembatan dalam menjalin sebuah relasi bermasyarakat dan berbangsa.
“Iman itu adalah urusan privat, urusan pribadi, tetapi pada saat kita bersama-sama menjadi bagian daripada masyarakat, itu adalah menjadi sesuatu yang harus milik bersama, kepentingan bersama, kesejahteraan bersama. Nah ini yang harus ditumbuhkan bagaimana satu sama lain ini bisa saling mendukung, saling bergandengan tangan untuk membangun bahwa ini adalah kita,” kata Iryanto Susilo.
Sementara itu, Koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi (JIAD) Aan Anshori mengatakan, peringatan satu tahun bom gereja di Surabaya harus menjadi momentum untuk terus menyuarakan kebhinnekaan yang menjadi jati diri bangsa Indonesia, di tengah intoleransi berbasis agama yang saat ini menguat.
“Ini merupakan satu momentum bersama di saat intoleransi berbasis agama menguat di Indonesia, maka peringatan satu tahun tragedi bom Surabaya ini menjadi semacam melting point bagi kelompok-kelompok yang selama ini pro terhadap keragaman dan kebhinnekaan untuk menyuarakan kembali. Artinya, duka teman-teman Kristen dan Katolik terkait dengan bom itu adalah duka seluruh bangsa, termasuk duka orang Islam, dan peristiwa seperti itu tidak boleh terjadi lagi,” kata Aan Anshori.
Meningkatnya Serangan terhadap Rumah Ibadah Bukti Menguatnya Politik Identitas
Terkait serangan bom di Sri Lanka dan aksi terorisme di Selandia Baru, Aan Anshori menyebut fenomena ini sebagai tanda menguatnya politik identitas secara global, termasuk menguatnya Islam transnasional. Kewaspadaan terhadap berkembangnya gerakan ini menurut Aan, harus dilawan dengan memperkuat jaringan masyarakat lintas agama yang secara terus menerus menyuarakan kebhinnekaan Indonesia.
“Menguatnya politik indentitas, menguatnya gerakan Islam transnasional, kalau di Indonesia menguatnya gerakan Islamisme. Islam yang berkehendak untuk merebut dan menguasai negara Indonesia ini supaya berdaulat dari perspektif agama. Ini fenomena menguatnya ini, bahwa ada kelompok-kelompok sempalan di dalam kelompok tersebut, itu adalah sesuatu hal yang menurut saya itu fenomena yang juga perlu harus diwaspadai. Yang bisa kita lakukan adalah, kelompok-kelompok yang seperti ini akan semakin beringas kalau teman-teman moderat, progresif, dan teman-teman selain Islam, anak bangsa, itu tidak melakukan apa pun, mereka akan tumbuh subur. Maka satu-satunya cara untuk melawan radikalisme dan Islamisme seperti ini, adalah dengan cara terus melakukan selebrasi tentang kebhinnekaan,” tandas Aan. [pr/em]