Leri Gwijangge baru kelas 4 SD di Mapenduma, Nduga, Papua pada 1996. Ketika itu, dia menyaksikan pengerahan pasukan dalam Operasi Mapenduma.
Operasi Mapenduma digelar untuk membebaskan 11 peneliti dalam Ekspedisi Lorentz 95 yang disandera Organisasi Papua Merdeka (OMP) pimpinan Kelly Kwalik. Meski operasi itu berhasil, namun pelaksanaannya menimbulkan trauma mendalam bagi masyarakat setempat sebab mereka juga menjadi korban.
Trauma itu pulalah yang menyebabkan sejak sebulan terakhir, ratusan warga Mapenduma lari ke hutan. Ingatan pada Operasi Mapenduma datang seiring tibanya pasukan TNI dalam jumlah cukup besar di kawasan Nduga.
Leri Gwijangge kini adalah anggota DPRD Kabupaten Nduga, dan akhir Desember lalu, dia mencoba mengajak masyarakat kembali ke rumah mereka. Namun upaya itu gagal. Leri menyaksikan sendiri bagaimana warga Mapenduma harus bertahan di tengah hutan dengan cara memprihatinkan.
“Mereka makan apa adanya. Rumput, tumbuh-tumbuhan yang ada, juga daun. Tetapi di sana tumbuhan yang bisa dimakan tidak banyak,” kata Leri Gwijangge.
“Ada beberapa orang yang kami dapat cerita, gara-gara lapar, mereka hampir mau napas habis. Namun ada satu ibu yang bawa petatas (ubi Papua) kecil satu, dikasih makan mereka, kemudian mereka sadar kembali. Bukan hanya di situ saja, tetapi ada di beberapa wilayah. Sampai hari ini mereka masih di hutan,” ujar Leri menambahkan.
Leri juga mencatat, dari satu kelompok warga saja yang dia temui di hutan, ada satu warga sakit, dua meninggal akibat lapar dan satu perempuan jatuh ke jurang dan belum dapat dievakuasi.
Leri datang ke Mapenduma bersama koleganya di DPRD Nduga, sejumlah mahasiswa dan kepala distrik setempat. Setibanya di distrik itu, rombongan menemukan permukiman yang kosong ditinggal penduduknya. Hanya ada aparat TNI yang bertugas.
Mereka kemudian menyisir rumah-rumah, kantor distrik dan gereja untuk menemukan warga yang bersembunyi atau sakit. Tetapi tidak membuahkan hasil. Justru mereka menemukan seluruh pintu rumah-rumah itu rusak, dan kios yang berserakan dagangannya.
Selama satu minggu di Mapenduma, Leri sempat bertemu sejumlah tokoh masyarakat. Di depan aparat TNI, Leri meminta warga untuk meninggalkan hutan dan kembali ke perkampungan. Tetapi karena ketakutan, warga tetap memilih tinggal di hutan.
“Ada dua aparat kepala kampung dan hamba Tuhan yang menyampaikan bahwa, kalau di sini masih ditempatkan TNI, mereka tentu tidak akan masuk permukiman. Mereka akan tinggal di luar saja, di hutan. Tetapi kalau TNI ditarik, mereka akan kembali seperti biasa,” kata Leri.
Trauma ini dimaklumi oleh Leri, karena dia sendiri memiliki perasaan yang sama. Pada 1996, sesaat setelah Operasi Mapenduma berakhir dan warga yang bersembunyi di hutan kembali ke kampung, sejumlah warga justru menjadi korban kekerasan. Warga, kata Leri, takut apa yang terjadi ketika itu akan berulang.
Gubernur Papua Lukas Enembe beberapa hari sebelum Natal 2018 meminta Presiden Joko Widodo menarik personel TNI dan Polri dari Nduga.
"Kehadiran personel TNI dan Polri di Nduga kurang tepat dengan waktu perayaan Natal yang sudah dekat, sehingga ada baiknya ditarik dari Kabupaten Nduga. Masyarakat mau merayakan Natal. Ini momen Natal, tidak boleh ada TNI dan Polri di sana," kata Lukas Enembe.
Permintaan itu langsung ditolak TNI. Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Kolonel Inf M Aidi menegaskan, kehadiran aparat TNI dan Polri di Kabupaten Nduga untuk melindungi warga rakyat dari kelompok sipil bersenjata.
"Kehadiran TNI-Polri di Nduga termasuk di daerah lain di seluruh wilayah NKRI adalah untuk mengemban tugas negara guna melindungi segenap rakyat dan seluruh tumpah darah Indonesia, kok Gubernur dan ketua DPR malah melarang kami bertugas?" papar Aidi, dalam keterangan tertulis yang diterima disampaikan kepada media.
Tokoh mahasiswa dari Nduga, Otis Tabuni kepada VOA menyatakan, pendekatan militer tidak akan pernah menyelesaikan masalah di Papua. Di kalangan masyarakat, apa yang terjadi saat ini justru menambah persoalan, dendam, dan kebencian. Masyarakat merasa tidak dihormati sebagai warga negara, kata Otis Tabuni. Inilah yang membuat tuntutan politik, misalnya status kemerdekaan, terus terdengar.
Satu hal yang penting, kata ujar Otis, adalah menjauhkan warga sipil dari konflik bersenjata yang sudah terjadi.
“Kalau pihak aparat mau mengejar pelaku pembunuhan terhadap pekerja PT Istaka Karya di Nduga, boleh lakukan, tetapi batasi wilayahnya,” ujar Otis.
“Pemerintah harus melakukan penataan wilayah, ada wilayah sipil dan wilayah operasi militer. Sehingga TPM OPM maupun TNI Polri mau baku tembak sampai habis itu urusan mereka. Ketika warga sipil menjadi korban, itu yang menjadi persoalan,” kata Otis menegaskan.
Selain pembatasan wilayah operasi, Otis juga menyarankan pemerintah mengurangi jumlah aparat yang ditugaskan dalam operasi ini.
“Cukup dengan aparat yang memang sebenarnya bertugas di sana, baik TNI maupun Polri, kemudian bekerja sama dengan masyarakat agar tidak timbul lagi gangguan keamanan,” tambahnya.
Masyarakat Nduga memang memiliki trauma terhadap operasi militer. Trauma ini mengikis rasa percaya kepada aparat keamanan. Inilah, kata Otis Tabuni, yang menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan bersama.
Presiden Jokowi sudah meminta TNI dan Polri untuk mengejar kelompok Egianus Kogoya. Bagi Otis, sama pentingnya bagi presiden untuk menyatakan, bahwa keselamatan seluruh masyarakat sipil harus dilindungi tanpa kecuali. [ns/uh]