Tautan-tautan Akses

Masyarakat Pulo Padang Sumut Keluhkan Pabrik Sawit yang Berdiri di Samping Sekolah


Masyarakat yang menolak kehadiran pabrik sawit di Kelurahan Pulo Padang, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara. (Courtesy: Dok Pribadi)
Masyarakat yang menolak kehadiran pabrik sawit di Kelurahan Pulo Padang, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara. (Courtesy: Dok Pribadi)

Bertahun-tahun masyarakat Pulo Padang di Labuhanbatu, Sumatra Utara, gelisah karena keberadaan pabrik sawit yang beroperasi dekat dengan permukiman masyarakat.

Aksi seorang perempuan yang mengangkat poster “Kami Mau Sehat, Tidak Dicemari PT PPSP” saat Presiden Joko Widodo berkunjung ke Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara, pada Jumat (15/3) viral di media sosial. Meskipun pada akhirnya ada salah satu oknum yang tak diketahui memaksa menurunkan poster itu.

Aksi perempuan yang diketahui berasal dari masyarakat di Kelurahan Pulo Padang, Kecamatan Rantau Utara, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara, itu seakan menunjukkan kegelisahan lantaran adanya aktivitas pabrik sawit milik PT Pulo Padang Sawit Permai (PPSP) yang telah mencemari lingkungan mereka. Pabrik sawit itu juga berdiri kokoh dekat dengan permukiman masyarakat.

Sri Hasibuan, seorang warga Pulo Padang lainnya, menceritakan kegelisahan yang sama, yang dirasakannya selama bertahun-tahun karena kehadiran pabrik sawit yang jaraknya sangat dekat dengan permukiman. Apalagi pabrik sawit itu bersebelahan dengan sekolah dan hanya dipisahkan oleh tembok tipis. Saat beroperasi pabrik sawit itu akan menghasilkan polusi, bau, dan kebisingan.

Pekerja memuat tandan kelapa sawit untuk diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, Riau, 27 April 2022 sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)
Pekerja memuat tandan kelapa sawit untuk diangkut ke pabrik CPO di Pekanbaru, Riau, 27 April 2022 sebagai ilustrasi. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

“Kami tidak mau lingkungan kami tercemar karena tempatnya (pabrik sawit) itu bertepatan di samping sekolah. Itu (dipisahkan) satu tembok,” kata Sri kepada VOA, Senin (18/3).

Polemik Keberadaan PT PPSP, Didemo Hingga Digugat Class Action

Polemik yang muncul di tengah masyarakat itu berawal pada 2016. Saat itu masyarakat di Pulo Padang hanya mengetahui jika lahan sebelum pabrik sawit dibangun bakal diperuntukkan perumahan rakyat. Namun yang berdiri kokoh bukan perumahan rakyat, melainkan pabrik sawit. Sejak saat itu kehadiran pabrik sawit menimbulkan kontroversi.

“Akhir tahun 2016 terjadi jual beli tanah antara pihak perusahaan dengan pemilik lahan. Kabarnya saat itu mau dibuat tapak rumah, tapi akhirnya baru ketahuan untuk pembangunan pabrik sawit,” ujar Sri.

Menurut Sri, masyarakat di Pulo Padang telah melakukan aksi penolakan kehadiran pabrik sawit sejak 2017. Namun sayangnya aksi protes dengan turun ke jalan tak membuahkan hasil hingga sekarang. Padahal pabrik sawit itu telah melanggar sejumlah aturan salah satunya terkait Peraturan Menteri Perindustrian No 40 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknik Pembangunan Kawasan Industri.

“Kami sudah melakukan berbagai aksi protes mulai dari rapat dengar pendapat di DPRD Labuhanbatu dan kantor bupati. Tapi tidak ada hasilnya,“ ungkapnya.

Sri mengatakan pabrik sawit itu kini tidak beroperasi setelah masyarakat melakukan pengadangan terhadap truk bermuatan bahan baku yang akan diolah. Namun pemberhentian aktivitas pabrik sawit itu hanya bersifat sementara.

“Tidak (beroperasi) karena kami selalu menghadang. Mereka selalu berusaha untuk memasukkan bahan baku yang kami tahu setiap bahan baku diolah akan menghasilkan polusi, bau, dan suara bising. Jadi setiap bahan baku masuk kami melakukan pengadangan. Nanti berhenti, tapi beberapa waktu kemudian beroperasi lagi. Jadi akhirnya terus-terusan begitu, tidak ada penyelesaian,” ungkap Sri.

Masyarakat Pulo Padang sempat melakukan gugatan class action terkait dengan kehadiran pabrik sawit tersebut. Namun lagi-lagi aksi itu tak berpihak kepada masyarakat yang terdampak polusi dari pabrik sawit tersebut.

Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, 2 Agustus 2016. (Foto: Antara/Nova Wahyudi via REUTERS)
Perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan, 2 Agustus 2016. (Foto: Antara/Nova Wahyudi via REUTERS)

“Kami cuma menginginkan pabrik direlokasi itu saja. Kami tidak menginginkan pabrik ada di lokasi kami. Kasihan di samping pabrik ada sekolah yang berisi kurang lebih 400 pelajar. Mereka butuh kenyamanan untuk sekolah, tidak menghirup polusi dan tak menganggu pelajar menimba ilmu pengetahuan,” jelas Sri.

Aktivis: PT PPSP Jelas Langgar Perda

Juniaty Aritonang dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatra Utara (BAKUMSU) mengatakan pabrik sawit milik PT PPSP itu telah melanggar Peraturan Daerah (Perda) No 3 Tahun 2016 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2015-2035. Dalam salah satu pasal perda itu dijelaskan jika pengelohan hasil perkebunan industri berada di Kecamatan Rantau Selatan bukan di Rantau Utara.

“Daerah itu bukan untuk kawasan industri. Itu mereka sudah menyalahi (RTRW),” ucapnya.

PT PPSP: Hanya Sedikit Warga Tak Setuju dengan Operasi Pabrik Sawit

Sementara itu manajer dari PT PPSP, Hernowo, berdalih jika masyarakat yang terganggu dengan alasan pencemaran lingkungan dan kurang setuju atas kehadiran pabrik sawit itu tak lebih dari 50 orang.

“Kami sudah berupaya untuk bersosialisasi dengan sekelompok orang yang merasa terganggu dengan PT PPSP. Tapi memang sampai saat ini masih belum ada tindak keadilan bagi kami. Kenapa saya sebut demikian? Berdirinya PT PPSP sudah sesuai peraturan dan kami telah mengantongi izin-izin resmi bukan pabrik ilegal,” katanya melalui keterangan tertulisnya kepada VOA, Selasa (19/3).

Hernowo menuding masyarakat yang menolak kehadiran pabrik sawit itu telah melanggar hukum karena tanpa surat resmi melakukan demonstrasi dan pengadangan terhadap truk bermuatan bahan baku milik PT PPSP.

“Dalam rentang waktu setahun kami juga tidak melakukan operasional (aktivitas pengolahan sawit),” ucapnya.

Hernowo menjelaskan pihaknya telah memasang alat penangkap sisa abu pembakaran yang dihasilkan pabrik sawit. Mereka juga telah berupaya agar suara bising akibat aktivitas pabrik sawit tidak melebihi ambang parameter.

Seorang petani mengumpulkan buah kelapa sawit di kawasan transmigrasi Arso di Provinsi Papua, 19 April 2007. (Foto: Reuters)
Seorang petani mengumpulkan buah kelapa sawit di kawasan transmigrasi Arso di Provinsi Papua, 19 April 2007. (Foto: Reuters)

“Untuk asap pembakaran yang belum sempurna memang menghasilkan asap hitam, tapi sifatnya bukan berjam-jam hanya beberapa menit. Untuk limbah kami juga nantinya tidak membuang ke badan sungai, tapi menyalurkannya ke lahan masyarakat dengan sistem land application,” jelasnya.

Pada 13 November 2023, mediasi antara PT PPSP dengan masyarakat yang juga dihadiri oleh kepolisian dan perwakilan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu telah dilakukan. Namun mediasi itu berakhir buntu. Tidak sampai di situ, kata Hernowo, pihaknya juga telah menawarkan solusi dengan menjadikan sekolah kedap suara.

“Jika masih merasa terganggu dengan suara (pabrik sawit) di lingkungan sekolah. Kami akan buat agar sekolah kedap suara dan jika ada masyarakat yg memang betul terdampak karena polusi, kami juga siap bertanggung jawab untuk kesehatannya,” ujarnya. [aa/em]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG