SOLO —
Setelah kehilangan pemain asal Paraguay yang meninggal karena sakit, tokoh sepakbola dan penggemar Persis Solo mendukung badan sepakbola dunia menjatuhkan sanksi terhadap Indonesia karena kisruh organisasi sepakbola nasional.
Bekas ketua umum klub sepakbola Persis Solo, Hadi Rudyatmo, mengatakan kecewa dengan adanya dualisme kepengurusan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) versi Djohar Arifin dan versi La Nyala Mattaliti.
Saat ditemui, Jumat (14/12), Hadi yang pernah menjadi anggota Komite Normalisasi PSSI bentukan organisasi sepakbola dunia (FIFA) tersebut menegaskan dukungannya pada organisasi tersebut untuk memberikan sanksi kepada Indonesia atas kekisruhan di tubuh PSSI.
Menurut Hadi, sepakbola Indonesia belum dewasa dan belum siap dikelola secara profesional.
“Sebaiknya sanksi yang dijatuhkan tidak selama sanksi yang pernah Brunei alami dulu. Sekitar empat tahun sanksi diberlakukan,” ujar Hadi.
“Pemerintah harus tegas membubarkan kepengurusan PSSI Djohar Arifin dan versi La Nyala Matalitti. Ganti dengan generasi muda PSSI yang tidak dipenuhi kepentingan politik...SDM-SDM PSSI yang berkomitmen pada kepentingan merah putih, Indonesia.”
Sebelumnya pada Kamis (13/12), puluhan pendukung Persis Solo, yang menamakan diri PASOEPATI, menggelar aksi protes di kompleks Gelanggang Olahraga Manahan Solo. Persis Solo baru saja kehilangan pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, yang meninggal dunia setelah diopname di rumah sakit tanpa mampu membiayai perawatannya.
Juru bicara aksi suporter Pasoepati, Haristanto, mengungkapkan masalah sepakbola Indonesia tidak hanya berkutat pada dualisme PSSI tetapi juga dualisme kompetisi, tunggakan gaji pemain dan pelatih klub, dan sebagainya.
“PSSI harus ganti generasi. Masa di Indonesia nggak ada satu orang pun yang punya idealisme mengurus PSSI ke arah yang lebih baik. Kami sepakat dengan sanksi FIFA,” ujar Haristanto.
Pemerintah Indonesia pada Selasa (11/12) membentuk gugus tugas untuk menghadapi kemungkinan dijatuhkannya sanksi dari FIFA menyusul kegagalan menggabungkan dua asosiasi sepakbola yang saling bersaing.
Pejabat sementara Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono mengatakan bahwa tim yang beranggotakan lima orang akan berkonsultasi dengan FIFA, yang sebelumnya memberikan tenggat sampai 10 Desember untuk menyelesaikan perselisihan.
Agung mengatakan tim ini akan membahas kemungkinan pemerintah mengambil alih kepengurusan PSSI sesuai dengan undang-undang sistem olahraga nasional.
“Hal ini diperlukan untuk mencegah intervensi pemerintah, namun FIFA memiliki peraturan sendiri. Untuk itu gugus tugas ini akan berkonsultasi dulu dengan FIFA dan AFC,” ujar Agung seperti dikutip kantor berita AP.
Pada Senin, PSSI dan sempalannya, Komite Penyelamatan Sepakbola Indonesia (KPSI), melakukan kongres terpisah di dua kota berbeda. PSSI melakukan pertemuan di Palangkaraya dan dihadiri wakil-wakil dari FIFA dan Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), sementara KPSI berkongres di sebuah hotel di Jakarta.
Pemerintah tidak mengakui pertemuan-pertemuan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka tidak mematuhi kesepakatan di Kuala Lumpur pada Juni, yang menyatakan bahwa KPSI harus bubar pada kongres akhir tahun.
FIFA diharapkan membuat keputusan mengenai Indonesia Jumat ini pada pertemuan komite eksekutif di Tokyo.
Perseteruan dua badan sepakbola ini turut dipersalahkan atas kematian Mendieta pekan lalu. Mendieta, 32, meninggal karena infeksi virus dan demam berdarah di sebuah rumah sakit di Solo. Ia ingin kembali ke Paraguay, tempat istri dan kedua anaknya tinggal, namun tidak dapat bisa karena gajinya selama empat bulan sebesar kurang lebih US$12.500 belum dibayarkan.
PSSI menolak mengatasi permasalahan tersebut dengan alasan Persis Solo telah berkompetisi di liga yang tidak diakuinya.
Bekas ketua umum klub sepakbola Persis Solo, Hadi Rudyatmo, mengatakan kecewa dengan adanya dualisme kepengurusan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) versi Djohar Arifin dan versi La Nyala Mattaliti.
Saat ditemui, Jumat (14/12), Hadi yang pernah menjadi anggota Komite Normalisasi PSSI bentukan organisasi sepakbola dunia (FIFA) tersebut menegaskan dukungannya pada organisasi tersebut untuk memberikan sanksi kepada Indonesia atas kekisruhan di tubuh PSSI.
Menurut Hadi, sepakbola Indonesia belum dewasa dan belum siap dikelola secara profesional.
“Sebaiknya sanksi yang dijatuhkan tidak selama sanksi yang pernah Brunei alami dulu. Sekitar empat tahun sanksi diberlakukan,” ujar Hadi.
“Pemerintah harus tegas membubarkan kepengurusan PSSI Djohar Arifin dan versi La Nyala Matalitti. Ganti dengan generasi muda PSSI yang tidak dipenuhi kepentingan politik...SDM-SDM PSSI yang berkomitmen pada kepentingan merah putih, Indonesia.”
Sebelumnya pada Kamis (13/12), puluhan pendukung Persis Solo, yang menamakan diri PASOEPATI, menggelar aksi protes di kompleks Gelanggang Olahraga Manahan Solo. Persis Solo baru saja kehilangan pemain asal Paraguay, Diego Mendieta, yang meninggal dunia setelah diopname di rumah sakit tanpa mampu membiayai perawatannya.
Juru bicara aksi suporter Pasoepati, Haristanto, mengungkapkan masalah sepakbola Indonesia tidak hanya berkutat pada dualisme PSSI tetapi juga dualisme kompetisi, tunggakan gaji pemain dan pelatih klub, dan sebagainya.
“PSSI harus ganti generasi. Masa di Indonesia nggak ada satu orang pun yang punya idealisme mengurus PSSI ke arah yang lebih baik. Kami sepakat dengan sanksi FIFA,” ujar Haristanto.
Pemerintah Indonesia pada Selasa (11/12) membentuk gugus tugas untuk menghadapi kemungkinan dijatuhkannya sanksi dari FIFA menyusul kegagalan menggabungkan dua asosiasi sepakbola yang saling bersaing.
Pejabat sementara Menteri Negara Pemuda dan Olahraga Agung Laksono mengatakan bahwa tim yang beranggotakan lima orang akan berkonsultasi dengan FIFA, yang sebelumnya memberikan tenggat sampai 10 Desember untuk menyelesaikan perselisihan.
Agung mengatakan tim ini akan membahas kemungkinan pemerintah mengambil alih kepengurusan PSSI sesuai dengan undang-undang sistem olahraga nasional.
“Hal ini diperlukan untuk mencegah intervensi pemerintah, namun FIFA memiliki peraturan sendiri. Untuk itu gugus tugas ini akan berkonsultasi dulu dengan FIFA dan AFC,” ujar Agung seperti dikutip kantor berita AP.
Pada Senin, PSSI dan sempalannya, Komite Penyelamatan Sepakbola Indonesia (KPSI), melakukan kongres terpisah di dua kota berbeda. PSSI melakukan pertemuan di Palangkaraya dan dihadiri wakil-wakil dari FIFA dan Konfederasi Sepakbola Asia (AFC), sementara KPSI berkongres di sebuah hotel di Jakarta.
Pemerintah tidak mengakui pertemuan-pertemuan tersebut, dengan mengatakan bahwa mereka tidak mematuhi kesepakatan di Kuala Lumpur pada Juni, yang menyatakan bahwa KPSI harus bubar pada kongres akhir tahun.
FIFA diharapkan membuat keputusan mengenai Indonesia Jumat ini pada pertemuan komite eksekutif di Tokyo.
Perseteruan dua badan sepakbola ini turut dipersalahkan atas kematian Mendieta pekan lalu. Mendieta, 32, meninggal karena infeksi virus dan demam berdarah di sebuah rumah sakit di Solo. Ia ingin kembali ke Paraguay, tempat istri dan kedua anaknya tinggal, namun tidak dapat bisa karena gajinya selama empat bulan sebesar kurang lebih US$12.500 belum dibayarkan.
PSSI menolak mengatasi permasalahan tersebut dengan alasan Persis Solo telah berkompetisi di liga yang tidak diakuinya.