Sejumlah kelompok masyarakat sipil di Indonesia mengeluarkan pernyataan sikap dan rekomendasi terhadap rencana hadirnya pemimpin junta militer Myanmar Jenderal Min Aung Hlaing dalam ASEAN Special Summit pada 24 April 2021 di Jakarta.
Diundangnya pemimpin junta militer Myanmar ini menurut koalisi masyarakat sipil di Indonesia, mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan hak asasi manusia, karena sejumlah kasus kejahatan kemanusiaan yang diduga telah dilakukannya.
Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pihaknya menolak kedatangan pemimpin junta militer Myanmar itu, dan mengutuk tindak kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat sipil di Myanmar sejak kudeta 1 Februari lalu.
“Kami ingin dengan tegas mengutuk semua pelanggaran hak asasi manusia di Burma, di Myanmar, dan terus menyerukan pembebasan semua individu yang ditahan secara sewenang-wenang, dan diakhirinya penggunaan kekuatan yang mematikan terhadap para pengunjuk rasa," kata Usman.
Pihaknya, imbuh Usman, mendesak agar Indonesia dan negara-negara ASEAN dalam pertemuan nanti mendorong komisi antar pemerintah ASEAN, mengembangkan pendekatan yang efektif dan memastikan semua keterlibatan dengan Myanmar dengan arah yang jelas pada hukum hak asasi manusia.
Putri Kanesia, aktivis Asia Justice and Rights (AJAR), mempertanyakan arah dan tujuan pertemuan pemimpin ASEAN ini yang tidak mampu menjawab persoalan yang terjadi di Myanmar. Khususnya dengan, mengundang pemimpin junta militer Myanmar.
Putri yang menegaskan yang terpenting dari pertemuan tingkat tinggi atau summit bukan sekadar proses atau peserta yang datang, tetapi juga hasil yang akan disepakati,
"Jangan sampai, kita sudah woro-woro, bicara Indonesia sudah menjadi host ASEAN Summit ini, tapi kemudian hasil yang diharapkan tidak sesuai atau tidak menjawab persoalan yang terjadi di Myanmar sampai saat ini," ujarnya.
Jadi, menurutnya, kehadiran entitas dari internasional untuk merespons dan mengawal proses itu juga sangat penting.
Memalukan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Fatia Maulidiyanti, menyebut kehadiran pemimpin junta militer Myanmar pada Asean Special Summit di Indonesia sebagai hal memalukan.
Fatia mengingatkan kejadian serupa pernah terjadi pada 2015 ketika pemerintah Indonesia mengundang Sudan, negara yang diduga telah melakukan pelaku pelanggaran hak asasi manusia Sudan pada pertemuan Organisasi Konferensi Islam (OKI). Sudan saat itu diwakili oleh Presiden Omar al-Bashir.
“Jadi ini merupakan sebuah titik yang cukup memalukan sebenarnya di pemerintah Indonesia, karena memberikan panggung tersebut, di mana hampir seluruh masyarakat dunia juga mengutuk keras kejadian pelanggaran HAM maupun kudeta militer, dan juga pendudukan militer yang terjadi di Myanmar hari ini, dan diberi panggung kembali," kata Fatia.
Wahyu Susilo, dari Migrant Care, mengingatkan agar Indonesia dan pemimpin negara-negara di ASEAN untuk memprioritaskan penyelesaian masalah di negara Pagoda itu, bukan justru mengambil langkah mundur dengan memberikan wadah bagi pemimpin junta militer Myanmar.
Indonesia dan ASEAN, kata Wahyu, sudah punya kontribusi yang baik dalam menangani pengungsi dan migrasi paksa kelompok etnis Rohingya dari Myanmar.
"Indonesia juga terlibat aktif, misalnya dalam mendorong bantuan-bantuan humanitarian, ketika pihak-pihak yang lain diresistensi oleh pihak Myanmar. Ini akan menjadi antiklimaks ketika dalam Special Summit ASEAN, benar-benar akan mengundang pihak junta militer, dan abai pada pihak-pihak yang lain," imbuhnya.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN yang khusus membahas tentang Myanmar itu akan dilangsungkan di Jakarta pada Sabtu, 24 April. Sejauh ini Sultan Brunei Hasanal Bolkiah, Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin, Perdana Menteri Kamboja Hun Sen telah menyatakan kesediaan hadir langsung dalam acara itu. Sementara Utusan Khusus Myanmar Jendral Min Aung Hlaing menyatakan akan hadir secara virtual. Belum ada keterangan tambahan dari Indonesia selaku tuan rumah. [pr/em]