Masyarakat sipil mengungkapkan bahwa hak-hak dasar warga negara, seperti kepastian memperoleh pekerjaan dan upah yang layak, akses pendidikan, kesetaraan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, serta kebebasan berekspresi dan berpendapat, semakin sulit dirasakan di Indonesia. Hal tersebut mencuat dalam sebuah diskusi yang bertajuk “Menuntut Hak Saat Negara Bikin Susah”, di Jakarta, Jumat, (21/6).
Esther Haluk, Koordinator West Papua Feminist Forum, menyatakan bahwa situasi Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah kelahirannya semakin memburuk dari waktu ke waktu.
Sebuah tagar yang muncul beberapa waktu terakhir muncul di sosial media yang bertajuk #AllEyesInPapua mencuri perhatian khalayak ramai. Ia menegaskan yang terjadi adalah lebih kepada konflik ekstraktif sumber daya alam (SDA) yang cukup masif. Hal ini menjadikan masyarakat setempat menjadi pengungsi di tanah kelahiran mereka sendiri.
“Jadi persoalan deforestasi, illegal logging, kemudian persoalan perkebunan yang kemudian meminggirkan masyarakat adat, kemudian ketika perampasan lahan terjadi, kami masyarakat adat tercabut dari kami punya tanah-tanah adat, kemudian harus keluar,” ungkap Esther.
Karena masalah tersebut, Esther mencatat bahwa sudah ada sekitar 60 ribu masyarakat Papua yang terpaksa mengungsi dari tanah mereka sendiri.
Persoalan ekstraksi SDA tersebut diperparah dengan situasi di wilayah-wilayah konflik, yang menyebabkan anak-anak di sana tidak bisa mendapatkan haknya untuk bersekolah karena sekolah beralih fungsi menjadi barak militer.
“Jadi tentara dengan Polri ketika di Nduga misalnya, banyak anak-anak yang meninggalkan tempat tinggalnya untuk mengungsi mengikuti orang tuanya. Jadi itu mereka harus sekolah di ruangan yang besar berisi 100 anak di dalam satu kelas dengan perbedaan usia yang bervariasi tapi mereka diajar dengan cara yang sama. Kalau ini terjadi di beberapa wilayah konflik, itu bisa dipastikan SDM kami orang Papua 10-20 tahun mendatang seperti apa,” jelasnya.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Pemberlakuan otonomi khusus di Bumi Cendrawasih tersebut menjadikan tidak adanya keberpihakan pemerintah untuk melakukan sebuah program pembangunan guna mensejahterakan masyarakat di sana.
“Kemudian otonomi khusus yang jilid sekarang. Sejak 2022, itu dananya semua dikontrol oleh Jakarta, jadi tidak ada keberpihakan atau program yang sesuai. Itu ditentukan semua dananya dari pusat. Jadi semakin jauh kami dari apa itu implementasi yang katanya dicita-citakan untuk mensejahterakan, memperbaiki hal-hal yang tidak beres,” tegasnya.
Hal yang sama diutarakan oleh Nining Elitos Pengurus Pusat Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI). Sejak Omnibus Law, UU Cipta Kerja disahkan, kaum buruh terutama semakin tidak memiliki kejelasan terkait kontrak pekerjaan mereka. Upah buruh pun tidak ada kenaikan yang signifikan, bahkan cenderung stagnan yang tidak sebanding dengan inflasi yang ada.
“Persoalan PHK yang sebelumnya harus melalui mekanisme dan syarat, sekarang semakin mudah. Upah yang seharusnya bagaimana negara menjamin bagaimana pendapatan yang layak, sekarang semakin jauh turun walaupun naik di 2023 dan 2024 sekian persen, tetapi ketika inflasi (meningkat) justru kaum buruh bisa dikatakan tidak ada kenaikan (upah) bahkan terjadi pengurangan. Itu wujud nyata dari Omnibus Law, UU Cipta Kerja,” jelasnya.
Selain itu, dirinya juga sempat merasakan kriminalisasi ketika ia dan kaum buruh lainnya menolak pemberlakukan UU Cipta Kerja tersebut. Dirinya sempat dijerat pasal karet yang menurutnya hal itu sama saja merampas kebebasan berekspresi atau kebebasan berpendapat seorang warga negara.
Hal ini, menurutnya, sangat memprihatinkan karena sedianya ruang kebebasan untuk berekspresi dan berpendapat merupakan hak yang melekat sebagai sebuah warga negara dan dijamin oleh konstitusi.
“Sekarang cara kekuasaan adalah dengan menggunakan pasal-pasal yang ada di UU Pidana, untuk dikenakan terhadap para orang-orang yang bersuara, apakah itu UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik -red) , UU berkaitan yang KUHP, dan lain-lain. Ini mengerikan memang kekuasaan hari ini, karena saya melihat bukannya seharusnya terjadi perbaikan, kita berharap kepemimpinan sipil itu adalah memberikan ruang kepada rakyat untuk terjadi sebuah peningkatan perlindungan, tetapi hari ini semakin justru semakin buruk,” tegasnya.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan dari beberapa persoalan yang ada saat ini, ada beberapa indikator yang menyebabkan rusaknya demokrasi.
Pertama, menurutnya, hukum yang menjadi represif. Hukum represif ini, katanya, bukan karena warisan dari Orde baru. Namun, karena adanya pilihan untuk mengamankan watak ekstraktif dari kebijakan pembangunan itu sendiri. Ia mencontohkan kebijakan pelonggaran investasi sehingga menjadikan pembukaan investasi besar-besaran untuk nikel di beberapa wilayah di Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan konflik sosial di dalam masyarakat setempat.
“Itu seluruhnya perlu diamankan dengan hukum-hukum yang represif, dan di situ aparat menjadi represif,” ungkap Usman.
Kedua, katanya, hilangnya sebuah otonomi daerah sehingga kendali tata kelola pemerintah daerah berada di bawah pemerintah pusat. Di sini, katanya bisa dilihat daerah hanya menjadi objek perasan dari pemerintah pusat. Ia mencontohkan dulu Papua bisa memiliki otonomi penuh untuk melakukan pembentukan pemekaran wilayah melalui Majelis Rakyat Papua (MRP), tetapi kini sudah tidak bisa.
Ketiga, lanjut Usman, adalah lemahnya peran partai politik. Menurutnya, parpol kini sudah tidak lagi menjadi agregator untuk kepentingan masyarakat pada umumnya. Mengapa? karena mereka, kata Usman, terjebak dalam kartel politik atau sebuah sistem hubungan kekuasaan yang tidak lagi berbasiskan ideologi.
“Kompetisi tidak ada, yang ada hanyalah kompetensi menjelang pemilu. Setelah pemilu yang terjadi adalah konsesi transaksi antara pemenang dan yang kalah. Jadi tanpa peran parpol, demokrasi akan melemah,” tegasnya.
Keempat adalah politisasi penegak hukum. Menurutnya, hukum kerap dijadikan senjata untuk melemahkan oposisi baik itu kritik dari masyarakat sipil maupun kritik dari oposisi. Maka dari itu, hukum saat ini menurutnya tajam kepada oposisi dan tumpul pada koalisi.
Kelima, oligopoli media atau oligarkisme dan monopoli media. Saat ini, kata Usman, meskipun banyak media di Indonesia, kepemilikannya hanya terbatas pada segelintir orang kaya. Akibatnya, ketika para pemilik media tersebut terjun ke dunia politik, frekuensi publik yang seharusnya digunakan untuk menyebarkan informasi demi kepentingan umum tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh publik, melainkan menjadi alat partisan.
Terakhir, adalah polarisasi sosial yang terjadi di masyarakat. Menurutnya, saat ini yang terjadi di masyarakat adakah menguatnya nasionalisme yang berlebihan di masyarakat, entah itu terkait perekonomian dan lainnya. Menurutnya, hal ini dapat menimbulkan keterbelahan di mata masyarakat.
“Mungkin tantangan gerakan HAM di Indonesia adalah bagaimana menjelaskan HAM sebagai persoalan hidup keseharian masyarakat. Kan seolah-olah ada jarak, seolah HAM itu persoalannya kebebasan berekspresi saja. Padahal buruh ingin berserikat, ingin berekspresi dalam rangka negosiasi upah, tidak mungkin dia bisa bernegosiasi dengan manajemen untuk meningkatkan upah yang lebih tinggi, kecuali dia diberikan jaminan untuk kebebasan berekspresi,” kata Usman.
“Jadi ketidakterpisahan hak sipil, politik, dan hak ekonomi, sosial, budaya itu menurut saya suatu keniscayaan dan harus terus didengungkan. Bahwa kita tidak hanya menuntut kebebasan politik tetapi juga keadilan sosial, kita bukan hanya menuntut demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi,” pungkasnya. [gi/ah]
Forum