JAKARTA —
Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring meminta media penyiaran meningkatkan pemberitaan tentang dampak perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana untuk mengedukasi masyarakat.
“Media perlu menjadikan setiap bencana tidak hanya sekedar mendramatisir keadaan namum juga harus mengambil pelajaran dari situ dan mengedukasi masyarakat. Jika terjadi bencana alam, misalnya gempa bumi atau tsunami langkah apa yang perlu dilakukan agar tidak terulang kembali pada kejadian berikut," ujar Tifatul dalam konferensi perhimpunan media penyiaran se-Asia Pasifik ABU), Kamis (5/6), di Jakarta.
Berbicara di hadapan lebih dari 200 delegasi dari 32 negara yang hadir dalam konferensi tersebut, Tifatul mengatakan peningkatan pemberitaan melalui media penyiaran seperti radio dan televisi perlu dilakukan mengingat pesatnya informasi yang disebarluaskan melalui media sosial saat ini dengan menggunakan telepon genggam.
“Saat ini pemilikan nomor telepon genggam yang terdistribusi berdasarkan operator jumlahnya mencapai 270 juta, melebih jumlah penduduk Indonesia. Sementara media penyiaran belum jadi yang utama. Kita ingin meningkatkan peran televisi dalam penyampaian pesan bencana juga melalui media radio," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Boediono mengatakan dalam negara demokratis, masyarakat menjadi bagian dalam pelaporan dan penyebaran informasi melalui media sosial. Namun kebebasan yang tanpa sensor ini harus diikuti dengan tanggung jawab yang lebih besar, menurutnya.
“Hal ini merupakan pengingat konstran akan hak fundamental publik untuk memperoleh informasi. Tidak hanya sekedar informasi, tetapi informasi yang benar dan berimbang,” ujarnya.
Dalam konferensi ini peserta berbagi pengalaman dan saling belajar pemberitaan bencana alam. Freddy Tulung, Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan, Indonesia adalah wilayah rawan bencana, namun sayangnya media di Indonesia lebih banyak mengedepankan aspek traumatis dan dramatis dari suatu bencana.
“Kita lihat media Jepang contohnya seperti NHK, saat memberitakan tsunami pada 2011 lalu, yang sangat mencengangkan dari bencana itu adalah tidak ada satu tetes darah pun terlihat dan tidak ada satu burung mati pun terlihat. Namun pemberitaan mengenai dampak tsunami ini mendunia," ujarnya.
Sementara itu, jurnalis senior Parni Hadi yang berpengalaman memimpin sejumlah media nasional di Indonesia mengatakan, upaya edukasi pemberitaan mengenai bencana alam ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan jurnalis yang melakukan peliputan di wilayah bencana untuk memberitakan hal-hal yang bersifat humanis.
“Umumnya pemberitaan bencana yang ada sampai saat ini mendramatisir keadaan dan mengulang-ulang seolah-olah ini merupakan akhir dari dunia. Pemberitaan mengenai bencana harus lebih detail dan bertujuan untuk menghibur masyarakat yang terkena bencana," ujarnya.
“Media perlu menjadikan setiap bencana tidak hanya sekedar mendramatisir keadaan namum juga harus mengambil pelajaran dari situ dan mengedukasi masyarakat. Jika terjadi bencana alam, misalnya gempa bumi atau tsunami langkah apa yang perlu dilakukan agar tidak terulang kembali pada kejadian berikut," ujar Tifatul dalam konferensi perhimpunan media penyiaran se-Asia Pasifik ABU), Kamis (5/6), di Jakarta.
Berbicara di hadapan lebih dari 200 delegasi dari 32 negara yang hadir dalam konferensi tersebut, Tifatul mengatakan peningkatan pemberitaan melalui media penyiaran seperti radio dan televisi perlu dilakukan mengingat pesatnya informasi yang disebarluaskan melalui media sosial saat ini dengan menggunakan telepon genggam.
“Saat ini pemilikan nomor telepon genggam yang terdistribusi berdasarkan operator jumlahnya mencapai 270 juta, melebih jumlah penduduk Indonesia. Sementara media penyiaran belum jadi yang utama. Kita ingin meningkatkan peran televisi dalam penyampaian pesan bencana juga melalui media radio," ujarnya.
Sementara itu, Wakil Presiden Boediono mengatakan dalam negara demokratis, masyarakat menjadi bagian dalam pelaporan dan penyebaran informasi melalui media sosial. Namun kebebasan yang tanpa sensor ini harus diikuti dengan tanggung jawab yang lebih besar, menurutnya.
“Hal ini merupakan pengingat konstran akan hak fundamental publik untuk memperoleh informasi. Tidak hanya sekedar informasi, tetapi informasi yang benar dan berimbang,” ujarnya.
Dalam konferensi ini peserta berbagi pengalaman dan saling belajar pemberitaan bencana alam. Freddy Tulung, Direktur Jenderal Komunikasi dan Informasi Publik, Kementerian Komunikasi dan Informatika mengatakan, Indonesia adalah wilayah rawan bencana, namun sayangnya media di Indonesia lebih banyak mengedepankan aspek traumatis dan dramatis dari suatu bencana.
“Kita lihat media Jepang contohnya seperti NHK, saat memberitakan tsunami pada 2011 lalu, yang sangat mencengangkan dari bencana itu adalah tidak ada satu tetes darah pun terlihat dan tidak ada satu burung mati pun terlihat. Namun pemberitaan mengenai dampak tsunami ini mendunia," ujarnya.
Sementara itu, jurnalis senior Parni Hadi yang berpengalaman memimpin sejumlah media nasional di Indonesia mengatakan, upaya edukasi pemberitaan mengenai bencana alam ini dapat dilakukan dengan meningkatkan kemampuan jurnalis yang melakukan peliputan di wilayah bencana untuk memberitakan hal-hal yang bersifat humanis.
“Umumnya pemberitaan bencana yang ada sampai saat ini mendramatisir keadaan dan mengulang-ulang seolah-olah ini merupakan akhir dari dunia. Pemberitaan mengenai bencana harus lebih detail dan bertujuan untuk menghibur masyarakat yang terkena bencana," ujarnya.