Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) menemukan ada hampir 50 hoaks tersebar di media sosial selama tahapan pilkada hingga 2 Desember lalu. Ketua Cek fakta Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), Ariwibowo Sasmito, mengatakan masyarakat masih ada yang terpengaruh hoaks di media sosial terkait pilkada.
Menurut Ariwibowo, pemelintiran informasi di media sosial seringkali membuat masyarakat menemui kesulitan dalam memilah informasi yang benar dan tidak, dan karenanya ia berharap literasi media sosial pada masyarakat bisa terus ditingkatkan.
"Kalau dalam pilkada ini kemarin hingga 2 Desember ini kami temukan konten palsu, contohnya pasangan calon di Pilkada Gubernur menggalang dana atau sumbangan untuk kampanye dan masyarakat masih saja ada yang tertipu,” ungkap Ari saat menjadi narasumber diskusi daring bertema "Temuan Awal Kampanye Media Sosial Pilkada 2020", Minggu (6/12).
Lebih lanjut Ari mengungkapkan hoaks didominasi oleh isu konten palsu sebesar 34 persen, konten yang dimanipulasi 23.4 persen, konten menyesatkan 21.3 persen, konten salah 17 persen, konten tiruan 2.1 persen, serta konten satire 2.1 persen.
Bawaslu: Masih ada Beragam Hoaks Terkait Pilkada
Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengungkapkan ragam hoaks terkait pilkada masih ditemukan hingga menjelang proses pemungutan suara Pilkada 2020.
"Pelanggaran konten internet, isu hoaks sampai kemarin ada 45, antara lain tanggal 9 Desember tidak ada pilkada, pilkada dibatalkan kecuali di Solo dan Medan, kemudian warga yang reaktif tes rapid dilarang ke TPS saat Pilkada, ada juga paslon yang diisukan meninggal," ungkap Fritz.
Bawaslu juga memaparkan data temuan KOMINFO selama masa Pilkada 2020, 700an konten internet yang diperiksa, 105 iklan kampanye yang aktif selama masa kampanye, dan 220 jumlah link website diminta untuk ditutup atau take down.
Dari ratusan website tersebut, ada 193 tautan yang melanggar UU Pilkada mengenai ‘menghasut, memfitnah, mengadu domba Partai politik, perseorangan, dan/atau kelompok masyarakat, dan 15 tautan website mengenai penghinaan seseorang berlandaskan agama, suku, ras, golongan, paslon dan/atau Partai Politik; sedangkan dua tautan website melanggar UU ITE tentang penyebaran berita bohong.
Tanggung Jawab dan Regulasi Media Sosial
Agus Sudibyo dari Dewan Pers menyoroti tanggung jawab platform media sosial dalam menangani informasi terkait Pilkada. Agus membandingkan regulasi media massa dengan media sosial.
"Menurut task force di Dewan Pers, penegakan hukum atas penyebaran hoaks yang merugikan dan meresahkan masyarakat semestinya menempatkan perusahaan penyedia platform digital sebagai subjek hukum dengan hak dan kewajiban tertentu berdasarkan regulasi. Perusahaan platform media sosial bisa berbisnis di Indonesia tetapi juga harus mengambil tanggung jawab," tegas Agus.
Peneliti di Politic and Government Outreach Facebook Indonesia, Noudhy Valdryno, mengatakan Facebook Indonesia bekerja sama dengan pemerintah dan penyelenggara pemilu mengantisipasi penyebaran disinformasi dan misinformasi konten di media sosial terkait Pilkada. Menurut Rino, transparansi dan demokrasi menjadi komitmen perusahaan media sosial ini.
"Problema misinformasi tidak bisa diselesaikan sendirian, platform media sosiial kami dalam konteks pilkada atau pemilu ini juga berkolaborasi dengan perusahaan media massa, pemerintah dan lembaga lainnya. Cek fakta, reminder pelaksanaan pilkada, kita ingin mendukung pemilih yang terinformasi supaya pemilih juga memperoleh informasi yang akurat. Salah satu pilar komitmen perusahaan kami, supporting inform electoral," ungkap Rino.
Rino menambahkan proses admisnitrasi akun media sosial di platformnya juga berlapis. Sistem akan mendeteksi dan mencegah adanya pemalsuan akun media sosial, ketidakakuratan data atau informasi, upaya penyebaran hoaks, disclaimer iklan politik, dan lainnya.
Pedoman Etika Kampanye di Media Sosial
Ada 11 kelompok masyarakat sipil dan asosiasi secara aktif mendukung dan menggagas pedoman etika kampanye di media sosial ini, yaitu: ELSAM, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Centre for Digital Society (CfDS) Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Koalisi Perempuan Indonesia, Generasi Melek Politik, Komite Independen Sadar Pemilu, Warga Muda, Rumah Kebangsaan, dan Democracy and Electoral and Empowerment Partnership DEEP.
Anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo, menegaskan publik harus dilindungi dari upaya penyalahgunaan kebebasan berpendapat atau berekspresi di media sosial.
"Publik harus dilindungi dari praktek penyalahgunaan kebebasan berpendapat dan berekspresi itu oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab, oleh orang-orang yang apriori menggunakan kampanye dalam konteks propaganda komputasi nasional tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap masyarakat.", kata Agus.
Sementara itu anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, mengungkapkan pentingnya pedoman etika kampanye di media sosial.
"Kita harus sadar di media sosial kita bertemu siapa saja, bagaimana kita beretika, ada aktor partai politik, pasangan calon, masyarakat, buzzer, ada yang menikmati secara finansial, ada yang mensupport demokrasi, kita sebagai penyelenggara pemilu atau pilkada, ada kepolisian, tim cyber dan Kominfo," jelas Fritz. [ys/em]