Dalam video yang diperlihatkan kepada Associated Press, tampak sebuah jantung yang dikembangkan di laboratorium dengan usia relatif muda, sekitar 10-15 hari, dalam kondisi sehat.
Sementara itu, terdapat satu jantung lagi yang berusia sekitar 28 hari dalam kondisi tidak sehat. Kondisi itu dapat dideteksi perangkat kecerdasan buatan (AI) melalui caranya berkontraksi dan berelaksasi.
Kedua jantung itu hanya memiliki sekitar 20 ribu sampai 30 ribu sel yang disebut sebagai organoids. Akan tetapi, para ilmuwan di University of East London mengklaim keduanya sudah cukup matang untuk digunakan dalam pengembangan perangkat lunak diagnostik yang dapat membantu dokter ahli jantung mengambil tindakan jauh lebih dini.
Prashant Jay Ruchaya, ilmuwan yang memimpin penelitian itu, mengatakan, sebagian besar gagal jantung disebabkan oleh penyakit jantung koroner, yaitu ketika pembuluh darah yang memasok darah ke jantung tersumbat kolestrol dan zat lainnya.
Itu juga yang menjadi penyebab utama serangan jantung.
Namun, apa yang dilakukan Ruchaya dan timnya dalam studi mereka adalah meneliti bagaimana sel-sel dalam jantung menjadi rusak melalui proses penuaan.
Ia mengatakan: “Salah satu hal tersulit mengenai jantung adalah kapasitas regenerasinya yang rendah. Jantung punya tingkat regenerasi sel yang sangat rendah, yaitu 1%, dan ketika kita mencapai usia 80 tahun, tingkat regenerasinya menurun hingga hampir separuhnya. Jadi, sangatlah penting untuk mencari cara mempertahankan sel jantung yang belum rusak, karena begitu mereka rusak, sangat sulit untuk mengembalikannya ke kondisi semula.”
Menurut Ruchaya, jantung yang sudah lebih dulu rusak akibat penyakit lebih mudah mengalami kegagalan, karena organ itu tidak dapat meregenerasi cukup sel untuk melawan kerusakan yang disebabkan oleh proses penuaan.
Ia dan timnya mengemukakan, melatih kecerdasan buatan untuk mengenali cara jantung berelaksasi dan berkontaksi secara rinci diharapkan dapat membantu mengindikasi apakah akan terjadi masalah pada jantung di kemudian hari.
Kembali, Ruchaya mengatakan, “Cara mereka berkontraksi sangatlah penting, karena fungsi jantung adalah memompa darah ke seluruh tubuh. Maka, secara in vitro, kami meniru model tersebut dengan melihat serangkaian kontraksi sistol dan diastole serta menghitung kecepatan mereka, tingkatnya, dan juga cara dan pola mereka berkontraksi. Itu hal yang cukup baru. Dan dengan mengintegrasikannya ke dalam AI, kita bisa melihat perubahan yang sangat rumit dalam cara sistol dan diastol dilakukan. Dan seiring organ-organ ini berada di cawan petri, kami dapat memprediksi yang mana di antara mereka yang akan menua dengan sehat, yang mana yang akan menua dengan memburuk dengan melihat perubahan fisiologi yang dialami sel-sel jantung itu seiring waktu.”
Sementara itu, para calon perawat di kampus itu belajar cara mendeteksi penyakit jantung di lingkungan rumah sakit virtual.
Siswa diberi petunjuk cara mengoperasikan perangkat lunak yang memperlihatkan kepada mereka isi dan sisi luar jantung yang rusak.
Dosen mereka, Kelly Thobekie Ncube, sangat tertarik pada cara untuk mengenali tanda-tanda sakit jantung, karena ayahnya meninggal akibat serangan jantung beberapa tahun lalu di rumahnya di Zimbabwe.
“Sangat mengharukan bagi saya karena sebagai seorang dosen yang mengajar CPR, ayah saya tidak bisa mendapatkan AUD, defibrilator eksternal otomatis, di negara asal saya. Dan ini sebabnya saya meluangkan banyak waktu untuk berinvestasi di kampung halaman saya untuk mengajar CPR.”
Para ilmuwan di laboratorium kampus itu berharap hasil penelitian mereka nantinya digunakan di lingkungan klinis di mana para perawat bekerja.
Mereka mengembangkan teknologi AI yang dapat melacak sel yang sudah tua dalam jantung.
Menurut Institut Kanker Nasional AS, sel yang menua adalah sel yang berhenti membelah diri secara permanen namun tidak mati. Pada akhirnya, sel itu terlalu banyak menumpuk dalam organ-organ, seperti jantung.
Sel-sel itu lantas melepaskan zat berbahaya yang dapat menyebabkan peradangan dan kerusakan di dekat sel-sel yang sehat.
Sementara itu, ilmuwan juga bereksperimen menggunakan obat-obatan yang berkhasiat menyingkirkan sel-sel tua sebelum menyebabkan terlalu banyak kerusakan.
Ia berharap tidak akan lama lagi teknologi AI yang mereka kembangkan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang dapat menerima obat-obatan yang mereka ujicobakan terhadap organoids.
Ruchaya berharap teknologi AI yang ia kembangkan nantinya dapat diintegrasikan dengan pencitraan USG dan MRI untuk mendeteksi penyakit-penyakit lainnya. [rd/jm]
Forum