Tautan-tautan Akses

Menanti Keadilan untuk Tetua Adat Sorbatua Siallagan yang Diduga Dikriminalisasi


Terdakwa Sorbatua Siallagan saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN).
Terdakwa Sorbatua Siallagan saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN).

Seorang tetua adat Sorbatua Siallagan telah divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara. Namun pria yang telah memasuki usia senja itu masih berharap mendapatkan keadilan.

Pengadilan Negeri (PN) Simalungun telah menghukum terdakwa Sorbatua Siallagan (65) dengan pidana selama dua tahun dan denda Rp2 miliar subsider enam bulan kurungan pada Rabu (14/7) pekan lalu. Sorbatua yang merupakan tetua adat Ompu Umbak Siallagan, didakwa menduduki kawasan hutan negara di Hutan Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara.

Izin konsesi wilayah itu dipegang oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).

“Selaku penasihat hukum dan juga keluarga, kecewa, meski kami menghormati putusan itu. Tapi pada prinsipnya kami kecewa,” kata Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara, Hendra Sinurat, kepada VOA, Selasa (20/8).

Kawasan yang dikelola oleh Sorbatua itu merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan dan dikelola keturunannya selama 11 generasi.

Namun majelis hakim tetap berpendirian jika Sorbatua telah bersalah, karena klaimnya atas tanah ulayat tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Status tanah ulayat yang dimohon oleh Sorbatua masih sebatas usulan.

Kini, Sorbatua telah mengajukan memori banding ke Pengadilan Tinggi Medan, Jumat (16/8), melalui PN Simalungun. Hendra mengatakan upaya banding itu ditempuh lantaran pihaknya masih yakin jika Sorbatua tak bersalah atas apa yang dilakukannya di tanah adatnya sendiri.

Terdakwa Sorbatua Siallagan saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN).
Terdakwa Sorbatua Siallagan saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Simalungun. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN).

“Daftar banding juga Jumat kemarin sudah kami terima dari PN Simalungun. Dalam waktu seminggu ini kami susun memori bandingnya dan akan kami serahkan melalui PN Simalungun untuk dikirim ke berkasnya ke Pengadilan Tinggi Medan,” ujarnya.

Hendra pun memaparkan ada kejanggalan dalam perkara ini, yakni majelis hakim menyatakan Sorbatua bersalah melanggar Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Padahal UU tersebut sudah tidak berlaku dan diganti dengan UU No 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang.

“Ada dua argumentasi (kami), pertama soal penetapan kawasan hutan. Kedua, kami memang masih percaya bahwa UU yang digunakan ini sudah tidak berlaku. Jaksa dan majelis hakim mendakwa, menuntut, dan memvonis Sorbatua dengan UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di mana UU-nya sudah diganti dengan UU No 6 Tahun 2023,” jelas Hendra.

Hengky Manalu dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Tano Batak (AMAN Tano Batak) mengatakan ada tumpang tindih klaim di atas tanah ulayat Ompu Umbak Siallagan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL).

“Komunitas adat keturunan Ompu Umbak Siallagan mengklaim itu wilayah adat mereka karena sudah lama ditempati. Tapi kehadiran perusahaan PT TPL di atas wilayah adat itu meminggirkan hak mereka. Jadi sebenarnya ada tumpang tindih klaim yang terjadi di atas wilayah itu,” katanya kepada VOA, Selasa (20/8).

Pada tahun 2019, Sorbatua dan beberapa komunitas adat lainnya pernah bertemu dengan Menteri LHK, Siti Nurbaya Bakar. Saat itu Menteri LHK mengeluarkan surat keputusan tentang penyelesaian konflik antara masyarakat adat dengan PT TPL. Namun sayangnya upaya itu masih buntu sampai sekarang.

“Sementara masyarakat dari keturunan Ompu Umbak Siallagan sudah melakukan upaya baik itu melalui pemerintah daerah, provinsi, dan kementerian untuk segera menyelesaikan persoalan itu. Namun enggak ada titik terang yang masyarakat adat dapatkan hingga sampai saat ini,” ungkap Hengky.

Selanjutnya, masyarakat adat yang tak mendapat perhatian dari pemerintah langsung berinisiatif untuk mengelola kembali tanah adatnya seperti menanam pohon dan sayur-sayuran. Namun hal itu ditentang oleh PT TPL dengan melaporkan masyarakat adat ke Polda Sumatra Utara.

“Jadi perusahaan melakukan upaya menghentikan langkah mereka melalui laporan ke polisi ke Polda Sumut. Beberapa kali pihak sekuriti melakukan pelarangan aktivitas itu tapi warga bertahan di lokasi. PT TPL itu merampas karena mereka hadir di situ tidak ada sosialisasi apa pun terhadap masyarakat. Jadi klaim sepihak yang dilakukan PT TPL di atas wilayah adat Ompu Umbak Siallagan,” jelas Hengky.

Hengky menilai Sorbatua hanya berupaya memperjuangkan tanah adatnya. Vonis yang diberikan PN Simalungun terhadap Sorbatua kian menambah pelik kriminalisasi terhadap tetua adat tersebut. “Sudah ada proses panjang mereka di kampung itu mulai dari bergenerasi hingga sampai saat ini. Dari yang kami cek sampai sudah puluhan generasi mereka di situ. Jadi apa yang dibuat (vonis) oleh hakim itu tentu sebagai bukti bahwa negara atau pemerintah memang mau melakukan kriminalisasi terhadap masyarakat adat agar mereka berhenti berjuang,” ucapnya.

Masyarakat adat di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, melakukan aksi demo meminta agar Sorbatua Siallagan dibebaskan. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN)
Masyarakat adat di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, melakukan aksi demo meminta agar Sorbatua Siallagan dibebaskan. Rabu 14 Agustus 2024. (Courtesy: Tim Advokasi AMAN)

Upaya kriminalisasi terhadap Sorbatua juga dianggap sebagai cara untuk menghentikan perjuangan masyarakat adat yang ingin mendapatkan haknya kembali. “Putusan pengadilan itu sangat cacat dan tidak beralasan yang kuat karena Sorbatua Siallagan itu bertani dan mengelola tanah adatnya sendiri,” ujar Hengky.

Kemudian, Hengky mengatakan sejauh ini belum ada proses penetapan kawasan hutan negara yang dilakukan di Provinsi Sumut termasuk di Kabupaten Simalungun. Namun hanya sebatas penunjukan. “Itu masih hanya sebatas penunjukan (proses penetapan kawasan hutan negara). Terus atas dasar apa hakim memutuskan Sorbatua menduduki kawasan hutan negara? Makanya kami nilai ini tidak adil dan murni bentuk kriminalisasi yang dibuat oleh negara terhadap perjuangan masyarakat adat,” tandas Hengky.

Sementara itu juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, hanya memberikan respons singkat terkait upaya banding yang dilakukan Sorbatua. PT TPL juga tak menjawab soal klaim tanah adat Ompu Umbak Siallagan. “TPL menghormati proses hukum dan keputusan yang diambil majelis hakim dalam persidangan,” katanya kepada VOA melalui pesan di aplikasi percakapan daring, Rabu (21/8).

Sebelumnya, pada sidang 7 Agustus 2024 dengan agenda pembacaan nota pembelaan atau pledio pledoi, Sorbatua mengatakan dirinya hanya menduduki wilayah adat dari keturunannya. “Saya tidak menduduki lahan siapa pun. Saya menduduki wilayah adat Ompu Umbak Siallagan. Kami bulan Mei ini seharusnya melakukan ritual adat Manganjab. Tapi tidak dapat kami lakukan, karena saya sedang dipenjara. Padahal saya tidak pernah melakukan kejahatan dan tindakan kriminal," ujarnya.

Sorbatua ditangkap polisi saat sedang membeli pupuk bersama istrinya pada 22 Maret 2024. Pada saat penangkapan, istri Sorbatua tidak diberikan surat penangkapan. Istrinya ditinggalkan sendiri dengan mobil dan pupuk. [aa/ns]

Forum

Recommended

XS
SM
MD
LG