Tiga puluh dua kerjasama bisnis yang dicapai dalam Indonesia-Africa Forum (IAF) kedua pada tanggal 1-3 September lalu di Nusa Dua, Bali, mencakup empat kesepakatan bisnis di sektor industri strategis, sembilan kesepakatan di sektor bisnis kesehatan dan enam kesepakatan di sektor bisnis energi baru terbarukan. Enam kepala negara di benua Afrika hadir dalam forum bertema “Spirit Bandung bagi Agenda Afrika 2063,” yang sekaligus diselenggarakan untuk merayakan 70 tahun Konferensi Asia-Afrika. Forum ini dibuka langsung oleh Presiden Joko Widodo.
Sehari setelah Indonesia melangsungkan pertemuan itu, China menggelar Forum Kerjasama China-Afrika (FOCAC) kesembilan di Beijing, yang dibuka dengan pidato utama Presiden Xi Jinping. Ada 51 kepala negara Afrika yang hadir, jauh lebih banyak dari yang dijadwalkan berbicara di Majelis Umum PBB akhir September nanti.
Pengamat dan pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja PhD, menyayangkan pelaksanaan dua forum besar dalam waktu bersamaan. “Dengan adanya KBRI di Beijing sedianya ada informasi lebih awal tentang FOCAC sehingga tidak bertabrakan dengan IAF di Bali. Apalagi di saat bersamaan Indonesia sedang menyambut kehadiran Paus Fransiskus di Jakarta. Jadi benturan waktu itu sebenarnya bisa dihindari,” jelasnya.
Ditambahkannya, forum di Bali memang berbeda dengan forum di Beijing, tetapi “alangkah baiknya jika ada rentang waktu yang cukup lama di antara kedua forum itu sehingga seluruh kepala negara Afrika dapat mengikutinya, dan tidak perlu memilih.”
Diwawancarai secara terpisah, Direktur Afrika di Kementerian Luar Negeri, Dewi Justicia Meidiwaty, mengatakan “sebenarnya di balik layar kami berkoordinasi sangat erat dengan China. Memang untuk tanggal, kita duluan yang menetapkan untuk 2-3 September, tapi ada proses yang cukup lama sebelum mengirim surat undangan dari Presiden Jokowi ke negara-negara tersebut. Lalu kami diberitahu China bahwa acara mereka pada 2-6 September. Saya sampai berangkat langsung ke Beijing untuk negosiasi tanggal dan memastikan bahwa AIF di Bali tidak mengganggu FOCAC di Beijing. Saya menjelaskan bahwa KTT utama AIF di Bali pada tanggal 2 September saja, sementara FOCAC pada 5-6 September. Alhamdulillah mereka yang datang juga cukup banyak dan mereka ini adalah pemimpin negara yang sudah punya kerjasama ekonomi dengan kita.”
Mengapa Afrika?
Ketertarikan Indonesia dan China untuk meningkatkan kerjasama ekonomi dengan negara-negara di benua Afrika menjadi angin segar di tengah ketegangan konflik geopolitik.
Dalam pertemuan virtual dengan media sebelum pelaksanaan IAF di Bali, Wakil Menteri Luar Negeri Pahala N. Mansury mengatakan negara-negara di kawasan Selatan – termasuk Indonesia dan Afrika – dapat menegaskan posisi non-blok mereka untuk mengurangi ketegangan geopolitik tersebut dan sekaligus menggarisbawahi hak untuk mengembangkan sumber daya yang dimiliki.
“Dengan populasi Afrika yang kini mencapai 1,4 miliar maka ada peluang besar bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar ke non-tradisional, termasuk dalam sektor kelapa sawit, makanan-minuman dan pakaian. Diversifikasi pasr ini akan memberi pasokan komoditas yang lebih beragam dan memperluas tujuan ekspor serta potensi investasi di luar negeri,” sebutnya.
Menurut data Bank Pembangunan Afrika, pertumbuhan ekonomi di kawasan Afrika pada tahun 2023 lalu mencapai 3,2 persen dan akan meningkat menjadi 3,8 persen pada akhir tahun 2024 ini. “Ini arti strategis Afrika dan mengapa kita mulai dari sekarang mengembangkan hubungan,” tegas Pahala.
Untuk itu berbeda dengan AIF sebelumnya, kali ini banyak pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) yang diajak ikut serta dan bertemu dengan badan usaha milik negara (BUMN).
“Kami undang banyak UKM dari negara-negara Afrika untuk dipertemukan dengan UKM kita. Tetapi kita langsungkan dulu virtual business matching beberapa kali, sehingga saat ketemu di IAF sudah ada yang konkrit. Fokus kita adalah bagaimana mendorong para pengusaha untuk saling bertemu dan menjalin kerjasama awal, sebelum akhirnya dipererat di IAF Bali,” jelasnya.
China Tingkatkan Ekspor “Trio Baru”
Sementara China tidak saja meningkatkan kerjasama perdagangan dalam segi jumlah, tetapi juga struktur. Jika semula China mengekspor produk industri tradisional, seperti tekstil, kini mulai beralih ke produk berteknologi tinggi dan bernilai tambah tinggi.
Direktur Departemen Kerjasama Pembangunan Internasional di Institute Ekonomi Struktural Baru Universitas Peking, mengatakan kepada Associated Press tentang “peningkatan signifikan volume ekspor apa yang disebut trio baru. Yaitu kendaraan listrik, baterai lithium-ion, dan produk fotovoltaik sejak tahun lalu.”
Presiden Xi Jinping menjabarkan hal ini dalam pidato pembukaan FOCAC pada 5 September lalu, yang bertema “Bergandengan Tangan Memajukan Modernisasi dan Komunitas China-Afrika dengan Masa Depan Bersama.”
Pengamat Kagum dengan Penataan Ulang Skema Kerjasama China
Pengamat dan pendiri Synergy Policies, Dinna Prapto Raharja kagum dengan penataan ulang skema kerjasama “Belt & Road Development Project” ini.
“Belum lama ini saya berkunjung ke Beijing dan melihat bagaimana mereka (China.red) sedang menata betul format kerjasama terkait Belt & Road Development Project. Mereka punya cita-cita sebagai suatu negara, agar uluran tangan mereka ke negara-negara berkembang ditanggapi dengan positif. Mereka siap mengalokasikan dana yang jauh lebih besar dengan janji menciptakan jutaan lapangan pekerjaan. Format yang dibuat juga menarik, yaitu: untuk proyek pembangunan diberi dalam bentuk dolar Amerika, sementara untuk proyek sosial diberi dalam mata uang yen. Jadi secara keamanan keuangan – dalam arti utang yang diberikan – dapat, tapi penggunaan yen dan pengurangan dolar Amerika juga diraih. Sangat menarik melihat evolusi China ini.”
Dinna mengatakan ia tahu, banyak pihak berharap agar Indonesia memainkan peran setara dengan China saat meningkatkan kerjasama dengan Afrika, namun sedianya harapan itu proporsional dan tetap membumi.
“Memang kalau bicara soal tatanan kemampuan dan kapasitas ekonomi global, China yang tidak diragukan lagi paling kuat. Bukan hanya cadangan devisanya sangat besar, dana yang didedikasikan untuk membangun berbagai proyek juga sangat besar, dan staffing atau SDM untuk menjalankan tugas-tugas ini sangat besar. Saya lihat sendiri bagaimana jumlah staf Litbang di Kemlu kita mungkin 30-40 orang, Beijing menempatkan 800 orang di ibu kota saja. Setiap kawasan yang punya bahasa lokal (native language) juga didorong untuk belajar bahasa itu, jadi ada yang fasih berbahasa Kamboja, Thailand dll," komentarnya.
"Apalagi bahasa Afrika. Memang banyak pihak berharap besar pada Indonesia, agar China tidak melenggang sendirian. Melihat Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dan diplomasi, Indonesia dinilai dapat menjadi penyeimbang. Tapi dari sudut pandang saya sebagai pengamat, Indonesia baru saja mulai. Jadi boleh ada harapan, tetapi harus tetap proporsional. Dari segi kapasitas APBN dan SDM; apalagi jika bicara soal dedikasi cadangan devisa untuk ditanam di luar negeri, itu belum. Belum sebesar dan sesiap China,” lanjut Dinna.
Meskipun demikian menurut Direktur Afrika di Kementerian Luar Negeri, Dewi Justicia Meidiwaty, sejak AIF pertama tahun 2018 lalu, mulai tahun 2022 hingga 2024 ini sudah empat negara Afrika yang membuka kantor kedutaan besar mereka di Jakarta. Yaitu Kenya (2022), Tanzania (2023), Rwanda dan Angola (2024). Menurutnya hal ini merupakan bukti nyata kerjasama yang semakin erat dengan negara-negara di benua Afrika. [em/jm]
Forum