Ruth Bader Ginsburg tahu ia ingin menjadi seorang sarjana hukum saat kuliahnya memasuki tahun ketiga. Orangtuanya keberatan ia mengambil jurusan ilmu hukum, khawatir nantinya ia sulit mendapat pekerjaan dalam profesi yang didominasi kaum lelaki itu. Tetapi, Ginsburg bersikeras. Setelah lulus dari Universitas Cornell pada tahun 1954, ia masuk Fakultas Hukum di Universitas Harvard, lima tahun setelah fakultas tersebut menerima mahasiswa perempuan. Kenang Ginsburg:
"Waktu saya masuk fakultas hukum, jumlah mahasiswa ada 500 orang, dan hanya sembilan perempuan," kenangnya.
Dua tahun kemudian, suami Ginsburg, Martin Ginsburg, seorang pengacara pajak yang terkenal dan dosen ilmu hukum, menerima tawaran kerja di Kota New York. Ginsburg pindah ke Universitas Columbia, di mana ia menerima gelar sarjana hukumnya pada tahun 1959. Sebagaimana yang telah diperkirakan orangtuanya, tak mudah baginya memperoleh pekerjaan. Ujar Ginsburg:
"Tak satu pun lembaga hukum di seluruh kota New York yang mau mempekerjakan saya," ujar Ginsburg.
Akhirnya, dengan bantuan seorang dosen, Ginsburg mendapat pekerjaan sebagai seorang klerek bagi Hakim Edmund L. Palmieri di sebuah pengadilan distrik New York selatan. Tak lama sesudah itu, ia mulai mengajar di Fakultas Hukum Universitas Rutgers dan Universitas Columbia.
Direktur divisi proyek yang menangani hak-hak perempuan atau Women’s Rights Project pada lembaga American Civil Liberties Union, Lenora Lapidus, mengemukakan, "Sepanjang tahun-tahun 1970-an, Ruth Bader Ginsburg telah memimpin Women's Rights Project ini, dan telah mengajukan gugatan kepada Mahkamah Agung untuk menunjukkan bahwa Konstitusi melarang diskriminasi gender."
Kini, pada usianya yang ke-78 tahun, menurut Ginsburg, diskriminasi gender di AS tidak ada lagi. Yang ada hanyalah tantangan bagaimana laki-laki dan perempuan Amerika dapat terus bersikap terbuka dan penuh pengertian terhadap gagasan menyeimbangkan pembagian beban kerja dan keluarga.