Chris Ayers bukan seorang fundamentalis keras. Tetapi, pada suatu hari Minggu di akhir bulan April, pastur Gereja Wedgewood di Charlotte, negara bagian North Carolina, yang dikenal bertutur lembut tidak seperti biasanya, berkhotbah penuh semangat.
“Betapa bodohnya HB-2,” seru Ayers dari mimbar gerejanya, memberi penekanan pada setiap kata. “Tidak hanya berbahaya dan diskriminatif, HB-2 juga sangat bodoh.”
HB-2 yang dimaksud oleh Ayers adalah tentang undang-undang yang membatasi kelompok transgender untuk menggunakan kamar kecil dan fasilitas umum lainnya sesuai jenis kelamin yang tertera di akte kelahiran mereka, bukannya jenis kelamin yang mereka pilih. Undang-undang ini baru-baru saja disahkan di negara bagian North Carolina.
Banyak gereja di North Carolina mendukung pengesahan HB-2. Mereka percaya bahwa undang-undang tersebut mencerminkan pandangan mereka tentang perbedaan jenis kelamin dan melindungi perempuan dan anak-anak dari penjahat seksual.
Lain halnya dengan Gereja Wedgewood. Lebih dari setengah pengikutnya adalah kelompok LGBT dan transgender dan mereka melihat undang-undang tersebut menilai mereka mesum.
“Kami cinta keluarga. Kami pekerja biasa. Kami punya nilai moral yang baik,” kata Isley Whitfield, perempuan transgender berusia 52 tahun dari Charlotte.
‘Diskriminasi adalah dosa’
Walaupun di AS banyak ditemukan gereja-gereja yang terbuka terhadap komunitas LGBT, namun Gereja Wedgewood melakukan upaya-upaya khusus untuk menyambut kelompok tersebut. Pintu depan gereja dihiasi warna-warna pelangi. Bendera pelangi dikibarkan di luar dekat tanda yang bertuliskan, “Diskriminasi adalah sebuah dosa.”
Di dalam gereja, simbol kamar kecil tradisional bergambar pria dan wanita diletakkan di lobi dalam kondisi hancur sebagai tanda protes simbolik mementang HB-2. Simbol tradisional tersebut telah digantikan oleh simbol pelangi yang bertuliskan “Tidak ada diskriminasi.”
“Setiap seorang LGBT memasuki pintu gereja adalah sebuah keajaiban,” kata Pastur Ayers. “Karena kenapa orang masih berusaha berhubungan dengan Tuhan walaupun dia telah ditolak gereja di masyarakat?”
Dukungan bagi HB-2
Di negara bagian lain di Winston Salem, Pastur Ron Baity, pemuka Gereja Baptis Berean, juga fokus dengan isu HB-2 dan kelompok transgender.
“Kami merasa HB-2 adalah undang-udang yang bagus,” kata Baity, yang mengorganisasi demonstrasi dalam upaya mendukung HB-2. “Perempuan harus menggunakan kamar mandi khusus untuk perempuan dan pria harus menggunakan kamar mandi khusus untuk pria. Ini pemikiran normal.”
Baity tidak segan mengungkapkan ketidaksukaannya terhadap kelompok transgender. “Menurut saya orang-orang transgender punya masalah yang sangat serius,” katanya.
Baity adalah pendukung gerakan Kristen konservatif yang melihat isu transgender sebagai saat yang tepat untuk mempertahankan kebebasan beragama dan nilai-nilai dari Alkitab.
Menjaga perbedaan gender dalam Alkitab
Hampir setahun setelah keputusan Mahkamah Agung untuk melegalkan pernikahan sesama jenis, kelompok Kristen konservatif menggunakan debat transgender ini sebagai kesempatan untuk menyerang balik.
Beberapa telah mengambil langkah lanjut yang bertujuan untuk mengabadikan nilai-nilai mereka dalam hukum pada tingkat negara dan lokal.
Dalam satu setengah tahun terakhir, 27 negara bagian telah mengeluarkan RUU yang membatasi penggunaan kamar mandi umum bagi kelompok transgender (Sejauh ini, hanya North Carolina yang telah mengesahkan undang-undang tersebut).
Namun bagi banyak aktivis Kristen konservatif yang bekerja di balik layar untuk mendukung legislasi tersebut, isu ini terlihat jauh lebih dalam dibandingkan sekedar penggunaan kamar mandi umum, masalah ini juga membahas tentang mempertahankan konsep perbedaan jenis kelamin dalam Alkitab.
“Sejujurnya aneh kalau kita berasumsi bisa mengganti jenis kelamin seperti ganti baju, hanya karena ingin menjadi seorang dengan jenis kelamin yang berbeda ketika dilahirkan,” kata Mathew Staver, pendiri Liberity Counsel, kelompok advokasi Kristen injili.
Kekebasan beragama
Staver mengakui Liberty Counsel adalah salah satu pencetus undang-undang kamar mandi umum untuk transgender. Mereka juga berusaha untuk mengesahkan hukum yang melindungi hak orang-orang dan bisnis yang religius untuk menolak jasa bagi kelompok LGBT.
Liberty Counsel sedang menggarap RUU tersebut dan menyediakan konsultasi legal lainnya di 22 negara bagian, ungkap Staver.
Sekitar 200 RUU yang disebut “kebebasan agama” telah dirancang oleh legislator di sekitar Amerika Serikat tahun ini menurut Rose Saxe, staff pengacara senior American Civil Liberties Union.
“Menurut saya kita sekarang melihat argumen baru yang mengatakan menghormati kelompok transgender melanggar kebebasan agama orang lain,” kata Saxe dalam wawancara dengan VOA. “Argumen ini tidak pernah muncul sebelumnya.”
Pertarungan dimulai
Hanya lima negara bagian telah mengesahkan hukum anti-LGBT untuk kebebasan agama sejauh ini, namun pertarungan ini baru dimulai.
Brandan Robertson, penulis dan aktivis injili yang mendukung hak-hak kelompok LGBT, meramalkan bahwa masyarakat konservatif sukses sementara dalam mengesahkan hukum-hukum yang bersifat diskriminatif.
“Dari sisi kebijakan umum, mengajukan hukum lebih gampang dibandingkan melawan hukum,” kata Robertson. “Kita yang berada di sisi (pemikiran) maju baru saja menyadari hal ini.”
Namun untuk jangka panjang, Robertson percaya bahwa kelompok Kristen konservatif menghadapi masalah, salah satunya karena jajak pendapat menunjukkan meningkatnya dukungan dalam hak-hak LGBT.
Menyadari tekanan tersebut, kelompok konservatif menghabiskan banyak uang untuk melawan isu transgender, kata Robertson.
“Karena mereka tahu bahwa begitu kita tidak lagi memperdebatkan masalah jenis kelamin ini, diskusi tentang hak-hak kelompok LGBT, akan berakhir,” kata Robertson. “Dan L, G, B, dan T akan punya hak yang sama di masyarakat.”
Ayers, pastur Gereja Wedgewood, berpikir optimistik dan percaya bahwa saudara-saudaranya yang konservatif pada akhirnya akan sependapat dalam isu LGBT ini.
“Saya dulu adalah orang yang tidak peduli, heteroseksual, takut pada gay,” katanya. “Jika Tuhan dapat merubah saya, maka masih ada harapan di luar sana, kan?” [np/dw]