Sektor ketenagalistrikan menyumbang peran signifikan untuk mengejar target emisi bersih (net zero emission) pada 2060. Namun, sektor ini masih menghadapi banyak tantangan, seperti pembiayaan, kemauan politik dan aturan hukum.
Perusahaan Listrik Negara (PLN) mencatat, pada 2020 lalu sektor ketenagalistrikan menyumbang 280 metrik ton CO2. Tanpa intervensi penggunaan sumber energi baru terbarukan, angka itu akan melonjak menjadi 920 metrik ton pada 2060. Padahal, Indonesia telah berkomitmen untuk bebas emisi dalam empat puluh tahun ke depan.
Karena itulah, seperti disampaikan Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, perusahaan plat merah itu agresif melakukan pemanfaatan energi bersih.
“Apa yang sudah kita lakukan? Dua tahun lalu kita sudah menghapus 13 gigawatt pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis pada batubara, yang saat itu sudah tercantum dalam RUPTL, Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik,” kata Darmawan dalam diskusi mengenai transisi energi pada industri ketenagalistrikan, yang diselenggarakan Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Bagaimana menghitung dampak upaya itu? Darmono mengklaim, untuk setiap pengurangan 1 gigawatt, maka akan menurunkan produksi CO2 sekitar 6 juta metrik ton. Dengan demikian, jika PLN mampu menghapus 13 gigawatt setiap tahun selama 25 tahun ke depan, maka perusahaan ini mampu mencegah produksi sekitar 1,8 miliar metrik ton CO2.
“Kalau PLTU dibangun, akan ada emisi. Tapi karena tidak dibangun, tidak jadi ada emisi, yang mampu dihindari itu 1,8 miliar metrik ton,” ujarnya.
Pengurangan itu tidak bermakna penghapusan produksi listrik. PLN memastikan, produksi listrik melalui PLTU langsung diganti dengan pembangkit listrik bertenaga energi baru terbarukan (EBT). Pembangkit ini beroperasi sebagai base load, atau bermakna beroperasi 24 jam.
“Ada sekitar 800 megawatt PLTU kita hapus dan kita gantikan dengan gas, dan ini mengurangi emisi separuhnya. Ada 1,3 gigawatt PLTU yang sudah berkontrak, itu berhasil kita batalkan kontraknya. Itu lagi-laki sekitar 170-180 juta metrik ton CO2 bisa dihindari selama 25 tahun,” jelas Darmono.
Membatalkan kontrak dengan produsen listrik bukanlah hal mudah. Pada masa lalu, PLN pernah harus membayar $380 juta dan biaya hukum $25 juta, karena kalah di pengadilan distrik di New York. Pada tahun 2000, PLN bernegosiasi dengan Independent Power Producer untuk membatalkan Power Purchase Agreement (PPA), di pembangkit Kahara Bodas, dengan investor dari Amerika Serikat.
Karena itulah, ketika PLN saat ini mampu membatalkan perjanjian pembelian daya 1,3 gigawatt tanpa persoalan hukum, maka itu adalah upaya luar biasa, kata Darmono.
PLN sendiri telah merencanakan bahwa 51,6 penambahan pembangkit sejak saat ini hingga 2030, berbasis energi baru terbarukan. Angka itu setara 21,6 gigawatt tambahan kapasitas. Rencana ini diklaim sebagai program paling hijau yang pernah ada dalam sejarah PLN dan Indonesia.
Tak Ada Perpanjangan Perjanjian
Target PLN itu selaras dengan upaya pemerintah, seperti disampaikan Jisman P. Hutajulu, Dirjen Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
“Memang betul, 2060 kita akan memberhentikan penggunaan batubara, kalau tidak dilakukan extend untuk power purchase agreement. Kita berharap, tidak akan kita lakukan extend itu,” ujar Jisman.
Data Kemen ESDM menyebut, saat ini PLTU batubara masih mendominasi dengan sumbangan 67 persen. Jika mendasarkan pada masa berlaku kontrak pembelian energi, pemerintah hanya perlu untuk tidak melakukan pembelian kembali untuk menuju bebas emisi.
Sesuai target yang sudah diumumkan presiden, dalam skema penghentian kontrak secara natural, pada 2057 Indonesia sudah tidak lagi menggunakan batubara untuk sektor listrik.
“Kita emisi tertinggi itu di 2036, kemudian nanti akan berkurang lagi di 2045, kemudian di 2051 berkurang lagi tinggal 18 gigawatt, sampai berhenti,” kata Jisman.
Namun, Jisman menggarisbawahi bahwa pemensiunan dini PLTU memberi konsekusnsi pada pembiayaan. SkemaJust Energy Transition Partnership (JETP) yang sudah disepakati dalam KTT G20 di Bali tahun lalu, menjadi harapan besar. Namun, semua pihak masih menunggu realisasinya.
Kendala Dasar Hukum
Meski membawa kabar baik, JETP juga menghadirkan konsekuensi tidak mudah bagi pemerintah. Dari sisi hukum misalnya, pakar hukum administrasi UGM, Dr. Mailinda Eka Yuniza, S.H., LL.M menyebut, regulasi Indonesia belum siap. “Dari dua belas kebutuhan norma yang harus ada untuk kita mengikuti keinginan-keinginan dari JETP, itu hanya ada dua norma yang sudah siap,” kata Mailinda.
Dua norma itu, terpenuhi berkat kehadiran Perpres 112/2022. Namun Mailinda mengingatkan, Perpres tersebut belum cukup. “Masih ada sembilan norma lagi yang belum ada pengaturannya, kalau kita mau memensiunkan dini PLTU batubara,” tegasnya.
Indonesia juga menetapkan batas emisi karbon pada 2030 sebesar 290 metrik ton CO2. Mailinda menyebut, saat ini ada Peraturan Menteri ESDM 16/2022 terkait target itu. Namun, dia meyakini dasar hukum tersebut sangat tidak cukup.
Perpres juga membutuhkan waktu lama untuk disusun, yaitu kurang lebih 251 hari. Jika Indonesia akan menerbitkan Perpres untuk semua kebutuhan program bebas emisi, waktunya tentu akan panjang. Kelemahan kedua, kata Mailinda, Perpres adalah norma yang tidak cukup aman untuk melindungi secara preventif kepentingan pembuat kebijakan ke depan.
“Artinya jalan masih panjang. Kalau kita mau berkomitmen terhadap JETP, maka pembuat kebijakan harus diberikan proteksi yang cukup. Sehingga apapun nanti keputusan yang diambil, memang punya dasar hukum yang kuat,” tegasnya.
Dewan Perwakilan Rakyat menjanjikan dukungan sepenuhnya target bebas emisi, termasuk dari sisi dasar hukum. Sugeng Suparwoto, Ketua Komisi VII DPR mengatakan, komisinya terus berupaya agar energi baru terbarukan mendapatkan ekosistem baik untuk berkembang.
“Maka Komisi 7 sedang meneruskan upaya agar terbit undang-undang energi baru terbarukan. Ini untuk menciptakan iklim investasi dan memberi ekosistem yang sehat bagi perkembangan energi baru terbarukan,” janjinya. [ns/lt]
Forum