Pengambilalihan militer di Myanmar, serangan terhadap sistem pemilihan Brazil oleh presidennya sendiri, pembunuhan presiden Haiti, dan sejumlah kudeta di benua Afrika, ini hanyalah beberapa dari kemunduran demokrasi yang terjadi pada tahun 2021 sekaligus melatarbelakangi pertemuan virtual yang diselenggarakan Presiden AS Joe Biden pada tanggal 9 dan 10 Desember 2021.Pertemuan itu dinamakan KTT Demokrasi.
“Ini adalah kesempatan bagi para pemimpin untuk membahas tantangan dan peluang yang dihadapi pemerintah demokratis dan bagaimana demokrasi dapat mewujudkan harapan warganya berdasarkan pilar KTT bagi penguatan demokrasi, melawan otoritarianisme, memerangi korupsi dan menggalakkan penghormatan terhadap hak asasi manusia," ujar Jen Psaki, Sekretaris Pers Gedung Putih.
KTT itu menjadi bagian dari janji kampanye Biden untuk memperkuat demokrasi di seluruh dunia yang akan dihadiri oleh 110 negara.
“Mobilisasi, peningkatan kesadaran dan fokus pada pemikiran bersama tentang pentingnya isu-isu demokrasi sudah menjadi langkah yang sangat terpuji oleh pemerintahan Biden," kata Christopher Walker, wakil presiden untuk studi dan analisis dari National Endowment for Democracy.
Xi Jinping dan Vladimir Putin tidak diundang. Sementara KTT ini tidak secara eksplisit menggalang dunia untuk melawan Rusia atau China, tetapi ini merupakan sebuah kesempatan bagi Biden untuk memobilisasi dukungan bagi perlawanan terhadap apa yang dipandangnya sebagai pengaruh pemerintahan otoriter yang semakin besar.
“Mempertemukan berbagai demokrasi dalam banyak hal merupakan suatu strategi yang dirancang untuk membedakan Amerika Serikat bersama sekutu-sekutunya, dengan Rusia dan China dan berusaha agar negara-negara tersebut lebih tegas bersikap. Tak heran, hal itu membuat mereka tidak nyaman. Negara-negara seperti Korea Selatan dan Jerman misalnya, mereka benar-benar bergantung pada China untuk kesejahteraan ekonomi masing-masing," papar Stacie Goddard dari Wellesley College.
Le Yucheng, Wakil Menteri Luar Negeri China mengatakan KTT itu akan merusak solidaritas global.
Selama KTT, para pemimpin akan didorong untuk mengumumkan berbagai komitmen memperkuat demokrasi, namun tidak jelas apakah itu akan diwujudkan ke dalam tindakan nyata. Namun, penggalakkan nilai-nilai demokrasi Amerika tetap merupakah hal yang signifikan.
Steven Feldstein, pengamat senior di Carnegie Endowment for International Peace menegaskan “tahun yang ditandai tindakan nyata ini” merupakan bukti kembalinya Amerika ke dalam kancah menjunjung demokrasi setelah berlangsungnya jeda signifikan pada masa pemerintahan Trump.
Beberapa kalangan juga mempertanyakan apakah AS memiliki kewibawaan moral untuk menjadi tuan rumah KTT, setelah terjadi peristiwa 6 Januari di Gedung Capitol dimana para pendukung Donald Trump yang berusaha untuk menggagalkan kekalahan mantan presiden AS tersebut dalam pemilihan November sebelumnya.
Pemerintahan Biden mengatakan justru kemampuan untuk bisa mengakui ketidaksempurnaan sekaligus mengatasinya secara transparan – suatu kekuatan unik bagi demokrasi – akan ditampilkan dalam KTT tersebut. [mg/jm]