Banyak pria pusing tujuh keliling manakala istrinya menjadi pehobi belanja. Apalagi jika barang yang dibeli adalah barang mewah seperti tas Chanel, Hermès atau Louis Vuitton yang harganya tak jarang membelalakan mata.
Namun, Rina Reynold, 40 tahun, justru mendapatkan dukungan dari sang suami untuk memuaskan hobi belanja barang-barang bermerek itu. Alasannya pasti tidak terbatas barang itu untuk menunjang hobi bergaya atau sekadar retail therapy. Rina dengan mahir mendulang cuan dari hobinya itu.
Jika dia merasa bosan dengan barang koleksinya, Rina menjualnya di akun media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Lama-kelamaan, banyak teman-teman yang menitip barang bekas bermerek untuk dijual oleh Rina. Dari situlah, dia mendapatkan keuntungan.
“Saya beli tas Chanel ini dengan harga Rp40 juta pada 2012. Sekarang, kalau saya jual harganya bisa sampai Rp55 juta. Untung banget, kan?” ujar Rina sambil memperlihatkan tas kecil Chanel medium caviar seri 14, berwarna krem kulit caviar dengan tali rantai berwarna emas.
“Jadi, suami saya sangat mendukung bisnis saya,” kata Rina sambil tergelak ketika ditemui saat mengikuti bazar barang-barang preloved branded, beberapa waktu lalu, di Jakarta.
Beberapa tahun belakangan, bisnis barang preloved dari merek-merek terkenal makin marak di Indonesia. Berbeda dengan garage sale, barang-barang preloved adalah barang bermerek dan biasanya belum pernah dipakai sama sekali, atau hanya dipakai sekali. Barang-barang ini rata-rata dijual dengan harga di bawah harga barang baru.
Kehadiran barang-barang bekas bermerek tampak menjawab kebutuhan kelas menengah Indonesia akan produk-produk berkualitas dengan harga terjangkau. Menurut data Bank Dunia, saat ini satu dari lima orang Indonesia masuk dalam kelompok kelas menengah atau sekitar 52 juta orang. Mereka berkontribusi sebanyak 43 persen dari total konsumsi rumah tangga.
Kezia Debora, Marketing Partnership Carousell Indonesia, aplikasi online jual-beli barang-barang preloved branded yang berbasis di Singapura, mengatakan pelanggan aplikasi Carousell kebanyakan berusia 18-25 tahun yang baru mulai bekerja dan ingin tampil gaya.
“Membeli barang preloved adalah salah satu cara untuk tampil keren, tanpa harus membayar penuh harga barang bermerek baru,” kata Kezia Debora dalam wawancara melalui telepon. Harga barang-barang preloved bisa lebih murah antara 50-80 persen tergantung merek dan kondisi barang, kata Kezia menambahkan.
Gaya Hidup vs Anggaran
Marisa Tumbuan, pendiri Irresistible Bazaar, bazar barang-barang preloved branded, mengatakan bisnis ini makin marak dan lumrah karena menjadi cara pintar menyiasati gaya hidup, baik bagi pembeli maupun penjual.
“Mungkin dulu belum banyak yang menjual atau menjualnya sembunyi-sembunyi karena takut dibilang BU (butuh uang) atau bokek,” kata Marisa yang ditemui di sela-sela bazar beberapa waktu lalu.
“Untuk membeli juga, dulu orang beli diam-diam. Sekarang, beramai-ramai bersama keluarga dan teman-teman,” ujar Marisa.
Seperti halnya Rina Reynold, Marisa juga mendapat dukungan penuh dari sang suami, Aditya Tumbuan, untuk menjalankan hobi yang berkembang menjadi ladang bisnis.
Aditya mengakui sang istri sejak muda memang senang membeli barang-barang bermerek, termasuk karya-karya dari merek tertentu dengan desain orisinal.
“Passion yang sangat besar terlihat ketika dia masuk ke dunia ‘preloved sellers,’ kata Aditya melalui pesan singkat.“Dia (Marisa) tidak hanya puas menjadi ‘trusted seller’ dengan pertumbuhan followers yang signifikan, tetapi juga punya keinginan kuat untuk mengembangkan komunitas preloved branded,” ujar Aditya, yang juga ikut menjalankan Irresistible Bazaar.
Promo Media Sosial
Media sosial terbukti menjadi alat promosi yang ampuh untuk mempopulerkan produk-produk preloved branded. Tren mode dan gaya hidup terbaru terus bergulir dengan cepat melalui media sosial. Para penggemar mode pun berusaha mengikuti tren gaya hidup dengan membeli tas, baju, sepatu, atau kosmetik terbaru.
Linkedin dalam survei ‘State of Sales 2016’ mencatat 70 persen dari para penjual profesional menggunakan media sosial, termasuk LinkedIn, Twitter dan Facebook, untuk membantu penjualan produk-produk mereka. Berbagai media sosial tersebut menjadi teknologi promosi penjualan yang paling banyak digunakan.
Tidak ada data nasional mengenai berapa nilai transaksi penjualan barang-barang preloved branded, baik yang dijual online maupun langsung di Indonesia. Namun pertumbuhan bisnis tersebut bisa dilihat dari jumlah pengunjung bazar dan jumlah barang-barang yang dijual online.
Carousell, misalnya, sejak masuk di Indonesia pada 2014, menyediakan hampir 14 juta barang pada platform tersebut dan 75 persen dari barang yang tersedia adalah barang preloved, kata Kezia.
“Kalau kita cari dengan tagar preloved branded di Instagram, akan muncul sekitar 1 juta barang,” ujar Kezia.Fesyen adalah salah satu dari tiga kategori paling populer dengan merek-merek seperti Zara, H&M dan Converse menduduki peringkat atas pencarian pada platform Carousell.
Secara global, Carousell menyediakan total 144 juta barang sejak berdiri pada 2012 dan sudah ada di 6 negara, yaitu Singapura, Malaysia, Taiwan, Hong Kong, Filipina dan Australia.
Sedangkan Irresistible Bazaar, yang rutin mengadakan bazar preloved branded sejak 2015, mencatat kenaikan jumlah pengunjung rata-rata 20-30 persen pada setiap bazar yang digelar sekali dalam empat bulan.
Pada bazar yang diadakan 24-29 April, Irresistible Bazar didatangi 24 ribu pengunjung, naik dari hanya 6 ribu pengunjung pada awal penyelenggaraan di 2015. Jumlah penjual yang meramaikan bazar pun melonjak dari hanya 20 penjual pada 2015, menjadi 76 penjual pada bazar ke-10 yang digelar awal Maret 2018. Bahkan sempat diikuti 101 penjual pada akhir 2017.
“Preloved branded items sudah mendunia karena sama kerennya dengan (barang-barang) yang dijual di butik-butik lain,” kata Marisa, yang juga memiliki toko online dan butik offline preloved branded. “Kondisi barang masih bagus dan tidak out of fashion (ketinggalan zaman),” kata Marisa menambahkan
Investasi Preloved Branded
Barang-barang yang diburu oleh pecinta preloved branded tidak terbatas pada barang sehari-hari. Barang-barang desainer dari berbagai label dunia, seperti Chanel, Hermès dan Louis Vuitton juga menjadi incaran para penggemar preloved. Peluang itu juga ditangkap oleh beberapa pebisnis preloved branded menjadi investasi.
Menurut Rina Reynold, harga barang-barang preloved branded terutama tas dari label-label klasik seperti Hermès, Chanel dan Louis Vuitton bisa dijual dengan harga 12-14 persen lebih tinggi dari harga pembelian. Sebagai perbandingan, harga properti meningkat rata-rata kurang dari 4 persen per tahun, menurut data Bank Indonesia.
Barang preloved branded jenis tersebut bisa berharga lebih tinggi tentunya dengan beberapa catatan, antara lain, penjualan kembali sekitar 2-5 tahun lebih ke atas, kata Rina. Selain itu, bila tas preloved branded dari merek klasik dijual pada saat kurs mata uang asing menguat, otomatis harganya pun naik, ujar Rina, yang sudah menggeluti bisnis itu sejak 2010.
Faktor lainya adalah karena barang yang ingin dibeli sudah tidak diproduksi atau harga barang baru masih mahal, papar Rina. Nilai jual barang-barang preloved branded juga bisa masih tinggi bila dirawat dan masih disimpan kelengkapan seperti bon pembelian, kotak, dan kartu garansi, ujarnya.
Namun tak serta merta semua preloved branded mewah bisa jadi investasi.
Rina menjelaskan barang preloved branded mewah yang nilai jualnya tinggi adalah tas-tas yang diproduksi oleh rumah mode yang tidak pernah mendiskon barang-barangnya, misalnya koleksi tas seri Birkin dan Kelly dari Hermès, Chanel dan Louis Vuitton.
Selain itu, barang-barang buatan Eropa juga bernilai jual lebih tinggi dibanding buatan Amerika, kata Rina menambahkan.
“Memakai barang preloved branded ada kepuasan tersendiri. Walau barang seken, tapi asli,” kata Rina. [fitri wulandari]