Menteri Keuangan Agus Martowardojo mengakui Indonesia masih membutuhkan utang luar negeri untuk beberapa hal, terutama untuk menutup defisit anggaran. Namun, ia menambahkan, bahwa masyarakat harus percaya bahwa utang tersebut diajukan tanpa ada tekanan atau intervensi politik asing.
“Tetapi tentu kita akan cari pinjaman dari luar negeri yang paling efisien, dan yang paling utama tidak ada yang membuat kita menjadi terikat atau apalagi ada agenda-agenda politik. Itu tidak boleh. Jadi secara umum pengelolaan utang kita sehat karena memang juga diperlukan untuk pembiayaan defisit,” ujar Agus pada wartawan Jumat (28/9).
Hingga saat ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.900 triliun, dengan bagian terbesar berasal dari Jepang disusul Amerika Serikat serta negara-negara yang tergabung dalam lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Cicilan utang yang harus dibayar pemerintah tahun ini sebesar Rp 125,6 triliun dan tahun depan sebesar Rp 150,2 triliun.
Sementara itu, defisit anggaran negara tahun ini sebesar Rp 167,5 triliun dan diperkirakan naik tahun depan manjadi Rp 171,7 triliun.
Sugeng Bahagijo, direktur eksekutif lembaga swadaya masyarakat International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), mengatakan bahwa memang sudah selayaknya pemerintah memiliki sikap independen bahkan harus terus berusaha mengurangi utang untuk selanjutnya berhenti berutang.
Menurut Sugeng, negara-negara pemberi pinjaman memang tidak berhak mendikte karena pemerintah lebih mengetahui kebutuhan yang harus diatasi dari uang hasil pinjaman. Namun ia mengingatkan, akan lebih baik jika Indonesia mampu untuk tidak lagi bergantung pada utang luar negeri.
“Peranan mereka bukan fiscal oriented, dalam pengertian menutup kekurangan dana. Peranan mereka lebih kepada mendorong perbaikan-perbaikan yang diusulkan oleh Indonesia sendiri,” ujar Sugeng.
“Kecenderungan pemerintah untuk berutang dimasa lalu itu sebetulnya kan sekarang sudah berkurang tetapi sebenarnya bisa minimal lagi jika perolehan pajak normal seperti negara-negara berpendapatan menengah. Rata-rata pajaknya 25 persen dari PDB, tapi kita masih sekitar 13 persen dari PDB.”
Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Center berpendapat, Indonesia akan mampu menekan utang bukan saja dari penerimaan pajak, namun dengan tidak melakukan korupsi.
“Penganggaran yang tertutup itu juga ujungnya adalah berjamurnya mafia anggaran, sehingga yang terjadi kemudian pada saat implementasi anggaran banyak kebocoran, penggelembungan dan saya kira ini yang tidak pernah serius dibidik untuk membuat APBN kita sehat,” ujar Arif.
“Tetapi tentu kita akan cari pinjaman dari luar negeri yang paling efisien, dan yang paling utama tidak ada yang membuat kita menjadi terikat atau apalagi ada agenda-agenda politik. Itu tidak boleh. Jadi secara umum pengelolaan utang kita sehat karena memang juga diperlukan untuk pembiayaan defisit,” ujar Agus pada wartawan Jumat (28/9).
Hingga saat ini utang luar negeri Indonesia mencapai Rp 1.900 triliun, dengan bagian terbesar berasal dari Jepang disusul Amerika Serikat serta negara-negara yang tergabung dalam lembaga multilateral, seperti Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia. Cicilan utang yang harus dibayar pemerintah tahun ini sebesar Rp 125,6 triliun dan tahun depan sebesar Rp 150,2 triliun.
Sementara itu, defisit anggaran negara tahun ini sebesar Rp 167,5 triliun dan diperkirakan naik tahun depan manjadi Rp 171,7 triliun.
Sugeng Bahagijo, direktur eksekutif lembaga swadaya masyarakat International NGO Forum on Indonesian Development (INFID), mengatakan bahwa memang sudah selayaknya pemerintah memiliki sikap independen bahkan harus terus berusaha mengurangi utang untuk selanjutnya berhenti berutang.
Menurut Sugeng, negara-negara pemberi pinjaman memang tidak berhak mendikte karena pemerintah lebih mengetahui kebutuhan yang harus diatasi dari uang hasil pinjaman. Namun ia mengingatkan, akan lebih baik jika Indonesia mampu untuk tidak lagi bergantung pada utang luar negeri.
“Peranan mereka bukan fiscal oriented, dalam pengertian menutup kekurangan dana. Peranan mereka lebih kepada mendorong perbaikan-perbaikan yang diusulkan oleh Indonesia sendiri,” ujar Sugeng.
“Kecenderungan pemerintah untuk berutang dimasa lalu itu sebetulnya kan sekarang sudah berkurang tetapi sebenarnya bisa minimal lagi jika perolehan pajak normal seperti negara-negara berpendapatan menengah. Rata-rata pajaknya 25 persen dari PDB, tapi kita masih sekitar 13 persen dari PDB.”
Arif Nur Alam dari Indonesia Budget Center berpendapat, Indonesia akan mampu menekan utang bukan saja dari penerimaan pajak, namun dengan tidak melakukan korupsi.
“Penganggaran yang tertutup itu juga ujungnya adalah berjamurnya mafia anggaran, sehingga yang terjadi kemudian pada saat implementasi anggaran banyak kebocoran, penggelembungan dan saya kira ini yang tidak pernah serius dibidik untuk membuat APBN kita sehat,” ujar Arif.