Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD menyebut persoalan di Papua jangan diselesaikan dengan senjata dan letusan. Hal tersebut dikatakannya usai melakukan pertemuan dengan pimpinan dan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP).
"Prinsipnya sesuai arahan presiden, menyelesaikan persoalan di Papua jangan dengan senjata dan letusan. Tapi dengan dialog demi kesejahteraan," kata Mahfud MD dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (12/6).
Ia melanjutkan, adapun penegakan hukum kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua adalah sebagai bagian untuk memperlancar dialog dengan rakyat di Bumi Cenderawasih.
"Meskipun harus dialog dan tanpa senjata kalau kita tidak bertindak dalam pelanggaran hukum juga enggak boleh. Penegakan hukum itu bagian dari memperlancar dialog-dialog bagi seluruh rakyat Papua di luar KKB," ujar Mahfud.
Sedangkan terkait aspirasi rakyat Papua yang disampaikan MRP, pemerintah juga akan melakukan dialog seputar persoalan-persoalaan yang ada di Bumi Cenderawasih.
“Kami saling menjelaskan dan bertukar pikiran. Saya menjelaskan kebijakan pemerintah pusat di Papua, di mana mereka memahami bahwa apa yang sudah dan akan dilakukan semua sesuai dalam koridor konstitusi serta dengan pendekatan kesejahteraan," ungkap Mahfud.
Ketua MRP, Timotius Murib, menyampaikan bahwa pihaknya datang untuk mengomunikasikan berbagai hal di tanah Papua. Terutama dalam hal menyikapi proses perubahan kedua UU No 21 Tahun 2001 yang sedang bergulir di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Supaya dapat disampaikan ke DPR untuk jadi bahan pertimbangan, sekaligus masukan dan saran dari rakyat Papua," katanya.
Diwawancarai secara terpisah, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan arahan untuk menyelesaikan persoalan Papua dengan dialog demi kesejahteraan itu harus benar-benar dilakukan. Usman pun mempertanyakan apakah dialog yang dimaksud pemerintah sama dengan yang diperbincangkan para ahli studi Papua.
"Misalnya, apa yang dimaksud dialog sama dengan yang diperbincangkan para ahli studi Papua? Yaitu dialog antara pemerintah pusat dengan gerakan orang Papua yang menuntut kemerdekaan dan referendum, misalnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP). Kalau itu benar maka sebaiknya arahan dialog itu benar-benar dijabarkan terlebih dahulu ke dalam kerangka pendekatan dan kebijakan yang konkret," kata Usman kepada VOA.
Usman melanjutkan, pemerintah harus mendengar para ahli studi Papua yang menyarankan agar dialog juga dilakukan dengan gerakan bersenjata pro kemerdekaan Papua. Misalnya gencatan senjata, mengentikan permusuhan dan duduk bersama di meja perundingan.
"Apakah itu semua dicakup dalam apa yg disebut arahan presiden? Jika tidak maka akan sulit. Begitu pula dengan kebijakan penegakan hukum. Apakah itu termasuk penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua? Mengapa pemerintah tidak juga mendirikan Pengadilan HAM di Papua sebagaimana amanat Undang-Undang Otsus?," ujarnya.
Amnesty Internasional juga menyarankan agar pemerintah segera menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Papua.
"Kalau memang kebijakannya mau memilih penegakan hukum maka pemerintah perlu membentuk Pengadilan HAM. Bukan membentuk pasukan operasi keamanan dan mengangkat senjata yang bisa mendorong pelanggaran HAM," pungkas Usman. [aa/em]