Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyerukan agar kawasan Indo-Pasifik tidak didominasi oleh satu negara mana pun juga. Hal ini disampaikannya dalam forum pertemuan di Paris hari Selasa (22/2).
Dalam pembukaan Forum Menteri Luar Negeri Untuk Kerjasama di Indo-Pasifik di Paris, Prancis, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyampaikan kritik membangun bahwa saat ini bukan saatnya untuk persaingan dan menciptakan ketegangan baru karena akan mengganggu pemulihan global.
Dalam jumpa pers secara virtual dari Paris, Rabu (23/2), Retno memaparkan pertemuan retreat para menteri luar negeri ASEAN di Ibu Kota Phnom Penh, Kamboja, pekan lalu, yang membahas berbagai upaya untuk memperkuat kemitraan di Indo-Pasifik lewat implementasi empat bidang kerjasama yang tercantum dalam “ASEAN Outlook on the Indo Pacific.”
Retno menambahkan Indonesia menyadari semakin pentingnya kawasan Indo-Pasifik bagi perekonomian dunia, tetapi menekankan bahwa tanpa stabilitas, perdamaian dan penghormatan hukum internasional maka tidak mungkin akan dapat memanfaatkan potensi besar di kawasan Indo Pasifik.
"Indonesia melihat Indo Pasifik sebagaui lautan kesempatan yang sangat luas, terlalu luas untuk didominasi oleh hanya satu negara manapun. Oleh karena itu, keamanan bersama, stabilitas bersama, dan kesejahteraan bersama harus menjadi kepentingan publik. Hal ini hanya dapat dicapai melalui kolaborasi strategis oleh semua negara," kata Retno.
Retno juga menyampaikan poin penting soal membangun paradigma positif tentang kompetisi di Indo-Pasifik yang tentunya penting demi kemajuan bersama, yang sedianya tidak menjadi konflik terbuka. Indonesia ingin mengubah interaksi antar negara dari kemenangan satu pihak atas kekalahan pihak lain, menjadi hubungan yang saling menguntungkan; dari rivalitas menjadi dialog dan kerjasama; dari kurangnya kepercayaan menjadi kepercayaan strategis. Retno yakin perubahan paradigma tersebut akan berdampak besar terhadap masa depan Indo-Pasifik dan dunia.
Poin lain menurut Retno adalah pentingnya mendorong sinergi antara berbagai inisiatif di Indo-Pasifik. Masing-masing negara memiliki cara pandang berbeda terhadap Indo-Pasifik tapi ada kepentingan yang sama bagi semua negara di kawasan untuk mendorong stabilitas dan menanggulangi berbagai tantangan yang dihadapi.
Selain isu keamanan, kerjasama kongkret yang harus didorong adalah dalam sektor maritim, transisi energi berkelanjutan dan ramah lingkungan, perdagangan dan investasi, konektivitas serta implementasi tujuan pembangunan berkesinambungan. Hal ini akan memperkuat kemitraan, membangun kepercayaan sekaligus mengurangi risiko keamanan.
Indo-Pasifik Juga Harus Fokus pada Pembangunan
Pengamat Keamanan Internasional dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Nanto Sriyanto menjelaskan Indo-Pasifik wacananya tidak melulu soal keamanan dan politik keamanan namun juga harus membahas pembangunan, infrastruktur dan ekonomi.
Dia menambahkan keterlibatan Prancis dalam Indo-Pasifik seharusnya bisa membuka wacana bahwa kawasan ini terbuka untuk banyak aktor. Khusus bagi Prancis, negara ini memiliki kepentingan di Indo-Pasifik karena sejumlah wilayahnya berada di kawasan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik.
Pertemuan yang digagas Prancis dan Indonesia tersebut dalam konteks bilateral bukan hanya isu militer tapi penekanannya juga pada berbagai isu seperti “Bali Process” yang berfokus pada kejahatan transnasional dan perdagangan manusia, serta perdagangan yang adil.
Nanto berharap Prancis memandang Indonesia sebagai mitra strategis di Indo-Pasifik dan kehadiran Prancis di kawasan tersebut dapat berkontribusi positif dan tidak mengerucut pada bipolarisme baru, tapi pada multilateralisme.
"Prancis adalah kekuatan yang bisa memberikan pilihan karena perseteruan di Indo Pasifik ini yang seolah-olah hanya antara Beijing dan Washington DC harus dibuka lebih ;luas lagi, bahwa ada pilihan-pilihan lain yang kemudian muaranya adalah menguatnya multilateralisme," ujar Nanto.
Menurut Nanto, makin akrabnya hubungan Indonesia-Prancis nantinya akan makin menguatkan industri pertahanan dalam negeri karena kedua negara pernah bekerjasama dalam proyek helikopter Super Puma. Selain industri strategis ini, Indonesia juga membutuhkan dukungan Prancis dalam hal produksi vaksin COVID-19 di Indonesia.
Dalam konteks hubungan bilateral Indonesia-Prancis, Nanto melihat Indonesia pantas berbicara soal konflik Rusia dan Ukraina karena Indonesia berutang budi pada Ukraina yang merupakan salah satu negara yang mengangkat isu kemerdekaan Indonesia di PBB sebelum terbentuknya Komisi Tiga Negara yang terdiri dari Belgia (yang ditunjuk Belanda), Amerika (selaku pihak netral), dan Indonesia (yang menunjuk Australia).
Menurut Nanto, Ukraina adalah negara pertama yang mengangkat isu konflik antara Indonesia dan Belanda di PBB di era 1945-1949 sebagai masalah internasional. Sebelumnya isu ini tidak pernah dibahas di lembaga internasional karena dianggap isu domestik Belanda dengan wilayah kolonialnya.
Nanto memandang peningkatan hubungan bilateral Indonesia-Prancis sejak tiga tahun belakangan diharapkan mampu dimanfaatkan terhadap penyelesaian ganjalan ekspor komoditas sawit Indonesia ke Eropa.
Forum Menteri untuk Kerjasama di Indo Pasifik ini dihadiri oleh lebih dari 60 menteri luar negeri dari Uni Eropa, ASEAN dan negara kunci di Indo Pasifik serta pimpinan organisasi terkait. [fw/em]