Dua dosen Universitas Sains dan Teknologi, Jayapura, melakukan penelitian selama dua bulan di Papua. Temanya adalah tentang khotbah di 10 gereja terpilih yang berkaitan dengan upaya pemberantasan korupsi. Mereka meneliti isi khotbah, sekaligus mewawancari para pendeta secara mendalam, mengenai pandangan dan komitmen terhadap isu ini.
Paulus RT Paramma, salah satu peneliti memaparkan, Papua menarik menjadi lokasi penelitian karena gereja adalah institusi sosial keagamaan penting. Mayoritas penduduk Papua menempatkan gereja sebagai institusi utama yang masih kredibel dan dipercaya.
“Mayoritas orang asli Papua mengikatkan dirinya atau submitting pada insitusi gereja. Persoalannya religiusitas ini tidak selalu berkorelasi positif dengan perilaku antikorupsi. Hal ini dapat dibuktikan dengan saat ini masuknya Papua ke dalam rangking 10 provinsi terkorup di tanah air,” ujar Paulus.
Penelitian ini dibiayai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan dipresentasikan dalam Anticorruption Summit 4, Rabu (18/11) sore. Diskusi pararel dalam pertemuan besar ini masih akan terus berlangsung hingga Kamis (19/11).
Ditambahkan Paulus, melalui penelitian ini, mereka ingin mengukur kadar keprihatinan pemimpin umat Kristen, melalui isi khotbah terkait praktik korupsi di Papua. Sepuluh gereja dengan populasi umat dipilih, dan khotbah-khotbah selama dua bulan penelitian dianalisa. Selain itu, sejumlah pendeta juga diwawancarai secara mendalam untuk mengukur pemahaman mereka terhadap isu korupsi, dan komitmen untuk turut memberantasnya dari mimbar gereja.
Kosakata Antikorupsi Minim
Hendrik Vallen Ayomi, rekan peneliti Paulus dari kampus yang sama, menambahkan selama penelitian terkumpul 80 transkrip khotbah para pendeta. Dari seluruh transkrip, ditemukan 41 kata yang berkaitan langsung dengan persoalan ini, seperti korupsi, korup, koruptor, suap, cinta uang dan tamak. Ada pula kata-kata yang tidak terkait langsung yang digunakan, seperti bayar, amplop, beli, politik, laporan palsu, oknum dan nepotisme. Jumlah 41 kata dari 80 transkrip khotbah itu, kata Vallen, sangat minim.
“Kalau kemudian dibandingkan kata-kata yang bersifat rohani itu lebih banyak, sedangkan kata-kata duniawi, termasuk korupsi itu menempati posisi nonprioritas. Artinya gereja terlalu menekankan pada aspek iman, tetapi lupa memberikan penekanan penting pada kehidupan sosial,”ujar Vallen.
Vallen menambakan, melalui wawancara mendalam, semua pendeta menyuarakan sikap tegas mengenai pentingnya pemberantasan korupsi. Namun, di sisi lain mereka tidak menyertakan itu dalam naskah khotbah mereka. Peneliti berkesimpulan, pemimpin gereja mengalami keraguan untuk menyampaikan korupsi beserta pencegahannya secara luas atau gamblang kepada jemaat melalui mimbar gereja.
Kedua peneliti merekomendasikan koordinasi lebih di internal gereja tentang bahaya korupsi. Sisipan pesan pencegahan korupsi penting diberikan dalam khotbah di mimbar gereja. Selain itu, pemerintah juga bisa menggandeng gereja untuk mengembangkan pendidikan antikorupsi di Indonesia.
Khotbah Harus Lebih Keras
Pimpinan KPK periode 2015-2019, Saut Situmorang menyebut ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam konteks keagamaan dalam pemberantasan korupsi. Langkah penting, dicontohkan Saut, adalah dengan menciptakan keluarga sebagai semacam gereja mini. Di mana di dalamnya ada semacam khotbah dan upaya pemahaman pemahaman kitab suci mengenai korupsi, sesuai kompleksitas masing-masing.
Sedangkan di tempat ibadah, Saut meminta ada narasi lebih kuat terkait pemberantasan korupsi.
“Saya sependapat dengan teman-teman tadi, bahwa sebenarnya khotbah itu harus keras. Khotbah jangan lagi in between, selesai itu sudah, kemudian jemaah dikembalikan. Jangan lagi yang lembut-lembut,” ujar Saut.
Pada periode Saut bertugas, beberapa kali pengurus Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) datang ke KPK. Kedua pihak membahas bagaiama bentuk-bentuk khotbah yang lebih berperan dalam upaya ini. Saut berharap upaya tersebut dilanjutkan hingga penyusunan isinya.
Agama Tak Mampu Berperan Sendiri
Cendekiawan muslim, Prof Komaruddin Hidayat memulai perbincangan dalam diskusi ini dengan pertanyaan penting, tentang seberapa efektif agama memberantas korupsi. Dalam ranah yang berbeda, kata dia, agama bisa mendorong orang melakukan kejahatan, seperti kekerasan. Khusus mengenai khotbah, ada sebagian umat beragama yang mendengarkan itu hanya sebagai ritual saja. Misalnya, kata Komaruddin, pada sebagian muslim dan khotbah Jumat yang diikutinya.
Karena itulah, menurutnya, dibutuhkan kombinasi upaya dalam pemberantasan korupsi. Komaruddin menilai, langkah penegakan hukum tidak bisa dilepaskan dari isu peran agama dalam upaya ini. Sejumlah negara bahkan mampu memberantas korupsi dengan mengedepankan langkah penindakan hukum.
Dari sisi moral, agama menjadi terlihat perannya. Upaya ini dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran melalui pelatihan, khotbah dan sejenisnya. Dalam proses inilah, lanjut Komaruddin, seseorang bisa menemukan kesadaran bahwa korupsi menghina diri sendiri, merendahkan martabat dan merugikan orang lain.
“Kesadaran seperti ini penting sekali, dan kalau ini bisa kuat maka orang tidak korupsi karena pilihan moral bebas, sebuah pribadi yang otonom. Ini penting sekali,” ujar Komaruddin.
Dalam konteks Indonesia, lanjut Komaruddin, model atau contoh menjadi sangat penting. Karena itulah, lembaga-lembaga pemerintah harus mampu menjalankan peran ini. Jika ingin efektif memberantas korupsi, Komaruddin mensyaratkan lembaga seperti KPK mampu membangun wibawa institusi dan betul-betul konsisten serta transparan dalam menegakkan hukum. [ns/ab]