Oce Madril, peneliti dan Direktur Advokasi Pusat Kajian Anti-korupsi PUKAT UGM meragukan komitmen pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk pemilu 2019 dalam konteks pemberantasan korupsi. Hal itu ia kemukakan ketika mendiskusikan catatan kritis PUKAT UGM untuk pemberantasan korupsi era Jokowi-JK dan komitmen anti-korupsi capres di Yogyakarta, Senin (10/12).
“Kami nilai minim karena secara tertulis saja visi misi program mereka kita tidak melihat ada agenda yang kuat dari capres dan cawapres itu. Saya contohkan pasangan Prabowo-Sandi itu hanya dua program aksi saja. Bagaimana kita mau menyelesaikan korupsi yang katanya stadiun 4 dengan sesederhana itu. Juga, agenda yang diusung Jokowi-Ma’ruf Amin sebenarnya agenda-agenda yang sangat normatif. Misalnya ingin memperkuat KPK, apa yang akan dilakukan dengan memperkuat KPK? Terlihat ada ketidak-sinkronan antara apa yang ditulis secara normatif dengan apa yang dilakukan,” jelasnya.
Oce Madril menambahkan, ia melihat kedua pasangan capres dan cawapres tidak menempatkan agenda anti korupsi sebagai agenda prioritas.
“Padahal, justru pemberantasan korupsilah yang menurut kami harus diperkuat kedepan dan itu butuh kepemimpinan politik yang kuat dari presiden dan wakil presiden. Nah, kami ingin para capres itu membebaskan diri dari belengggu-belenggu politik yang membuat mereka tidak berkomitmen pada pemberantasan korupsi. Mereka harus keluar dan dengan lantang menyatakan akan langsung memimpin pemberantasan korupsi dan menawarkan program-program yang efektif,” imbuh Oce Madril.
Yuris Rezha, juga peneliti PUKAT UGM menyoroti kinerja pemberantasan korupsi Jokowi-JK dalam 4 tahun terakhir. Kata Yuris, empat hal yang menjadi catatan kritis PUKAT UGM adalah janji Jokowi-JK yang tercantum dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019.
Keempat hal itu adalah, pemerintah belum berhasil mewujudkan harmonisasi perundangan korupsi yang mengacu pada UNCAC (United Nations Commission on Anti-Corruption), janji penguatan KPK yang belum sepenuhnya dilaksanakan, program pencegahan korupsi yang belum optimal serta belum dilaksanakannya upaya preventif melalui pendidikan anti-korupsi pada pendidikan formal.
Menurut Yuris, yang lebih mendesak adalah melakukan harmonisasi perundanangan karena banyak metode pemberantasan dan pencegahan korupsi bisa diadopsi dari UNCAC yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
“Terkait harmonisasi perundang-undangan. Karena selama ini wacana pelemahan KPK berasal dari revisi UU KPK. Maka segera lakukan revisi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang kemmudian memasukkan beberapa pasal yang ada di UNCAC (United Nations Commision on Anti Corruption). Misalnya, korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara yang kemudian memiliki kekayaan tidak wajar, misalnya. Juga, terkait pengaturan korupsi di sektor swasta, di situ termasuk juga mencantumkan penguatan kelembagaan pemberantasan korupsi,” kata Yuris.
DR Erwan Agus Purwanto, analis politik yang juga Dekan Fisipol UGM mengatakan, ada perbedaan harapan komitmen pemberantasan korupsi dua calon presiden.
“Kalau pak Jokowi, setelah dia menunjukkan komitmen di dalam upaya pemberantasan korupsi dengan memberikan dukungan kepada KPK, komitmen untuk menindak korupsi di birokrasi dengan berbagai pengetatan, sekarang kan korupsi bergeser ke ranah politik dan swasta. Nah, kedepan, saya ingin mendengar usulan-usulan para calon presiden kita ini. Misalnya kalau dari pak Prabowo kita tidak hanya ingin mendengar bahwa korupsi itu begini begitu tetapi usulan yang kongkrit dari calon presiden 02 ini apa, gitu,” kata Erwan.
Biaya politik yang mahal di Indonesia sering dituding sebagai penyebab maraknya korupsi politik. Usulan KPK agar parpol dibiayaai pemerintah melalui APBN, menurut Erwan, seharusnya direspons positif oleh para capres.
"Usulan KPK yang kongkrit adalah pembiayaan partai politik nanti bisa dibiayai lewat anggaran pemerintah lewat APBN. Justru dalam masa kampanye ini, misalnya, proses deliberasinya akan seperti apa, apakah usulan KPK itu opsi yang pas karena kan dugaan selama ini korupsi politik karena biaya politik mahal baik itu untuk jabatan eksekutif maupun legislatif. Nah, kedepan harapannya, kalau itu dibiayaai dana publik maka beban untuk mengembalikan “investasi” itu tidak seperti sekarang ini,” jelasnya.
Menanggapi catatan kritis PUKAT UGM untuk pemberantasan korupsi di Indonesia, Bambang Muryanto, jurnalis dari Aliansi Jurnalis Independen, AJI Yogyakarta mengatakan, hingga sekarang jurnalis belum bebas memberitakan praktek-praktek korupsi.
“Selama empat tahun ini, dan dari visi-misi calon presiden dan wakil presiden dari dua kubu ini tidak ada yang memberikan jaminan perlindungan hukum yang kuat untuk pemberantasan korupsi. Dalam hal ini,misalnya, media massa sebagai salahsatu kontrol penyalah-gunaan kekuasaan utamanya korupsi, sampai sekarang belum hidup dalam habitat hukum yang kemudian bisa melindungi peran dari jurnalis dan media massa. Ketika mengungkap korupsi wartawan masih bisa dituntut, masih bisa diancam, tidak mendapatkan perhatian dari negara,” kata Bambang. [ms/uh]