Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru saja disahkan berpotensi menjadi ancaman bagi perempuan korban kekerasan seksual yang ingin melakukan aborsi. Ancaman serupa, juga berlaku bagi tenaga kesehatan yang membantunya.
Salah satu sumber potensi masalah itu, adalah karena penggunaan istilah yang terlalu umum dalam pasal terkait aborsi, yaitu pasal 251 KUHP. Sana Ullaili, Ketua Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, menyampaikan itu ketika berbincang dengan VOA, Rabu (7/12).
“Orang itu kan artinya tidak menyebut profesi. Misalnya dia orang, tetapi konteksnya dia dokter dan dia punya analisis tersendiri yang berkaitan dengan soal aborsi. Dia menjadi sangat rentan untuk terkena pasal karet ini,” kata Sana.
Apa yang disampaikan Sana, terkait dengan isi pasal 251 KUHP, yang menyatakan setiap orang yang memberi obat atau meminta seorang perempuan untuk menggunakan obat dengan memberitahukan atau menimbulkan harapan bahwa obat tersebut dapat mengakibatkan gugurnya kandungan, dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV.
Unsur orang dalam pasal tersebut, bermakna siapa saja. Padahal, seorang dokter atau tenaga kesehatan lain, kemungkinan berada pada posisi yang sama, dalam sebuah kasus yang sepenuhnya tidak melanggar hukum secara substansi.
Legal Menurut UU Kesehatan
Sana menjelaskan, ada dua alasan aborsi menjadi legal di Indonesia, yaitu karena soal kesehatan dan jika dilakukan korban perkosaan, sebelum janin berumur enam minggu. Hal ini telah diatur dalam UU Kesehatan. Persoalan akan muncul, karena perempuan mungkin melakukan aborsi, tidak berdasar dua kondisi di atas. Misalnya, ketika terjadi kehamilan yang tidak direncanakan atau tidak dikehendaki. Hukum harus sangat berhati-hati, karena penyebab dari kondisi ini bisa sangat beragam.
“Nah, ketika terjadi kehamilan yang tidak dikehendaki dan tidak direncanakan, biasanya itu terjadi karena ada satu rentetan peristiwa, yang itu menyebabkan situasi traumatik kepada perempuan, sehingga perempuan ini memutuskan untuk melakukan aborsi,” tegas Sana.
Karena takut melanggar hukum, pengalaman menunjukkan perempuan dalam posisi seperti di atas akan cenderung menghindari fasilitas kesehatan resmi. Padahal, melakukan aborsi dengan bantuan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, justru memiliki resiko tinggi.
Di sisi yang lain, meski korban perkosaan memiliki kesempatan untuk melakukan aborsi secara legal, prosesnya tidak mudah di Indonesia.
“Prosedurnya harus melalui tahapan konseling dulu, kemudian rekam psikologi, psikoterapi dan sebagainya. Jadi, enggak semudah itu juga kalau misalnya perempuan korban perkosaan akan melakukan aborsi,” ucap Sana.
Alih-alih menjadikan aborsi sebagai tindakan pidana, Sana berpendapat negara seharusnya memperbaiki layanan bagi korban kekerasan seksual, kaitannya dengan kemungkinan aborsi yang mereka lakukan. Ruang aman aborsi, juga harus dihadirkan, tidak hanya sebatas kepada korban perkosaan, tetapi untuk seluruh perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual.
Contoh Kasus di Jambi
Indonesia pernah memiliki kasus semacam ini dalam rentang 2017-2019. Seorang anak berusia 15 tahun di Muara Bulian, Provinsi Jambi, menjadi korban perkosaan oleh kakak kandungnya, pada September 2017. Dia kemudian melakukan aborsi. Aparat penegak hukum meyakini tindakan itu melanggar hukum, dan menyeret anak perempuan itu ke meja hijau. Hakim di Pengadilan Negeri Muara Bulian, menjatuhkan hukuman enam bulan penjara kepada anak itu, pada 19 Juli 2018.
Dalam upaya banding di Pengadilan Tinggi Jambi pada Agustus 2018, hakim membebaskan korban perkosaan itu dari hukuman yang dijatuhkan pengadilan lebih rendah. Namun jaksa mengajukan kasasi. Hakim di Mahkamah Agung kembali membebaskan korban dari semua hukuman, karena meyakini aborsi tersebut dilakukan dalam posisinya sebagai korban tindak perkosaan. Hakim tunggal pada tingkat kasasi, Agung Sumardijiatmo mempertimbangkan alasan korban melakukan aborsi, dengan melihat rekam jejak kasus itu sendiri.
Meski berakhir dengan keputusan yang berpihak pada korban, kasus ini tidak menjadi gambaran nyata nasib korban perkosaan di Indonesia. Masih banyak korban perkosaan yang akhirnya harus masuk penjara, karena pengadilan tidak mempertimbangkan alasannya melakukan aborsi. Dalam kasus Jambi, keadilan juga baru terwujud setelah perjuangan panjang. Putusan MA, sebagai putusan akhir peradilan, baru keluar pada Juli 2019, atau hampir dua tahun pasca tragedi perkosaan itu, dan setahun setelah hukuman dijatuhkan pengadilan tingkat pertama.
Kriminalisasi Berpotensi Terjadi
Pejabat sementara direktur Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) DI Yogyakarta, Budhi Hermanto khawatir, apa yang terjadi di Jambi itu akan terus terulang di daerah lain. Secara umum dia menilai, KUHP yang baru saja disahkan tidak memiliki cukup langkah maju, khususnya terkait perempuan dan anak, dan lebih khusus lagi dalam isu aborsi.
“Kita dan teman-teman mengkhawatirkan kalau terjadi kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan yang mengakses layanan aborsi, apalagi jika itu anak-anak,” kata Budhi kepada VOA, Rabu (7/12) petang.
Kasus di Jambi, kata Budhi menegaskan betapa kriminalisasi bisa berwujud dalam bentuk sangat memprihatinkan. “Sudah anak-anak, mengalami kekerasan seksual, dihukum pula, karena dia mengakses layanan aborsi,” ucapnya.
“Barangkali, karena perpekstifnya belum cukup kuat terhadap perempuan, maka keputusan politik semacam ini yang diambil,” tambahnya.
Budhi menyebut, data Kementerian Kesehatan mencatat rata-rata perempuan yang mengakses kuretase berada dalam kelompok umur di atas 36 tahun. Angka ini menunjukkan, bahwa ada lebih banyak perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan sebenarnya sudah memiliki pasangan. Layanan ini ditempuh, antara lain dengan alasan hamil pada usia sudah cukup tua karena program pencegahan yang gagal, atau karena sudah memiliki terlalu banyak anak.
“Sebetulnya, tidak terlalu banyak perempuan yang belum menikah, yang mengakses layanan aborsi. Itu datanya sumir. Data yang ada, justru lebih banyak perempuan yang sudah bersuami dan melakukan itu karena faktor resiko,” tambah Budhi.
Jika perempuan, yang mengambil layanan aborsi karena alasan-alasan semacam ini menerima tindak kriminalisasi, tentu sangat memprihatinkan, lanjut Budhi.
Budhi juga menegaskan, jika negara tidak menyediakan layanan aborsi yang aman untuk alasan yang legal, bukan tidak mungkin perempuan akan mengakses layanan itu secara tidak aman. Di jalan-jalan perkotaan, ada cukup banyak iklan yang dipasang dengan kode telat haid, yang sebenarnya adalah tawaran jasa aborsi. Proses semacam ini tidak aman dan sangat berisiko bagi perempuan.
“Dan kalau negara mau melakukan penindakan, justru bisnis semacam ini yang gila-gilaan kayaknya. Orang jual beli obat, menggugurkan kandungan. Itu berpotensi merugikan perempuan, karena mereka mau mengaksses yang legal enggak ada, akhirnya diam-diam mengakses ini, dan kesehatannya terancam,” tegas Budhi.
Negara, tambah Budhi, harus hadir memberikan layanan kepada perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, dengan alasan darurat medis.
Karena KUHP sudah diundangkan, yang menjadi tantangan saat ini adalah mengajak aparat penegak hukum agar memiliki perspektif yang memihak perempuan. Upaya ini dapat menghindarkan tindak kriminalisasi kepada perempuan. Budhi mendorong seluruh lembaga yang peduli pada isu ini, untuk melakukan pendekatan kepada penegak hukum. [ns/lt]
Forum